Aku Adalah Kertas
Aku
adalah kertas.
Jadikanlah
perahu, seperti kekanakmu dulu.
Naikkan
segala kata di atasnya
seperti
nuh membawa segala yang bernyawa.
Layarkanlah
pada tempat yang tak sependek kalimat.
Kemudian
di paragraf sana biar aku yang merapungkannya.
Padang, 2014
Layangan
Layanganku
biasa saja seperti layangan lainnya
terbang
di langit yang tak sebesar rumpun bambu.
Dekat
diulur jauh dijujut
Tapi
semenjak angin berkepusu binal
Ia
layangan pandai memintal
Dan
meliuk liar sebelum akhirnya tersangkut
pada
pucuk pinang.
Layanganku
tak lagi biasa sekarang.
Sebab
dijangkau tak sampai tangan
menjulukpun penggalah sayup,
meski
berjinjit kaki Marie Taglioni.
Namun,
malang sungguh malang
ia
layangan pandai bersantai dengan ekor melambai.
Seakan
tak tahu kekanakku tersangkut bersamanya.
Padang, 2014
Mimpi
Mimpi
tak pernah lelah datang dalam tidurmu.
Tak
pernah kehabisan cerita.
Jika
dilukiskan,
daratan
dan apa saja yang luas habis jadi kanvas
dan
segala yang cair jadi pewarna.
Kemudian,
apapun yang berujung jadi kuas.
Tiada
pernah bakal tahu dengan cukup
yang
akan ia pajang di balik dengkurmu
yang
serupa kucing makan tulang.
Setelah
kau terjaga, akibat muka ditimpa cahaya
yang
mengusir malam lewat fentilasi jendela,
bakal
kau dapatkan ingatan tentang mimpi
– mengapa kau tak jadikan aku nyata?
Padang,2014
Sajak
Beruk
Atas
semua kelapa yang telah jatuh
aku
susun jari yang sepuluh.
“Terima
kasih” batinku.
Pada
tali yang mengekang sigapaimu.
Dan
sesemak terdekat yang kurengkuh
sebagai
penghalaumu.
Memang
menampak taringku
sebab
aku tak mau kau panjat kelapa orang.
Padang,2014
Ke Payakumbuh
Antara
Lubuak Aluang dan Sicincin
Jalan
berlubang berkundang-kundang debu
seakan
kuda-kuda baru siap berpacu.
Menambah
sesak akan rindu
yang
dibentangkan jarak.
Sampai
di Silaiang, aku mendaki mengurai kisah
yang
berkelindan di muara pantai Padang.
Ingatkah
disana, sayang? dibawah tenda
kita
secangkang kura-kura
yang
menganggap senja sebagai musuh.
Menggelikan
sekali bukan?
Lalu
di Koto Baru setelah Padang Panjang,
aku
jalan setengah patah
yang
muka hilang bertambah kebelakang.
Merah
mata melulung
dengar
cerita bawang merah, seledri, dan bumbu-bumbu saji
yang
sunyi di tinggal petani.
Sebab
tak ada lagi yang bakal marah-marah
saat
rumput liar berziarah.
Sekarang
baru sampai Baso.
Jangan
takut, aku tak membeli kain seken di Bukitinggi.
Sebab
benang yang kau sulam masih melingkar di tubuhku
hangat
sekali.
Buat
mataku seperti ayam gadis bertelur,
lekas
aku tepekur.
Aku
ke Payakumbuh, sayang.
Sepanjang
jalan tak satu sumpah terlangkah
juga
janji yang tercecer menuju kemari,
ke
kampungku,
ke
air jernih ini,
bakal
aku sucikan cinta kita.
Padang,2014
Kopi
Aku
ingin tidur lagi ketika kopi masih jalang
Sebab
tubuhmu membayang di dalamnya
Aku
ingin memelukmu saat kopi disesap
Sebab
tak ada gelendang pada lidah
Aku
ingin menumpahkannya
Kopi
tak punya rasa
Ingatan
yang tak mungkin di jumpa
Tapi
bagaimana bisa sebab baru saja terhidang
Padang,2014
Sajak Tali Sepatu
Sebelum kita diperadukan
Sebagai sebuah tali sepatu
Yang memegang erat hukum pertalian
– Ikat mengikat
Telah begitu banyak rahasia lubang
yang kita lalui
Maka sebelum ikat yang membikin
kita lekat
Aku memilih bunuh diri diinjak
tapak
Sebab, bukankah ular perlu lapar
untuk tidur
Atau rayap butuh sayap untuk
terbang menjalang kematian
Padang,2014
Makan
Malam
Malam
seluas meja
Bulan
menjelma piring
Seperti
seorang kekasih
Kita
saling manja
Makan
malam bersama
Saling
menyuap cahaya
Padang,
2014
*Puisi-puisi ini pernah dimuat di Koran Singgalang, 22 November 2014
Roby Satria , lahir di Payakumbuh, 11 Februari 1995.
Mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas.
Berkegiatan di Labor Penulisan Kreatif (LPK), dan Filtograph.