Foto: Muhaimin (depan),
Findo (tengah), Zikhwan (belakang)
Perkembangan seni film di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya kian berkembang. Sumber daya
manusia yang kian tersedia dan fasilitas yang cukup memadai menjadi faktor penunjang kreatifitas mahasiswa.
Baru-baru ini, Findo Bramata Sandi (Sastra Indonnesia ‘013), Muhaimin Nurrizqy (Sastra Indonesia ‘013), dan Zikhwan Almahbubi (Sastra Daerah ‘013), berhasil meraih Harapan I Lomba “Visualisasi Kesejarahan dan Nilai
Budaya” yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia di bawah Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya. Ini merupakan sebuah
prestasi yang membanggakan bagi kita semua.
Secara ide, lomba ini
bertujuan agar mahasiswa dan pelajar aktif dalam mencari sumber sejarah yang
tersedia di sekitar lingkungannya, baik itu berupa peristiwa sejarah lokal,
tempat-tempat bersejarah, bangunan bersejarah, tokoh daerah/pelaku dan saksi
sejarah/veteran pejuang kemerdekaan. Sumber sejarah ini kemudian dikemas dalam bentuk dokumenter
sejarah atau komik. Selain itu, juga untuk
menggunggah
mahasiswa agar lebih
memahami nilai budaya yang dianut oleh masyarakat sekitarnya.
Maka, Findo dan
kawan-kawan merasa mendapat
kesempatan mendokumentasikan peninggalan sejarah yang ada di lingkungan mereka. Walau nantinya lolos
atau tidaknya mereka dalam event ini, setidaknya, ide yang telah di rancang ini dapat diproduksi dan diperlihatkan kepada masyarakat
banyak. Dipersiapkanlah sebuah film dokumenter
berjudul “Rel Air”, dengan latar
daerah Pesisir Selatan, tepatnya, Painan. “Rel air” merupakan
visualisasi yang lebih difokuskan terhadap pandangan perspektif orang-orang
yang dekat dengan data
sejarah, tanpa mengabaikan bangunan peninggalan
sejarah itu sendiri.
Mengenai proses
produksi film, Findo, selaku sutradara menjelaskan bahwa hal pertama yang mesti
dilakukan adalah pengiriman proposal ide cerita kepada pihak penyelenggara
acara. Proposal yang dikirimkan oleh Findo dan kawan-kawan ini termasuk dalam
20 proposal yang lolos seleksi. Lantas kemudian, Findo dan kawan-kawan
mengikuti rangkaian workshop atau pelatihan mengenai produksi selama satu pekan
di Bogor. Sekembalinya dari Bogor, Findo dan kawan-kawan pun diberi biaya produksi senilai Rp. 6.000.000
untuk
satu tim (3 orang).
“Kami hanya mendapatkan uang saku sebanyak 6 juta untuk satu
tim,dan bagi kami itu bukanlah
uang produksi. Akhirnya kami harus menggunakan uang saku yang di dapat tersebut
dengan bantuan dari pihak-pihak lain untuk tetap melakukan produksi, seperti dekanat FIB,
Rektorat Unand, Dinas Pariwisaata dan Dinas Pendidikan Pesisir Selatan,” papar Findo.
Memasuki proses produksi Findo dan kawan-kawan begitu gigih
menciptakan karya walau panita penyelenggara memberikan batasan-batasan untuk
memproduksi. Namun apa yang akan mereka sumbangkan dan yang mereka harapkan
dari panitia penyelenggara tidak sebanding dengan apa yang mereka peroleh. Setelah
melakukan pengeditan, film yang telah selesai di produksi ini kembali di kirim kembali kepada
pihak panitia untuk mengikuti seleksi tahap akhir.
Foto: Proses
produksi "Rel Air" di
pedalaman Salido Ketek, Painan
Enam karya finalis terpilih yang telah melewati proses
seleksi proposal dan workshop, dipresentasikan di depan dewan juri. Findo dan
kawan-kawan sempat merasa kaget, sebab di
saat
final panitia menghadirkan
juri tambahan yang berasal dari Metro TV, Peneliti Sejarah dll. Apalagi saat
finalisasi, peserta kembali mempresentasikan ide garapan di dewan juri.
“Kami kembali mempresentasikan ide garapan kami yang
sebelumnya telah di presentasikan. Namun yang menjadi sedikit kekecewaan bagi
kami, hal apa yang menyebabkan ide yang telah selesai kami produksi kembali di
presentasikan. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada kami harusnya adalah
pertanyaan di awal bukan setelah ide ini selesai di garap. Dan kami kecewa
dengan hal yang seperti ini,” tutur Findo yang sempat
di hubungi via telepon.
Findo dan
kawan-kawannya sangat berharap bahwa event-event ini akan direspon baik oleh Film Maker Sumbar, sebab ini akan menjadi wadah yang akan menampung
kreatifitas mereka di dunia perfilman. Dan terlepas dari itu, dengan adanya kerja pendokumentasian
peninggalan sejarah seperti
ini, akan semakin banyak jualah masyarakat yang tahu dan peduli terhadap peninggalan dan
budaya yang ada di tanah
pertiwi ini.
link lain:
http://sanasinee.wordpress.com/2014/11/27/dokumenter-rel-air-melihat-sejarah-tidak-dari-masa-lalu-tetapi-bertanya-kepada-apa-yang-masih-tersisa/
*Annisa Irfayuli – Infokom Sastra Indonesia
0 komentar:
Post a Comment