DATA
BUKU
Judul : Hikayat Bujang
Jilatang
Penulis :
Afri Meldam
Penerbit : AG Litera
Cetakan : Pertama, 2014
Tebal
Halaman : 163 hlm
Peresensi : Andesta Herli
Buku
“Hikayat Bujang Jilatang” adalah sehimpun cerita yang ditulis Afri Meldam pada
kurun beberapa tahun silam, yang beberapa judul telah pernah dipublikasikan di
beberapa media massa. Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini semuanya bercerita
tentang mitos, nilai, dan kebiasaan lokal masyarakat Sumatera Barat secara
umum. Akan tetapi, jika mau melihat lebih tepat lagi, lokal di sini mengacu
pada daerah Sumpur Kudus, Sijunjung, daerah asal Afri Meldam sendiri. Dari tujuh
belas cerita yang dihimpun dalam buku, kesemuanya bernafas dengan semangat
tradisi lisan itu, yang dewasa ini menjadi begitu artistik. Hal ini adalah
sebuah kecendrungan yang tidak baru lagi, sebab dalam perkembangan seni hari
ini, semua orang berpacu menguras sari madu dari sesuatu bernama etnik, daerah.
Sesuatu yang kemudian menjadikan kumpulan ini penting untuk disimak ialah
tawaran kebaruan dari pengarang dalam menafsirkan kembali mitos, nilai atau
kode sosial atau sekadar kebiasaan tertentu. Kedaerahan di sini dihadirkan
tidak sekadar hadir dan menjadi pakaian belaka, melainkan dengan paradigma baru
atau kemungkinan penafsiran baru.
Dalam
“Anjing Pemburu”, misalnya, kita melihat sesuatu yang akrab dalam sebuah
masyarakat di Sumatera Barat, yakni berburu. Dalam perjalanan berburu tokoh
Sutan, diselipkanlah mitos-mitos, semisal larangan “meludah di pertemuan dua
sungai, atau terkencing di dekat mata air”. Yang menarik di sini bukanlah
mitosnya, namun usaha pengarang untuk mempertanyakan kebenaran, logis, masuk
akal atau tidaknya mitos itu, dengan membangun peristiwa yang melaju secara
alamiah, ada sebab yang bukan gaib. Begitu pula dalam cerpen “Cindaku”, di mana
mitos yang telah lama beredar di sekitar masyarakat diberi perspektif baru yang
sangat logis. Cindaku, sebagaimana kita tahu, adalah makluk yang mirip manusia,
yang suka mencuri manusia dan membawanya ke alam gaib. Namun oleh Afri Meldam,
lewat tokoh bernama Bujang Imbang, Cindaku tampak sebagai tipu-tipuan orang di
masa lalu. Cerita Cindaku disebarkan hanya agar orang takut tidur larut, dan
dengan begitu para penjahat bebas mencuri dan menjarah.
Dalam
cerpen “Hikayat Bujang Jilatang”, pengarang dengan begitu meyakinkan menyebut
daerah Sumpur Kudus. Sedikit berbeda
dari cerpen lain, Hikayar Bujang Jilatang adalah sebuah parodi, di mana tokoh
yang sebenarnya bernama Zulfirman, ketika meninggal dunia – saking banyaknya
dosa – ditendang oleh malaikat penjaga neraka sehingga secara tidak sengaja
sampai ke surga. Dan sebuah keterkejutan akhir yang didapatkan dalam cerpen ini
adalah ketika mengetahui bahwa kita sedang mendengar cerita dari ayah si Bujang
Jilatang sendiri, yang telah bersembunyi dari identitasnya sebagai orangtua. Namun
lagi-lagi, meskipun secara tema cerpen ini tidak mengangkat mitos-mitos, tetap
saja kita disuguhkan selipan-selipan mitos, alur pikir terhadap mitos, dan
ketidakmungkinan sebuah mitos, yang sedikit-banyak memacu kita untuk
mempertanyakan kembali mitos-mitos di sekeliling kita.
Selain
mitos, ada nilai-norma tak dan tatanan adat dalam masyarakat di daerah Sumpur
Kudus yang coba diangkat-dibentang-regangkan oleh Afri Meldam. Seperti dalam
cerpen “Angku Rajo Mudo”. Cerpen ini coba mengangkat pergeseran yang terjadi
antara modern dan adat. Lewat tokoh Akmal, tampil modernitas yang tidak bisa
hidup dalam tradisi. Lewat tokoh Mandeh, tampil adat yang ingin selalu
dijunjung dan dinomorsatukan, serta betapa urgennya sebuah suku memiliki
seorang datuk. Di sini tampak usah penulis untuk meletakan keduanya secara
ideal. Adat memang perlu, tapi mesti disesuaikan dalam banyak hal. Dan modern
adalah mesti, namun bukan berarti itu melupakan kaum yang telah terbangun. Selanjutnya
dalam cerpen “Ke Lisun Datuk Kembali”, yang menjadi tema besar adalah nilai,
sikap, dan tabiat masyarakat. Lewat tokoh seorang kaya, Datuk Rajo Ameh,
penulis memaparkan kepada kita bagaimana manusia selalu memiliki sesuatu yang
tersembunyi dan licik di balik senyum dan kebaikan kata. Hal yang ditemukan
semua orang dalam kehidupan sehari-hari ini dialirkan dan didramatisir penulis,
dengan mengatur Datuk Rajo Ameh kembali ke Lisun – tempat awal ia memulai keberhasilan hidup – untuk
hidup secara tenang dan miskin harta.
Secara
keseluruhan, cerpen-cerpen dalam Hikayat Bujang Jilatang berpusat pada latar
Sumpur Kudus. Hanya saja objek yang diaceritakan berbeda: kadang mitos, kadang
tatanan adat, perbenturan antara semangat tradisi dan modern, sekadar tabiat
atau perilaku masyarakat yang semua orang paham, tapi jarang dibicarakan
apalagi dituliskan. Afri Meldam tampaknya memang secara penuh mempersembahkan
menggantungkan energi karyanya pada segala yang berputar di lingkungan
masyarakat asalnya. Namun meskipun yang tersebut selalu Sumpur Kudus, tapi saya
percaya, siapapun yang ada di Sumatera Barat dan pernah merasakan lingkungan
sosial yang tradisional atau semi tradisional sekalipun, tentu tidak asing
dengan segala mitos, nilai, adat, atau perbenturan adat yang disuguhkan Afri
Meldam, sebab secara tema, permasalahan yang dipaparkan Afri Meldam ini
universal adanya, terlebih dengan mitos atau sastra lisannya.
0 komentar:
Post a Comment