HMJ Sastra Indonesia FIB
Unand
mengucapkan selamat kepada Rizkan
atas prestasinya dalam event lomba menulis puisi dan cerpen “Gema Muharam 1436 H” yang diselenggarakan oleh lembaga Nursing Islamic Centre Fakultas Keperawatan
Universitas Andalas, sebagai
·
Pemenang I lomba cipta puisi
·
Pemenang II lomba
menulis cerpen
Semoga menjadi sumber motivasi untuk
terus berkarya!
Lahir di
Tanah Rekah, 11 April 1995. Tinggal di Kampung Dalam, Padang. Semenjak menginjakkan kaki di kampus hijau dan menjalani
pendidikan di bidang sastra dan bahasa Indonesia, ia semakin tertarik untuk
memperbanyak bacaan dan mencipatakan karya sastra serta meneliti tentang hal
yang berkaitan dengan sastra dan kebahasaan Indonesia.
Di kampus, laki-laki ini aktif di FKI Rabbani Unand serta
mengikuti berbagai kegiatan tentang kepenulisan bersama HMJ Sastra Indonesia.
Baginya, kegiatan di FKI Rabbani ia lakukan untuk mengoptimalkan ruhiah tentang Islam. Sedangkan, dengan
HMJ Sastra Indonesia dan kawan-kawan di FIB menjadi moment untuk menambah
kemampuan dalam hal kepenulisan. Bagi Rizkan, menulis adalah untuk menyebarkan
kebaikan. Jadi, ia tidak akan menulis, bila tak ada kebaikan dan manfaat di
dalamnya.
Rizkan mengakui, dalam hal kepenulisan ia sering sekali
gagal, misalnya, meski sudah puluhan kali mengirimkan tulisan ke koran, tapi
belum ada satu pun tang diterbitkan. Namun, ia tidak patah arang sampai di
situ, melaikan terus tekun. Dan tidak sia-sia, kerja keras itu bisa terbayar ketika
mampu memenangkan lomba menulis cerpen dan puisi, walau masih dalam lingkup Unand.
“Sekarang
saya semakin semangat menulis, karena baru-baru ini, essay saya muncul di buku
elektronik Dompet Dhuava, "Petisi Untuk Pemimpin Bangsa". Saya
berharap prestasi yang akan saya ukir, akan lebih banyak lagi.”, tuturnya
Karya Terpilih
Puisi
Lena ku menyusuri gemerlapnya sajadah panjang
Menjejaki sebaris tapak kaki, hingga uban tak disangka jatuh
Hanya nikmat yang terasa
Kala memandangi padatnya jalanan di waktu senja
Bersama lampu yang tengah bercerita
Sejak ia menerangi kota
Kawanku mulai terlupa
Dia sempat singgah, menemaniku meloncati sepotong salju
Mungkin ia telah pergi
Meninggalkanku di dalam mimpi
Didampingi malam yang datang menjemput senja
Kukirim salam jauh dengan awan yang mengapung
Kuselip secebis nyanyian dengan suaraku yang lirih
Mungkin aku tinggal sendiri, menyusuri dimana ujungnya benang ini
Mengapa tak aku sadari, jalanan kosong yang
membuatku terburu-buru
Kini usiaku habis dimakan waktu, aku lupa bersenggama pada-Nya
Ketika iringan sajadah hitam, datang mengetuk pintu rumahku
Memaksa musim berganti, namun bibirku tetap beku
Aku menyesal, dibalik kelopak mata yang terpejam,,,
(Syair ini didedikasikan untuk sahabat yang membuatku
berlinang air mata, Midle Test 2012 @Mukomuko)
Berhentilah menyanyi
sebentar! Kata mak Lindau pada anaknya. Kau tak dengar suara adzan? Begitulah
suasana setiap magrib di rumah mak Lindau yang terletak di sebelah jembatan
penyeberangan darurat, di kampung Dungku. Anaknya yang bernama Tari ini memang
suka bernyanyi. Dia sempat bercerita pada ibunya, kalau dia besar nanti, dia
ingin menjadi penyanyi. Mak Landau hanya mengangguk saat anak perempuan
satu-satunya ini, mengungkapkan gairahnya untuk jadi penyanyi, kata yang
terucap dibibirnya hanya, terserah nak, yang penting halal, sambil mengecup
kening anaknya yang polos.
Terik mentari takkan mampu
menembus pertahanan rumah mak Landau, yang diselimuti labu yang menjalar.
Sekali-kali kalau buah labunya sudah besar, mak Landau akan memboncengnya
dengan sepeda, lalu menjualnya di pasar, yang berjarak lima kilo meter dari rumahnya. Keseharian mak
Landau memang beragam, kadang ia mendapat upah dari menyiangi gulma di sawah
warga, sesekali menjadi kuli panen di kebun, bila beruntung, ia akan menjadi
kuli panen pisang, karena selain mendapat upah uang, kadang majikannya juga
memberikan beberapa tandan pisang untuk dibawanya pulang. Pisang yang
didapatnya kemudian dijadikannya gorengan tuk dijual di pasar. Sukur-sukur bisa
nalangin kebutuhan rumah satu minggu, ucap mak Landau dalam hatinya.
Awan mulai bergerak ke arah
timur, mentari mulai merubah warnanya menjadi kemerahan, perlahan-lahan gelap
datang menjemput senja, hingga mentari tak tampak lagi. Bila malam mulai
menjelma, orang-orang akan banyak lalu-lalang di jembatan tua yang dibangun
masa orde baru yang berada di sebelah rumah mak Landau. Asap bercampur aroma
harum nasi yang baru mendidih ditanak, mengempul di udara, menambah hangat
suanana malam di rumah mak Landau. Pekerjaannya yang serabutan memberi lelah
yang teramat sangat, apalagi usianya kini menginjak lima puluh empat tahun,
namun semua itu terbayarkan ketika pulang, makanan telah dihidangkan putrinya
di atas meja tua yang dibuat mendiang suaminya dari anyaman rotan.
Kokok ayam menandakan subuh
telah datang. Tapi mak Landau telah lebih dulu meninggalkan rumah sambil
memikul kayu bakar yang diambilnya kemarin sore di hutan. Kali ini, ia memang
tak berangkat menggunakan sepeda, ban sepedanya bocor oleh sesuatu yang tak
dapat dilihatnya saat kemarin ia pulang di waktu senja. Menempuh jarak lima
kilo dari rumahnya takkan terasa berat jika berangkat secepat ini, pikir mak
Landau sambil mengangkat kayu di pundaknya.
Jalanan terasa licin dan
ringan ditapaki mak Landau. Entah mengapa dalam gelap yang belum memudar itu,
terbesit di pikirannya tentang dua anak laki-lakinya yang sekarang entah ada di
mana. Ia ingat ketika terakhir kali memeluk kedua anak lelakinya, sambil
mengantarkannya ke kapal di pelabuhan Batam. Waktu itu, kedua anaknya pamit
untuk pergi merantau, entah mengapa setelah lima tahun, tak sekalipun anaknya
pulang menyambangi ibunya yang kini telah berusia lebih dari setengah abad.
Kini pikiran mak Landau
beralih pada anak gadisnya. Mak Landau menetestan air mata di pipinya,
mengenang nasib anak gadisnya yang harus menjadi tukang cuci di rumah warg,a
untuk membiayai sekolahnya. Ia kembali fokus bekerja setelah melihat keramaian
pasar, dibayangnya kayu bakar yang ia bawa akan segera terjual ketika ia sampai
di lapak para pedagang kayu. Benar saja, tak berapa lama mak Landau menurunkan
kayu dari pundaknya, langsung seorang ibu muda dengan daster merah memborong
semua kayu yang ia bawa.
Beberapa rupiah dari hasil
jualannya ia gunakan untuk membeli beberapa gantang beras. Selebihnya ia simpan
untuk diberikan pada anak gadisnya yang pasti lelah bersekolah, mengurusi
rumah, dan menyuci pakaian di rumah tetangga. Hari ini mak Landau tak langsung
pulang ke rumah, ia mampir dulu ke rumah Jupri, temannya sewaktu muda. Jupri
pernah menawarkan pinjaman modal kepada mak Landau untuk berjualan di rumahnya,
apalagi Jupri tak mengharapkan mak Landau untuk mengembalikan pinjamannya
tersebut, bila tak mampu mengembalikannya. Mak Landau berencana membuka warung
kelontong di depan rumahnya, dengan modal yang dipinjamkan Jupri, ia akan
memulai usahanya dengan menjual lontong gulai dan sejenisnya pada orang-orang
yang biasa berhenti di sekitar jembatan tua, yang menggantung menyeberangi
sungai. Berkat bantuan Jupri, mak Landau berhasil mendirikan warung kelontong
yang diimpikannya. Usahanya juga cukup menguntungkan, sekarang Ia tak perlu
lagi menjadi kuli di ladang orang, meski kadang-kadang ia masih mencari kayu
bakar di hutan untuk ia gunakan sendiri.
Rembulan bersinar terang jauh
di atas awan yang mengapung dilangit, menerangi rumah mak Landau, dan
memantulkan cahanya yang anggun ke atas sungai. Suara jangkrik yang berderik
menambah hikmat suasana alam yang masih asri di kampung Dungku. Mak Landau
mengajak putrinya berbincang, Ia menceritakan bahwa penyakitnya sudah semakin
parah, dan mungkin akan segera menyusul suaminya yang telah lebih dulu pergi
tiga tahun yang lalu. Mak Landau mengelus lembut pipi si anak dan menyeka air
mata yang mengalir di pipi putrinya. Ia tahu, putrinya pasti akan sedih sekali
jika mendengar ceritanya. Tapi, ia tetap harus menceritakan kebenarannya pada
sang putri. Anemia yang telah lama dideritanya dan terus ditahan selama ini,
mungkin menjadi tepat untuk diceritakan, karena kini mereka sudah cukup
berkecukupan dalam hidup.
Tari, kini kita telah punya
warung kelontong. Tapi, Ibu sudah tak sanggup lagi bekerja, mungkin inilah
pengorbanan terakhir yang bisa ibu berikan padamu. Kamu sekolahlah yang rajin,
ibu ingin masa depan kamu lebih baik dari yang ibu dapatkan selama ini, curah
mak Landau pada putrinya yang mulai terlelap.
Hari demi hari banyak mak Landau habiskan di surau. Ia
sering mengikuti pengajian ibu-ibu yang ada di kampungnya. Warung kelontongnya
kini diambil alih oleh putrinya. Ia lebih banyak meluangkan waktu untuk belajar
ilmu agama di surau. Suatu sore, mak Landau sengaja menemui ustad yang
sebelumnya telah memberi pengajian, ia bertanya perihal tanggung jawab orang
tua pada anaknya yang disampaikan ustad pada ibu-ibu yang hadir di sore itu.
Pak ustad, kalau anak kita
tidak sembahyang, ibuknya berdosa juga ya ustad? Ucap mak Landau sambil gugup.
Bulan terasa pecah di kepala mak Landau, langit yang
cerah tiba-tiba terasa mendung, ditemani badai dan petir. Tak dikira, ternyata
tanggung jawabnya kepada si anak belum selesai juga. Padahal, separuh hidupnya
telah ia habiskan untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan anaknya. Menjadi
kuli, tukang kayu, menggarap ladang, memamen pisang, jagung, dan cabe di ladang
orang telah dilakukannya. Akhirnya,saat ia sudah menginjak usia renta, ia
berhasil mendirikan warung kelontong untuk mencukupi kebutuhan hidup anaknya.
Tapi, ternyata ia memiliki kewajiban lain, yaitu mengajarkan ilmu agama pada
anaknya. Memang sejak Tari kecil, mak Landau tak pernah mengajari satu hal pun
tentang ilmu agama padanya. Ia hanya sibuk dengan pekerjaan serabutan yang
dilakoninya, hingga tak sadar usianya sudah hampir kepala enam, namun akhirat
belum juga dipikirkannya.
Mak Landau sangat bersukur, di akhir hidupnya ia bisa
memberikan kebahagiaan pada anaknya. Telah lama ia menantikan saat seperti ini,
yang mana ia bisa menghabiskan waktu tuanya untuk lebih taat beribadah, pergi
ke surau, dan ikut pengajian bersama ibu-ibu seusianya. Ia merencanakan di masa
tuanya, ia bisa fokus untuk beribadah saja, soalnya dulu ketika muda ia tak
terlalu ambil pusing tentang dosa, ia bertekad akan menjadi ahli ibadah dan
memohon ampun atas semua dosanya di masa muda, ketika ia telah tua. Mak Calau
mulai meminta Tari untuk belajar sembahyang pada tetua yang ada di surau.
Namun, Tari menolak, ia ingin belajar, mencari uang dan mengejar cita-citanya.
Ia tak mau memikirkan soal agama di masa mudanya.
Buk, sembahyang itu sampai
kapan pun akan tetap ada, masa muda ini, kita harus bekerja untuk mengejar
cita-cita. Nantilah kalau saya sudah tua baru saya sembahyang, dan minta ampun
pada gusti Allah, ucap Tari pada mak Landau yang termenung mengingat masa
mudanya.
*Infokom HMJ Sastra Indonesia FIB Unand