Puisi dan Kesunyian yang Tajam
Jumat
siang, 8 Mei 2015, pukul 14.00 WIB. Sekitar tujuh orang laki-laki duduk di
selingkar panggung dan tribun Medan Nan Balinduang FIB-Unand. Waktu istirahat
siang baru saja selesai. Kini tiba waktu
mengaktifkan soundsystem,
menyetel bunyi, dan menyambut kedatangan tamu, baik yang datang dari luar FIB,
maupun dari dalamnya. Itulah jadwal yang telah direncanakan sebagai waktu
pembuka acara “Hari Puisi” yang diinisiasi oleh beberapa mahasiswa Sasindo,
sebagai upaya penghadiran bentuk baru bagi kegiatan perayaan “Hari Chairil”
yang rutin dilakukan HMJ di tahun-tahun lewat pada 28 April 2015. Dan sebuah
kebahagiaan hadir, sebab yang telah duduk dan sebagian lagi mengecek microfon di sekitar Medan Nan Balinduang
saat itu tidak saja mahasiswa Sastra Indonesia, melainkan juga kawan-kawan
mahasiswa jurusan ‘sebelah’ di FIB. Kawan-kawan ini hadir dan membantu
mempersiapkan yang perlu, barangkali dalam upaya mempertegas solidaritas
antar-jurusan di FIB.
Saya
hadir di situ (sebagai penggagas sekaligus penanggungjawab acara), memerhatikan
langit terus mendung dan merasakan gelagat acara akan terlambat mulai, sebab
belum ada tanda-tanda kedatangan orang-orang yang telah diundang, (kecuali
hanya dua orang kawan dari UNP). Maka jadilah saya dan kawan-kawan itu terus
mengutak-atik gitar, microfon, dan
membetulkan dekorasi yang sedikit tidak pas di mata.
Hingga
masuk pukul 14.30 WIB, dan keadaan masih serupa. Saya dan kawan-kawan
berinisiatif memulai, terserah berapa mata yang akan memandang. Seorang kawan
segera turun ke lingkungan PKM FIB (sekitaran Kafe Uniang Kamek),
menginformasikan pada kawan-kawan di sana bahwa acara akan dimulai dengan nada
ajakan. Seorang lagi kawan mencoba mengajak satu-dua alumni yang datang, untuk
merapat. Dalam waktu bersamaan, saya memberi tahu Pembina HMJ, dan menemui
Ketua jurusan untuk meminta beliau membuka acara. Jadilah acara dimulai, dengan
beberapa mahasiswa dan alumni yang telah duduk di tribun, dan satu-dua tampak berdatangan.
Dan setelah MC, saya adalah yang pertama tegak di panggung sebagai
penanggungjawab acara, mewakili panitia yang telah ditunjuk namun banyak belum
datang, menyampaikan sedikit hal menyangkut konsep acara, landasan pemilihan
tema “Puisi dalam Zaman”.
Acara
berlanjut dengan sepatah kata sekaligus pembacaan puisi pertama oleh bapak
Ketua jurusan. Lewat tuturan singkat beliau, saya dan kawan-kawan mengiyakan,
bahwa tidak banyak yang datang dan betapa itu belum sesuai dengan yang
diharapkan—yang kemudian mengindikasikan betapa acara belum terorganisir dengan
baik. Waktu itu, saya pribadi mengakuinya, dan menjadi resah seketika. Syukur,
pembacaan puisi “Huesca” dari Bapak Gusdi cukup bertenaga untuk meredam
kegelisahan saya itu. Setelah beliau turun panggung, saya melihat lagi ke
sekeliling. Dan benarlah, betapa sepinya acara itu. Barangkali “Hari Puisi” ini
hanya disaksikan oleh kurang dari dua puluh orang. Gelisah saya nyatanya tak hilang.
Saya
mencoba mengingat-ingat lagi ke belakang. Ke masa persiapan “Hari Puisi” sejak
dua minggu sebelumnya. Dengan ruang gerak tertentu, saya sepenuhnya telah
menunjuk kawan-kawan mahasiswa Sasindo angkatan 2014 untuk melaksanakan acara.
Sengaja saya limpahkan kepada kawan-kawan itu, demi terbiasanya mereka dengan
hal-hal yang berkaitan dengan sebuah acara (konsep, teknis). Namun kata ‘sepenuhnya’
di atas akhirnya tidaklah terealisasi. Saya jadi turut serta mengonsep, turut
serta mencari gambaran bentuk, dan teknis-teknis lainnya. Bahkan di H-1 acara,
sungguh, saya terlalu mendominasi dalam proses penyiapannya. Saya berpikir
tidak ada masalah berarti, terlebih menyangkut sosialisasi kegiatan. Publikasi
sudah berjalan, dan barangkali hanya segelintir (kalaupun ada) kawan-kawan
Sasindo yang tidak mendapatkan informasi acara. Maka tinggal menunggu hari
berganti dan acara akan berjalan dengan ‘aman’.
Jumat
siang ternyata berwujud lain. Sesuatu yang saya anggap sebelumnya tidak jadi masalah
kini tampak sebagai sesuatu yang begitu riskan. Saya tahu bahwa sebagian
panitia sedang ada jadwal survei lapangan untuk mata kuliah. Namun saya tidak
mempermasalahka itu karena saya pikir itu hanya beberapa orang, dan tidak
terlalu banyak tenaga yang dibutuhkan selama acara. Tentu yang paling dinanti
adalah kehadiran kawan-kawan 2014 yang lainya, dan keseluruhan mahasiswa
Sasindo untuk meramaikan, dan kalau perlu ikut tampil membaca puisi. Namun
kehadiran inilah yang terasa jauh di mata, waktu itu. Saya terus menunggu, sampainya
serombongan kawan mahasiswa yang jadwal kuliahnya bersedia dipindahkan ke
lokasi acara. Juga sembari menata-membongkar dan menata-membongkar kembali
daftar penampilan yang memang juga belum terorganisir dengan maksimal. Jadilah
acara diisi oleh sebagian penampilan terencana dan sebagian penampilan spontan.
Saya
menyorot persoalan ini bukan untuk mengeluhkan apa atau siapa. Sesungguhnya ini
sengaja saya sisipkan demi mencoba mengkontruksi pemikiran saya dan barangkali
juga kawan-kawan lain, mengenai kurang dan lebih, tepat atau tidak sesuainya
kegiatan-kegiatan HMJ Sasindo. Maksudnya di sini, saya lebih ingin melihat
realitas secara umum dan hari ini di Sasindo, terutama menyangkut ‘puisi-berpuisi’.
Melihat tidak banyak bertambahnya audiens yang hadir selama satu jam acara
berlangsung, maka evaluasi seketika perlu dilakukan, setidaknya dalam diri
pribadi. Sebuah pertanyaan awal mengawang: mengapa kali ini begitu sunyi?
Kenapa acara ini tidak bisa ramai, setidaknya oleh mahasiswa Sasindo. Dan
jawaban awal saya: karena acara ini belum bisa menarik minat banyak orang.
Lantas saya mesti bertanya: jika tidak menarik, seperti apakah acara mesti
dikemas hingga menjadi menarik dan menggugah minat semua orang? Selanjutnya,
saya tidak bisa membendung tanya, perlukah mahasiswa Sasindo ‘dibuatkan’ dulu
acara menarik untuk mereka, baru kemudian mau datang dan berpartisipasi? Dan
pertanyaan penutup saya, seperti apakah acara/ kegiatan yang kita minati
sesungguhnya?
Saya
teringat beberapa hari yang lalu, ketika mahasiswa FISIP mengadakan acara musik
di DPR (depan FIB-FISIP) Unand. Pelaksananya adalah mahasiswa FISIP angkatan
2014, sebagai bentuk kesolitan bersama per-angkatan, dengan semboyan acara
“Orange-kan Senja”. Sungguh sebuah acara yang meriah, terbukti dengan
berjubelnya hadirin hingga memasuki waktu Magrib. Sepanjang acara itu, keriuhan
tercipta, lewat penampilan-penampilan musik oleh pemusik, grup-grup musik yang
ada di sekitar dan di luar Unand. Semua hadirin merasa rileks, dan bisa berdiri
dengan sumringah, menikmati keramaian, sambil menyimak ritme musik. Tentu saja,
saya dan kawan-kawan di Sasindo turut meramaikannya.
Kini
berbalik ke “Hari Puisi”. Sungguh serasa sedih untuk dibandingkan dengan
kegiatan FISIP itu. Meskipun pembandingan semacam itu sebenarnya tidaklah
begitu perlu. Hari Puisi sama sekali berbeda dalam hal konsep. Di sini tidak
ada musik-meriah, sebagaimana di DPR itu. Tidak ada semboyan tertentu, tidak
ada pula daftar aksi panggung tertentu. Sokongan utama acara ini adalah
ide-nya. Termakhtub dalam tema, dengan maksud, melihat dan membicarakan puisi,
menyangkut posisi atau ruang geraknya dalam kehidupan hari ini. Itulah ide
acara, dan penampilan-penampilan (meski tidak semua), diarahkan untuk
menampilkan wajah puisi itu, baik lewat musik, orasi spontan, maupun pembacaan
puisi. Juga, acara ini sedianya adalah usaha menghadirkan moment-moment
tertentu bagi mahasiswa Sasindo dan FIB secara umum untuk merasa sangat dekat
dengan puisi. Dari ide ini, tampak acara tidak berbentuk selebrasi yang meriah,
teriakan-teriakan kegembiraan yang berlebihan, ataupun gerak tubuh yang
kesenangan dengan getar musik. Acara ini sejatinya hening, namun bukan sunyi.
Hening di sini bermakna kekhsyukan dalam melihat, membaca, dan berpikir tentang
eksistensi puisi, yang sedapat mungkin pada akhirnya membawa kita melihat pada
sisi kedirian kita. (maafkan untuk bahasa yang agak aneh ini).
Sayangnya,
belum begitu ramai yang terlibat dalam “Hari Puisi” kali ini. Dan barangkali
ini memberi jalan evealuasi lanjut bagi saya, dan kawan-kawan di HMJ. Barangkali
ada yang salah dalam persiapan, atau ada yang belum maksimal dikerjakan.
Entahlah. Namun menurut hemat saya, informasi hari ini sangat lancar penyebarannya
dan nyaris tidak masuk akal jika itu menjadi kendala utama dalam
kekurang-maksimalan acara. Setidaknya bagi kawan-kawan di Sasindo sendiri.
Bahkan sebelum muncul era digital ini, orang-orang bisa berkomunikasi dan
saling berbagi informasi dengan memadai. Dan itu untuk sementara membawa saya
pada asumsi yang ragu-ragu memunculkan diri. Asumsi yang hadir sekaligus
menjadi pangkal kegelisahan saya adalah, mungkin saja puisi terlihat kurang
efisien dibicarakan hari ini, dibandingkan kemelut politik, isu olahraga,
inovasi digital, dan lain sebagainya. (maafkan juga untuk asumsi ini).
Pukul
17.00 WIB, setelah satu jam sebelumnya puisi ‘diorasikan’ oleh salah seorang
redaktur sastra yang diundang, “Hari Puisi” segera selasai. Dan kawan-kawan
yang jumlahnya tidak banyak itu bersepakat melepas sunyi dan rasa dingin senja
dengan sedikit sentuhan reagee. Dan tiba
pula waktu bagi panitia berpikir, berapa banyak teknis yang harus dibenahi? (*)
*Andesta Herli