Salah-satu adegan dalam pementasan naskah Cipoa
Selama dua hari berturut-turut (15-16 Desember 2015) 'anak-anak Langkah' menampilkan tiga pertunjukan teater dalam rangka Open Recruitment anggota baru. Tiga pertunjukan tersebut membawakan naskah 'Jam Dinding yang Berdetak' karya Nano Riantiarno, 'Perempuan dalam Keranda Kaca' naskah karya Elly Delfia, dan yang terakhir ‘Cipoa’ naskah karya Putu Wijaya. Ketiga naskah tersebut, sebagaimana yang telah kita ketahui, memang karya yang tidak asing lagi di tengah masyarakat teater kita. Meskipun terkendala hujan, juru pawang yang diminta untuk “menghentikan hujan” mampu bekerja dengan baik sehingga hujan yang semula lebat lekas mereda. Inilah uniknya sebuah pertunjukan di ranah Minang yang kita cintai ini. Unsur-unsur magis tidak pernah ketinggalan dalam setiap alek yang digelar.
Pertunjukan pertama mementaskan naskah fenomenal 'Jam
Dinding yang Berdetak' karya Nano Riantiarno. Interpretasi terhadap naskah
dilakukan cukup baik oleh sutradara. Ia menggubah narasi kompleks yang ditawarkan Nano dengan menampilkan
peristiwa-peristiwa penting saja di atas panggung. Lewat
gubahan sutradara, realitas sosial
rumah tangga miskin dan dengan sekelumit kehidupan mereka dihadirkan
dengan gurih dan dapat ditangkap
dengan baik oleh para penonton. Unsur-unsur parodi yang dibangun renyah dan
nikmat disantap. Sehingga riuh tawa para penonton disampaikan dengan cara yang
lepas tanpa kesan dibuat-buat.
Para aktor yang bermain cukup terampil
dalam bermain. Tidak tampak adanya tekanan
batin saat membawakan karakter tokoh yang sedang diperankan. Meskipun mereka dapat
dibilang “baru” berteater namun upaya untuk bermain lepas tanpa tekanan terasa
cukup maksimal. Ini terlihat dari dialog-dialog yang berkolaborasi
dengan ekspresi para pemain terasa hidup
dan mampu mendukung suasana yang dibangun.
Sutradara sepetinya sadar bahwa pemain yang diolah adalah
orang yang baru saja masuk dalam dunia teater. Sehingga mereka diberikan
kebebasan dalam berakting dengan menempatkan karakter diri mereka sendiri dalam
permainan. Ini tampak dari penjiwaan karakter masing-masing pemain yang
terkesan seperti terbawa kebiasaan sehari-hari.
Sublimasi yang terjadi tidak memberi kesan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam menjiwai peran.
Hal itu ditutupi dengan interaksi antar pemain yang tampak natural dan
seolah-olah nyata.
Tentu masih ada kekurangan
dalam pertunjukan ini. Ada sejumlah
adegan / fragmen yang lost control,
dialog yang sekali-sekali timpang, logat sehari-hari yang terbawa-bawa di
luar konteks peristiwa dalam
pertunjukan, dan artikulasi atau olah lisan yang tidak jelas. Selain
itu, tampak juga beberapa pemain yang sempat kehilangan tempo permainan dan
tampak kebingungan. Hanya saja, hal ini kemudian ditutupi oleh pemain lain yang
(sepertinya) sadar kalau lawan mainnya sedang lepas kendali. Dan mereka lekas
melakukanm penambalan sampai akhirnya lawan main tersebut masuk kembali dalam
konteks permainan.
Tentu hal-hal
seperti ini penting untuk ditilik dan diperbaiki sebab penonton ingin menikmati pertunjukan yang
"bersih" dari kendala teknis begitu.
Kacamata penonton tidak pernah mempedulikan apakah pemain sedang sakit, belum
makan, kurang bergairah, dan seterusnya. Penonton hanya tahu bahwa ini sebuah
pertunjukan dan semestinya begini, begini dan begini.
Selain persoalan yang telah disebutkan di atas, artistik yang ditampilkan mampu mendudukkan suasana di
atas panggung dan dapat ditangkap oleh penonton. Dinding rumah yang
terbuat dari seng-seng bolong mendukung kondisi ekonomi keluarga yang sedang
ditampilkan: keluarga miskin! Properti seperti
meja, kue ulang tahun, dan botol minuman beralkohol yang digunakan pun dapat dimaksimalkan dengan baik. Dan
menariknya di sini, pemanfaatan terhadap botol minuman tersebut tidak latah
sebagaimana pertunjukan atau film-film yang bermotif sama. Ia hanya
dipergunakan sebagai botol minuman beralkohol itu sendiri dengan mabuk yang
biasa. Tidak ada upaya membuat-buat. Selebihnya dimanfaatkan dengan cara yang
wajar.
Musik yang dihadirkan mampu mendukung latar waktu
peristiwa terjadi. Pencatutan lagu tempo doeloe, dan cuplikan-cuplikan musik
yang dibunyikan dari piano tiup itu, seolah-olah mengarahkan ingatan penonton
ke tahun 80-an,
dimana
kondisi ekonomi pada saat itu sedang dalam masa
yang sesak. Pergolakan politik yang panas, kebencian-kebencian yang pekat
kepada pemerintah, serta rasa tidak percaya yang tinggi akan adanya hidup yang
lebih baik, seolah-olah dimaksudkan untuk ikut
hadir ke atas panggung sebagai efek atau imaji lain dari misi utama kehadiran
pertunjukan ini.
Dalam hal ini sutradara sepertinya sangat sadar akan
dibawa ke mana naskah karya Nano tersebut dan ia memutuskan untuk menghadirkan
senatural dan serenyah mungkin supaya dapat dinikmati oleh penonton, baik yang
awam ataupun yang sudah khatam kitab kuning “agama” teater.
Pada pementasan kedua penonton disugiuhi pertunjukan
dengan naskah 'Perempuan dalam Keranda Kaca' karya Elly Delfia. Naskah ini
cukup unik secara cerita karena menampilkan
peran dan tugas perempuan dalam tradisi.
Bahwa perempuan memiliki peran yang penting dalam tradisi (Minangkabau,
sebegaimana konteks cerita) dan tidak hanya sebagai “pelayan” laki-laki. Sense
tradisi begitu kental dan memokus dalam naskah ini, meskipun bila ditilik
secara seksama akan terasa ada imaji yang akrab dengan kehidupan pasca-tradisi.
Kekuatan tersebut mesti berbanding lurus dengan kemampuan interpretasi
sutradara. Kepiawaian sutradara dalam mendudukkan konsep dituntut agar gagasan
utama cerita dapat tersampaikan dengan baik dan tidak monoton. Meskipun
yang menggarap naskah laki-laki, tetap saja ia harus pandai menempatkan
“ego”-nya bersisian dengan muatan naskah. Tidak ada kata kompromi terhadap hal
itu bila ingin pertunjukannya berhasil.
Nah, dalam konteks ini, sepertinya sutradara tidak mampu
mengolah naskah dengan baik sehingga tidak ada spektakel-spektakel yang dapat
membuat penonton terkesima. Sutradara tidak menawarkan konsep yang jelas agar
penonton dapat menangkap apa tujuan dari naskah ini dipertunjukan. Ketertarikan
sutradara terhadap naskah dan kemudian memilih untuk mempertunjukkannya tidak
mampu membawa penonton masuk ke dalam dan terlibat memahami narasi yang
ditawarkan. Sehingga pertunjukan terkesan
seperti konser kolaborasi antar pemain perihal dialog-dialog yang telah mereka hapal.
Ketidakberhasilan sutradara dalam mengonsep naskah ini kemudian berdampak pada penjiwaan para aktor dalam
memainkan karakter yang dibebankan kepada mereka. Karakter tidak hidup dan seolah-olah hanya
menjadi batu yang berada di pundak. Aktor terkesan berdiri di atas kaki mereka
sendiri tanpa adanya bangunan interaksi yang baik sehingga
tidak membuat penonton merasa kalau mereka sedang berperan.
Tidak ada kerja kolektif agar pertunjukan ini dapat dirasakan sebagai sebuah pertunjukan menghancurkan distrik
wacana yang sempat menghampiri pikiran penonoton dengan penghadiran konteks
tradisi di dalamnya. Dan
kehancuran tersebut diperemuk dengan gelagat masing-masing aktor yang terlihat autis terhadap diri sendiri dan
kemudian menjatuhkan peran lawan main.
Kegagalan ini memang bersumber dari kerja sang
sutradara. Sutradara adalah orang yang bertanggung jawab atas hadirnya sebuah
pertunjukan. Kecelakaan pemaknaan yang diterima pemain adalah berpangkal dari
sutradara. Karena dia adalah pengonsep utama, yang tentu saja orang pertama
dalam sebuah pertunjukan. Tanpa dirinya, sebuah pertunjukan tidak akan hadir. Sutradara
yang baik semestinya mampu menjadikan seseorang sebagai aktor bagaimanapun
kondisi dan kekurangannya. Ketidakberhasilan sutradara mentransfer hasil
pendalamannya terhadap naskah kepada para pemain adalah mimpi buruk dan
kegagalan dalam kerja perteateran. Kelak ia hanya akan menjadi sutradara yang
hanya berhasil mengenang-ngenang ketertarikannya dalam kepala.
Selain itu, panggung
yang dihadirkan minim dari kehadiran properti. Yang ada hanya trap, yang difungsikan sebagai tempat duduk aktor.
Dan dua tingkat anak tangga, yang sepertinya disimbolkan sebagai, hmhm, jenjang
naik ke atas rumah gadang. Tidak tampak
adanya upaya-upaya lain yang bertujuan khusus dan
bersifat idiologis untuk menjelaskan, katakanlah, perbedaaan status sosial antar masing-masing
karakter tokoh yang diperankan sementara naskah meminta demikian. Penguatan-penguatan
terhadap permasalahan dan penyelesaian inti cerita pun jauh badan dari
bayang-bayang. Dan juga tidak ada
capaian lain, atau gebrakan baru, yang dapat dimaknai sebagai pemberontakan
terhadap naskah yang mendefinisikan pertunjukan. Kita para penonton
disuruh mereka-reka sejauh apa matahari yang tampak di ujung lautan. Artinya, naskah bisa dibilang tidak dipahami dengan baik.
Kekurangan-kekurangan seperti yang disampaikan di
atas membuat realitas yang dihadirkan ke atas panggung menjadi
tidak jelas. Latar waktu, tempat dan di mana
peristiwa terjadi sesungguhnya sangat sulit untuk
dilacak. Bahkan untuk mengira-ngira pun
penonton tidak memiliki daya. Sehingga akhirnya
pementasan ini pun jadi diam di tempat dan tanpa menawarkan apa-apa.
Memang. Memang ada upaya sutradara ingin mendudukkan
persoalan latar waktu tersebut dengan menjelaskannya pada kostum para pemain.
Setiap pemain menggunakan pakaian tradisi masyarakat Minangkabau. Hanya saja
penghadiran kostum ini menjadi hambar dan malah semakin menampakkan
ketidakmampuan sutradara dalam membangun konsep. Penggunaan instrumen tradisi
tersebut hanya menjadi pembacaan latah sutradara terhadap naskah. Mentang-mentang
naskah bercerita tentang Minangkabau zaman saisuak lalu pemain dengan sebegitu bebasnya diberi konstum tradisi
tanpa adanya pertimbangan lain. Cara seperti ini tidak
fair dilanjutkan mengingat wacana
yang terdapat dalam naskah tidak akan sampai.
Tentu saja tidak semuanya buruk. Seburuk-buruknya
pementasan tentu ada hal baik di dalamnya meskipun hanya sebesar biji zarah.
Misalnya adanya upaya beberapa orang aktor untuk menampilkan kemampuan dasar
keaktoran yang mereka miliki. Adanya beberapa aktor yang berupaya keluar jalur
dari yang ditetapkan sutradara. Misalnya, membuat lelucon dengan menggunakan
karakter asli si aktor sehingga membuat para penonton tertawa.
Hal ini bisa tercapai berkat adanya kedekatan emosional
sang aktor dengan para penonton. Interaksi sosial sang aktor dalam keseharian
membuat penonton dapat menikmati pertunjukan dengan membawa ingatan ke dalam gaya
hidup mereka sehari-hari. Cuma, lelucon seperti ini tidak baik dipertahankan mengingat tidak semua
penonton memiliki kedekatan emosional dengan para pemain. Pertunjukan seperti ini hanya akan sukses di dalam
kandang, namun tidak di atas arena yang sesungguhnya.
Salah-satu adegan pementasan Perempuan dalam Keranda Kaca
Pada hari kedua, yakni pementasan ketiga, pertunjukan
menampilkan naskah ‘Cipoa’
karya Putu Wijaya. Naskah ini sejatinya bukanlah
barang baru bagi penikmat teater di Indonesia karena ditulis oleh seorang
sutradara kenamaan dan kerap kali dipentaskan. Pertunjukan ini pun berlangsung dengan baik dan dengan berbagai kejutan di
dalamnya.
Kejutan ini tampak dari berbagai aspek. Salah
satunya, artistik panggung.
Artistik yang dibangun mampu membuat penonton hadir ke dalam realitas
pertunjukan dan latar dimana peristiwa dimaksudkan hadir. Tingkah-polah para
pemain yang kocak dan mahir membuat lelucon di sela-sela ruwetnya permasalahan
yang hadir membuat pertunjukan terasa hidup dan hikmat. Sehingga ruang kosong yang fatal dan perlu untuk dilakukan
perbaikan tidak terlihat.
Dalam tataran ini, sutradara sepertinya cukup paham
akan naskah dan tahu jalur mana yang mesti ditempuh agar apa yang dipahaminya
sampai ke benak “jahat” pada penonton. Tak terasa adanya tumpang-tindih anatr
peristiwa yang dihadirkan. Semuanya berjalan dengan runut sesuai dengan
penceritaan. Sutradara mampu mengonsep naskah
dan mendistribusikannya kepada para pemain. Buah dari kerja tersebut tentu
sangat layak diberi tepuk tangan meriah.
Salah-satu adegan Cipoa
Tentu ada beberapa kesalahan kecil yang dapat dinilai sebagai kelalaian aktor.
Seperti, aktor belum terlalu mahir dalam
berperan sedikit keluar dari jalur untuk menjahit hal-hal kecil yang berpotensi mengacaukan kenikmatan
penonton luput dari permainan. Beberapa kali terlihat
kecolongan dalam pemanfaatan property yang tidak sesuai dengan konteks dan juga
eksplorasi semu yang tidak berpengaruh apa-apa. Dan yang cukup fatal ialah
kelupaan terhadap penggunaan property sehingga property yang semstinya penting
malah terjatuh begitu saja ke lantai. Ini cukup fatal dalam sebuah pertunjukan
sebab penonton tentu akan berpikir panjang mengenai properti penting yang jatuh
tersebut. Sebab mereka akan fokus “melihat” ke arah sana.
Agar hal ini bisa terhindar, kerja kolektif antar pemain untuk saling mengingatkan
benar-benar diharapkan agar kecolongan dapat dihindari. Kerja kolektif ini
dapat dilakukan dengan cara berimprovisasi. Improvisasi membutuhkan pengalaman
panggung yang panjang dan olah kerja kolektif yang lama pula. Pelatihan yang dapat membangun rasa antar pemain merupakan solusi yang paling tepat untuk
dapat menutupi celah tersebut.
Memang benar, sepandai-pandainya seorang sutradara dalam
mengonsep cerita bila tanpa didukung oleh aktor yang mampu menerapkan konsep tersebut di atas panggung tetaplah pertunjukan yang hadir
akan terasa timpang. Aktor merupakan salah satu dari
beberapa hal penting lainnya
dalam sebuah pertunjukan. Kekacauan aktor akan
memgacaukan cara pandang para penonton.
Demikianlah catatan terhadap tiga pementasan yang
diadakan oleh teater langkah selama dua hari (15-16 Desember 2015) yang lalu. Ketiga pertunjukan dapatlah dianggap sebagai pertunjukan yang berawal dari proses
pembelajaran. Dengan
modal pengalaman panggung yang sebagaian besar perdana, dan
dengan latar belakang penyutradaraan yang perdana pula, dapatlah dikatakan
mereka telah menampilkan hasil yang terbaik selama pergulatan mereka dalam “kubangan”
teater.
Layak kiranya untuk diberi tepuk tangan meriah
karena mereka telah berhasil membuat
penonton yang terdiri dari tamu undangan alias
penggiat teater, penonton umum atau
awam, dan juga beberapa orang dosen penggiat teater yang turut hadir, untuk tertawa terpingkal-pingkal sehingga memberikan hiburan
yang berarti di dua malam yang dingin itu.(*)
Dok. Iqbal
Dok. Iqbal
*Kritik Pementasan ini ditulis oleh Ramoun Apta,
Penyair dan alumni jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Andalas.
0 komentar:
Post a Comment