Sabtu Malam, dan Sebercak Moment Estetik
(Catatan “Panggung Puisi 2014”: Acara yang bergulir
di Antara Keterbatasan Ruang Gerak)
Sabtu
malam (22 November 2014) HMJ Sastra Indonesia FIB Unand menggelar acara Panggung
Puisi, yang sebelumnya telah dikenal luas sebagai agenda tahunan HMJ dengan
nama Tadarus Puisi. Jika pada tahun-tahun sebelumnya acara bernuansa keakraban
sepanjang malam, maka tahun ini, panitia (Sastra Indonesia angkatan 2013)
mengambil sikap dengan memangkas durasi acara dari yang biasanya malam sampai
pagi, menjadi sore hingga jam 12 teng! Banyak
sebab, sesungguhnya, yang berperan dalam perubahan konsep acara, salah
satunya—dan yang paling besar porsinya—, faktor perizinan kampus yang tidak
bersambut dengan tuntutan konsep. Namun terlepas dari itu semua, acara malam
itu tentu harus diapresiasi. Kerja keras panitia tidaklah sia-sia. Moment estetik
yang hadir begitu saja dan natural, menandakan betapa puisi masih menjadi
sesuatu yang tak bisa diabaikan.
Dibuka
pada sore hari pukul 16.00 Wib dengan diskusi dan orasi budaya mengenai puisi
dalam kehidupan, acara tampak mengesankan. Heru Joni Putra, Fariq Alfaruqi, dan
Ramoun Apta, adalah nama yang “ditunjuk” menyampaikan perihal puisi dan
berpuisi, dari berbagai perspektif. Mahasiswa baru Sastra Indonesia, tampak
menyambut pembahasan itu dengan bersahabat, meskipun bincang-bincang kemudian
tidaklah begitu riuh dan keruh (barangkali juga sebab durasi yang tak sepanjang
tali beruk itu). Namun setidaknya, beberapa pembahasan yang dikemukakan tiga
pembicara di atas dirasa cukup menjadi wacana dasar bagi peserta diskusi untuk
mulai mengetuk pintu puisi di lusa hari, terlepas dari masalah minat atau tidak
minat. Dan pembahasan itu pula, terasa mengesankan dan mampu menyentuh harapan
yang ditanam kawan-kawan panitia, akan pengenalan puisi terhadap generasi baru
Sastra Indonesia Unand.
Selepas
magrib, acara dilangsungkan di ruang terbuka Medan nan Balinduang FIB, dengan
konsep yang bukan lagi bincang-bincang dan bertukar pikiran, melainkan menjadi
panggung pertunjukan seni yang apik. Panggung temaram dengan beberapa warna
cahaya; sound system lengkap dengan
gitar dan gendang; grafity di bekas
karung semen sebagai ganti spanduk; obor-obor bertebaran di sudut-sudut
strategis; tribun kiri dan kanan yang pencahayaannya tidak cukup untuk
mengenali kawan dekat. Para tamu
undangan tampak kian berdatangan selepas hujan tinggal rinai (hujan yang tak
berhenti turun sejak sore membuat para tamu tidak mengindahkan jadwal pada
undangan): alumni, dosen, masyarakat FIB, dan komunitas-komunitas seni Kota
Padang. Ada yang berpasangan, ada yang bersama suami dan seorang anak, ada yang
sendirian tanpa teman—barangkali ia merasa pertunjukan puisi bisa
menyelamatkannya dari rasa sepi di Sabtu malam.
(Foto: Tribun disesaki penonton)
Banyak
pegiat pertunjukan, komunitas seni yang tampil memberi keriuhan. Sederet
pembaca puisi yang antusias mengisi panggung; dosen, alumni, tamu tercinta,
wakil dekan, dan lain, dan lain. Semua itu adalah pengisi waktu demi
menyukseskan pertunjukan istimewa yang dirancang panitia. Adalah mahasiswa baru 2014, yang sengaja
diberi kehormatan penuh kasih sayang, untuk membawakan puisi karya para penyair
yang sejak lama lahir dan tumbuh di Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand.
Sembilan grub diberi kesempatan istimewa untuk tampil (barangkali menjadi
pengalaman pertama bagi mereka), mengapresiasi puisi, dan untuk kemudian
mendapat tepuk-tangan paling riuh dari segenap penonton di tribun. Sembilan
grub tersebut mendaramakan puisi-puisi karya penyair Sastra Indonesia Unand,
dan puisi karya penyair Indonesia.
(Foto: Sekelompok mahasiswa baru Sastra Indonesia FIB Unand setelah sukses menampilkan dramatisasi puisi)
Puas
menyanjung mesra kawan-kawan mahasiswa baru, maka sampailah moment pada yang
disebut sebagai puncak acara (bagian ini bertahan dari tahun ke tahun). Sekitar
pukul 22.30 WIB, Satu dua orang naik ke atas panggung, membawakan tembang “Nyanyian Jiwa” dari Iwan Fals, kemudian
membaca puisi ketika lagu sampai pada bagian reffrain. Dari sinilah puncak moment estetik itu dimulai. Satu
persatu pembaca puisi menaiki panggung secara spontan, sementara “Nyanyian Jiwa” tak kunjung sampai di
petikan terakhir. Obor-obor yang tadinya ditancapkan di sisi-sisi panggung,
kini berdiri di tengah-tengah pentas, dikelilingi empat—lima orang yang khusuk
membaca puisi. Seperti itu suasana terus berlanjut, hingga panggung disesaki
oleh sekitar 20 pembaca puisi, sementara sekelompok pegiat teater suntuk dalam
teatrikal mabuk, di bawah rinai yang dingin. Bersamaan dengan itu pula,
teriakan-teriakan puisi terdengar dari sudut-sudut kelam tribun. Suara
laki-laki dan perempuan, entah siapa. Rupanya panitia telah lebih sigap
mengambil inisiatif: satu—dua microfon
berjalan di selingkar ruang gelap tribun. Semua orang kini membaca puisi,
berbekal stensilan berisi puisi-puisi yang disebar panitia sejak permulaan
acara.
(Foto: Puluhan pembaca puisi menyesaki panggung)
Seperti
itulah “Panggung Puisi 2014” memuncak. Moment estetik yang tercipta lewat
perasaan spontan dan rasa canggung yang lenyap entah ke mana dari dada,
disaksikan gerimis dan kabut dingin bukit Limau Manis. Sekitar satu setengah
jam, Sabtu malam menjadi sehabat yang penuh perhatian dan pengertian.
Mendekati
pukul 24.00 WIB malam, acara diakhiri. Hadirin tercenung dalam riuh yang masih
mengganas dalam dada. Kini durasi mesti dipatuhi. Di luar tribun, tampak bus
kampus berdiri dalam diam, tampak kedinginan. Sesuai tawaran panitia kepada
jajaran pimpinan fakultas, para peserta (mahasiswa baru 2014) mesti dipulangkan dengan aman dan nyaman.
Bersamaan dengan itu pula, satu persatu tamu bergerak ke luar tribun. Satu—dua
panitia berdiri di jalan ke luar, bersalaman, dan menjawab pamit para tamu:
dosen, Wakil Dekan FIB, alumni, dan komunitas-komunitas undangan.
Di
panggung, cahaya kini benderang. semua lampu telah dihidupkan. Tampak beberapa
orang bergerak-gerak kecil di panggung bagian belakang, berkemas, sambil
bercengkrama dan tertawa-tawa. Di sudut depan panggung, segerombol anak
laki-laki dengan kepala dan baju yang basah, duduk dan tersenyum sumringah. Gelas-gelas
kopi menjadi sesuatu yang paling akrab bagi setiap orang malam itu. (*)
*Catatan: Andesta Herli ~ Ketua HMJ Sastra Indonesia Unand (Padang, November 2014)
0 komentar:
Post a Comment