Judul
: Orang-orang Berpayung Hitam
Pengarang : Iyut Fitra
Penerbit : Halaman Indonesia
Cetakan : November 2014
Tebal :102 halaman
Peresensi : Rahmawati (Sasindo '14)
Buku kumpulan cerpen Orang-orang Berpayung Hitam (Halaman
Indonesia, 2014) adalah buku keempat yang sukses ditulis Iyut Fitra, penyair asal Payukumbuh, Sumatera Barat.
Buku ini adalah kumpulan
karya-karya yang sebagian besar telah pernah terbit di beberapa media cetak dan
beberapa diantaranya adalah karya yang belum pernah dipublikasikan. Iyut Fitra
sesungguhnya lebih dikenal sebagai penyair, dengan beberapa buku kumpulan puisinya
yang telah terbit, yakni: Musim Retak
(2005), Dongeng-dongeng Tua (2009), dan
Beri Aku Malam (Intan Cendikia Yogyakarta).
Orang-orang Berpayung
Hitam bercerita
tentang
kesedihan, rasa sakit, luka dan permasalahan pelik yang dihadapi manusia pada
umumnya. Kata “Hitam”
menjadi
simbol kesedihan
dalam kisah-kisah yang menyayat hati
pada setiap cerpen yang ada didalam
kumpulan
ini.
Kesedihan
yang muncul, beberapa diantaranya lahir dari titik problema
yang sama.
Hanya Seekor Kupu-kupu dan Orang-orang
Berpayung Hitam, misalnya
sama-sama
menceritakan permasalahan si tokoh utama dengan memakai alur flasback. Dimulai dari ingatan tokoh utama tentang masalalu yang penuh kebahagiaan dan cinta
yang pernah ada, kemudian hancur oleh sebuah peristiwa. Dalam cerpen Hanya Seekor Kupu-kupu, konflik dimulai
dari seekor kupu-kupu yang menimbulkan ingatan tokoh utama pada masalalu. Dalam
cerpen ini, masalalu yang indah hancur oleh penggusuran kompleks tempat si
tokoh utama tinggal.Kemudian pada
cerpen Orang-orang Berpayung Hitam juga
digambarkan oleh seorang pemuda yang kembali mengingat masalalu. Hanya saja, pada
cerpen ini konflik tergambar saat si tokoh utama berada dalam sebuah peristiwa
gempa bumi. Gempa bumi yang terjadi mengingatkan si tokoh utama pada Suluh kekasih yang telah
lama ia tinggalkan.
Kesedihan
beraroma lain tergambar dari cerpen Langit
Malam dan Lewat Jam Sepuluh. Pada
kedua
cerpen
ini, termuat
kisah
tentang cinta yang tidak direstui oleh orang tua. Kedua cerpen ini juga
sama-sama menyorot dilema yang dialami oleh tokoh utama yaitu seorang pemuda.
Dalam cerpen Langit Malam, konflik
dimulai dari tokoh utama yang teringat dengan kata-kata sang ibunda terhadap
wanita pilihannya. Hubungan yang tidak direstui karena wanita pilihan tokoh
utama adalah seorang anak dendang (sebutan
untuk orang-orang yang melagukan pantun-pantun dalam kesenian musik saluang). Pandangan ibu tokoh utama terhadap
anak dendang yang tidak baik mengakibatkan
akar perseteruan itu dimulai. Pada cerpen ini penulis menggambarkan dilema yang
dialami oleh tokoh utama yang harus menetukan pilihan. Ibu atau kekasihnya. Kemudian dalam cerpen Lewat Jam Sepuluh dilema yang
digambarkan adalah tentang keinginan kekasih tokoh utama yaitu kawin lari. Pada
cerpen ini digambarkan hubungan yang tidak direstui oleh ayah dan ibu dari kekasih tokoh utama.
Pengangguran adalah akar permasalahannya. Pada cerpen ini penulis membuka konflik dengan aktifitas yang akandilakukan
tokoh
utama
yaitu
merampok.
Tamu Lebaran dan Kalau Saja Perempuan Itu Bukan Iya, hamper sama dengan cerpen Langit Malam dan Lewat
Jam Sepuluh, yaitu
sama-sama
bertemakan
percintaan , namun
bedanya
dalam
cerpen
Tamu
Lebaran
dan
Kalau
Saja
Perempuan Itu
Bukan
Iya, percintaan yang hadir mengakibatkan perasaan yang tersakiti
oleh
cinta
itu
sendiri. Pengkhianatan yang
berujung balas dendam. Bukan lagi tentang cinta yang tidak
direstui
seperti yang digambarkan
cerpen
Langit
Malam
dan
Lewat Jam Sepuluh.
Pada
cerpen
Tamu
Lebaran, penulis memulai dengan Tamu yang datang di hari
Lebaran
ke
rumah
si
tokoh
utama.
Tanpa
memberitahu
identitas, Si Tamu
malah
bercerita
tentang
kisah
cintanya.
Konflik
dimulai
dengan
kebingungan yang dirasakan
oleh
tokoh
utama.
Di akhir
ceritanya, Si Tamu
baru
memberitahu
identitasnya.
Tamu
itu
bernama
Tongkang.
Dalam
kisahnya, tongkang
menceritakan
kepada
tokoh
utama
tentang
pengkhianatan
yang dilakukan
oleh
kekasih-kekasih
masalalunya, ia
juga
menceritakan
bagaimana rasa sakit
dikhianati
dan
kepuasan yang dirasakannya
usai
melakukan
balas
dendam
dengan
cara
membunuh. Kebingungan
si
tokoh
utama
masih
berlanjut
hingga
akhir
cerita,
sampai ditemukannya
istri
si
tokoh
utama yang mati
terbunuh.
Berbeda dengan Tamu Lebaran, di akhir kisah Kalau Saja Bukan Iya malah menceritakan bagaimana si tokoh utama yang tak
berdaya
karena
cinta
dan
tidak
jadi
melakukan
pembunuhan
terhadap
kekasihnya.
Walau
sebelumnya
ia
pernah
membunuh
seorang
kekasih
masalalunya
usai
dikhianati
oleh sang kekasih. Namun
untuk kali ini, ia
tidak
bias
mengayunkan
belati
kepada
kekasihnya, yang ada
malah
ia
menyatakan
cinta.
Sungguh
sebuah
akhiran yang berada di luar
perkiraan
pembaca.
Cerpen Mayat Berseragam, Kota Yang
Meledak, dan Dulu Segalanya Memang
Indah mengangkat
tema yang sama, yaitu
tentang
perseteruan yang terjadi
antara
dua
belah
pihak yang mengakibatkan
traumatic
bagi
sebagian
korbannya.
Lalu
pada
cerpen
Mayat
Beseragam, perseteruan yang terjadi
mulai
tampak di akhir
cerita.
Dimulai
dengan
penemuan
Mayat
Berseragam
oleh
seorang
lelaki
tua.
Kemudian
berlanjut
dengan
suara-suara
tembakan
dan
perkelahian yang terjadi
hamper
setiap
malam di ladang milik lelaki tua itu. Perseteruan itu menimbulkan traumatic bagi si lelaki tua. Cerita berakhiri dengan pelarian yang dilakukan
oleh
si
lelaki
tua.
Pada cerpen Kota
Yang Meledak, penulis
mengemasnya
dalam
bentuk
traumatik yang dialami
oleh
seorang
ibu.
Bermula
dengan
ledakan yang terjadi di
sebuah tempat makan. Pada saat yang bersamaan
si
ibu
dan
keluarganya
tengah
menikmati
hidangan yang disajikan,
tanpa di duga, sebuah ledakan terjadi. Ibu itu kini terpaksa menjadi single
parent
sebab
ledakan
itu
telah
merenggut
nyawa
suaminya.
Beruntung
ia
dan
anaknya
tidak
menjadi
korban
ledakan
itu.
Namun
sayang, ledakan
itu
member
pengaruh
negative
bagi
psikis
si
ibu.
Penulis
melukiskan
perasaan traumatik yang mendalam
yang mengakibatkan
ia
tidak
mau
menginjakkan kaki di kota
tempat
peristiwa
itu
terjadi.
Masih tentang perseteruan, cerpen
Dulu
Segalanya Memang Indah, juga menceritakan tentang kota yang porak-poranda karena perseteruan yang terjadi
antara
dua
belah
pihak. Hampir
sama
dengan
cerpen
Kota Yang Meledak,
tokoh yang di sorot di sini juga seorang ibu. Bedanya, tokoh
ini
tidak
mengalami trauma yang
mendalam. Ia bahkan tidak takut sama sekali terhadap apa yang terjadi di kotanya.
Berbeda
dengan
cerpen yang lain, Rumah Untuk
Kemenakan dan
Jendela
Tuaa
dalah
cerpen yang menyorot
budaya
dan
adat
istiadat
Minangkabau. Dalam
cerpen
Rumah
Untuk
Kemenakan penulis
menggambarkan
adat yang harus
dipatuhi
oleh
seorang
pemuda
sebagai
mamak yang baru
menikah
untuk
meninggalkan
rumah
tanah
pusaka.
Rumah yang berdiri di tanah
pusaka
tidak
sepantasnya
ditempati
oleh
seorang
mamak. Di Minangkabau, setiap
anak
laki-laki yang sudah
punya
istri
akan
pergi
ke
rumahnya yang baru
atau
tinggal di rumah
istrinya. Jadi, tinggal di
rumah tanah pusaka adalah kesalahan yang akan
menimbulkan
penggunjingan
oleh
kerabat
dan
tetangga. Sebab, kemenakan
perempuan
masih
ada, dan
rumah
itu
lebih
pantas dihuni
oleh
kemenakan-kemenakan
jika
ia
menikah
nanti. Dalam
cerpen
ini, si
tokoh
utama
mengalami dilema. Harus meninggalkan rumah sedangkan rumah pengganti belum ada. Dalam cerpen ini penulis sepertinya mengkritik adat istiadat Minangkabau yang tidak
memandang
keadaan.
Berbeda
dengan
Rumah
Untuk
Kemenakan, cerpen Jendela Tua adalah cerpen yang menceritakan
kesendirian
ibu
tua yang tinggal di rumah gadang. Cerpen ini juga berlatar belakang adat Minangkabau. Hanya saja pada cerpen ini, tidak terlalu membahas adat istiadat terlalu dalam. Cerpen ini lebih memfokuskan sorot pandang tentang kesendirian yang pada
akhirnya
akan
kita
rasakan
ketika
sudah
tua. Anak-anak
yang merantau
mengakibatkan
pengikisan
budaya
itu
terjadi.
Budaya
asli
Minangkabau
tidak
lagi dihiraukan, malah
berganti
dengan
budaya
rantau yang asing.
Banyak yang berubah
semenjak
anak-anak
merantau.
Bahkan
si
ibu
tua
tidak
mengenali
anaknya
lagi.
Sebab, begitu
banyak yang berubah
pada
anak-anaknya,
cucu-cucunya, entah
itu
cara
bicara, cara
makan, dan
banyak
lagi
lainnya. Dalam
cerpen
ini, penulis
juga
mengemukakan
kritik yang tersirat.
Amanat yang dapat
kita
tangkap
dalam
cerpen
ini
adalah
budaya yang harusnya
dijaga
bukan
malah
terbawa
budaya
luar yang sama
sekali asing.
Cerpen yang menggambarkan
kebingungan
oleh
seorang
pemuda
ada
dalam
Wartel dan Perempuan-perempuan pengungsi. Dalam cerpen ini, penulis menggambarkan tentang pertentangan yang terjadi
dalam
diri
tokoh
utama
dengan
dirinya
sendiri.
Yang
menarik pada cerpen Iyut Fitra adalah latar dan penokohan yang banyak
mengangkat Minangkabau. Terdapat juga simbol-simbol yang berkaitan dengan adat
istiadat Minangkabau. Permasalahan-permasalahan
yang digambarkan oleh penulis memberikan suatu suntikan kesadaran tentang apa yang tengah
terjadi
pada
manusia
zaman
sekarang. Seperti
putus
cinta yang berakibat fatal,
pergeseran budaya, dan berbagai masalah yang ada
memberikan
sebuah
amanat yang tersirat
untuk
pembaca.
Yang
menarik pada buku ini adalah puisi-puisi yang ada didalam cerpennya. Beberapa
cerpen dapat kita jumpai kutipan sajak-sajak yang sengaja dikombinasikan dengan cerpen yang menjadikan sebuah daya tarik tersendiri
bagi pembaca. Terutama bagi penikmat puisi. Hanya dengan membaca buku ini
pembaca bisa menikmati sajian puisi yang sengaja di sajikan untuk para pembaca. Latar
belakangnya sebagai penyair, menguatkan pemilihan kata-kata yang digunakan
dalam buku ini, sangat puitik, indah,
dan detail.
*Orang-orang Berpayung Hitam, adalah salah-satu buku yang akan dibahas dalam agenda Pekan Kritik Sastra 2 HMJ Sastra Indonesia Unand.
0 komentar:
Post a Comment