Foto: Pementasan TPS karya Prel T, sutradara Roby Satria
Beberapa hari lalu, Mahasiswa Sastra Indonesia 2013 Unand mengadakan pertunjukan teater selama dua hari berturut-turut, 3 dan 4 Juni 2015. Pertunjukan tersebut merupakan Tugas Akhir Praktik mata kuliah Telaah Drama yang dipanitiai sekaligus (di)peserta(i) oleh mahasiswa sasindo 2013. Pementasan kali ini menampilkan enam naskah drama yang dipertunjukan oleh enam kelompok. Masing-masing dibagi atas tiga naskah dalam satu hari. Hari pertama berlangsung pertunjukan menampilkan tiga naskah karya Wisran Hadi yaitu, DR. Anda, Nyonya-nyonya, dan Matri Lini. Dan hari kedua mempertunjukan dua naskah terjemahan, Kereta Kencana karya Eugene Ionesco dan Menunggu Godot serta naskah karya dosen pengampu mata kuliah drama TPS (Tempat Pelepasan Suara) karangan Syafril Prel T.
***
Malam
itu pertunjukan berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Pertunjukan diawali
dengan kepiawaian seorang tokoh Doktor mempresentasikan sebuah topik tentang
Minangkabau. Naskah yang bernada satire terlihat dari setiap tuturan tokoh
Doktor tentang Minangkabau, baik alam, adat-istiadat maupun elemen kekuasan
orang Minangkabau. Lalu tidak kalah satirenya, naskah Nyonya-nyonya hadir
merepresentasikan masalah harta warisan di Minangkabau. Tokoh nyonya sebagai
tokoh utama dalam naskah harus kehilangan seluruh harta suaminya akibat
tuntutan dari para kemenakan suami (datuk) dan campur tangan orang luar (tuan)
dalam membujuk Nyonya merelakan satu-persatu harta benda Nyonya hingga harta
dalam bentuk tubuhnya sekalian. Naskah ini menjadikan harta warisan (pusaka)
objek dari setiap konflik yang dialami oleh tokoh-tokoh. Selesai permasalahan
tentang harta pusaka, lalu hadirlah masalah baru yang menimpa Lini, seorang
ratu kecantikan di Minangkabau, yang ditinggal kawin oleh calon suaminya.
Permasalahan muncul ketika ternyata Lini dinyatakan hamil dan yang
menghamilinya tersebut adalah seorang sopir angkot. Pada puncak permasalahan
Datuk (mamak Lini) dan ibu Lini (adik datuk) harus meninggalkan rumah pusaka
dan seluruh karta warisan akibat tergadai untuk mendapatkan uang mencari bakal
suami Lini yang kabur. Beranjak ke malam kedua, dua naskah terjemahan, Menunggu
Godot dan Kereta Kencana menghadirkan suasana cerita yang berbeda, jauh dari
Minangkabau dan persoalan keminagkabauan. Perbudakan dan nostalgia masa muda
menjadi inti cerita dari masing-masing naskah. Penantian akan Godot dibaluri
oleh suasana perbudakan di sepanjang adegan. Lalu nostalgia masa muda sepasang
kakek-nenek menunggu kereta kencana (yang merupakan representasi dari malaikat
maut) atau menunggu kematian setelah hidup lama dan mengalami berbagai
persoalan dari masa ke masa. Dan pertunjukan malam itu diakhiri dengan
sekulimit masalah di Tempat Pemungutan Suara yang dijadikan sebagai Tempat
Pelepasan Suara, dalam konotasai yang berbeda. TPS dijadikan ajang untuk
melepaskan segala hasrat dan keluh kesah masyarakat, bahkan tempat melepaskan
hawa nafsu sepasang muda. (*)
Laporan: Rita Deswita
0 komentar:
Post a Comment