Nama Pengarang : Muhammad Ikhsan
Judul Buku :
Lelaki Penjual Cermin
Penerbit :
INTERLUDE, Berbah, Sleman, Yogyakarta Tahun : 2015
Jumlah Halaman :
vii + 101 hlm
Peresensi : Mahareta Iqbal Jamal
MENJEMPUT YANG LALU, MENGHANTAR
KE ERA KESEKARANGAN
"Tapi, tidak memilih juga merupakan sebuah pilihan,
kan, Ren?"(tulis miring) Sepenggal dialog yang membuat saya menyematkan
dalam hati ucapan "kurang ajar" pada awal pembacaan saya terhadap
buku ini. Bagaimana seorang tokoh bernama Garundang--jik diartikan ke dalam
Bahasa Indonesia berarti berudu--dalam cerpen yang berjudul Menikam
Nurani(miring) mencoba menghadirkan ke wajah masyarakat bahwa ketidakpilihan di
era kesekarangan atau saat ini, telah menjadi salah satu opsi dari pilihan itu
sendiri.
Hal semacam ini sepertinya telah lama terpraktik di
lingkungan masyarakat kita, contohnya pada saat pemilu. Para golongan putih
(golput) yang tidak memberikan hak suaranya juga merasa berhak untuk tidak
memilih dengan alasa yang beragam. Bercermin dengan cerpen Menikam
Nurani(miring) yang ditulis tahun 2009 memiliki kisah yang dirasa masih
teraplikasikan hingga sekarang.
Buku sehimpun cerpen Lelaki Penjual Cermin(miring) karya
Muhammad Ikhsan yang terbit pada tahun 2015 mencoba mengambil andil di dalam
pembaharuan perbendaharaan kesusasteraan yang kian lesu, dimana masyarakatnya
kian hari kian sibuk meninggalkan substansi sastra dan beralih kepada hal-hal
yang berbau popoler atau kesekarangan. Tidak lebih dari itu, dewasa ini sastra
hanya dipandang celek dan menjadi sub-sub pelengkap yang dengan adanya ia tidak
berpengaruh besar dan tanpanya seperti ada sesuatu yang dirasa kurang. Tetapi
hal semacam ini nantinya akan menggiring kita pada pembicaraan lain tentang
ranah selera yang sedang berkembang di masyarakat.
Di akhir cerpen Menikam Nurani(miring) penulis
menghadiahi pembaca dengan ingatan tentang bocah bernama Ponari yang sempat
santer diberitakan karena celupan batu ajaibnya ke dalam air putih biasa dan
dianggap mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Penulis sepertinya juga
menyukai gaya penceritaan dengan alur kilas balik (flashback). Menjemput
ingatan lalu yang punya cerita padat, perubahan latar waktu yang cukup cepat,
tetapi tetap dikemas dengan singkat; dari situasi yang sedang terjadi, beralih
ke masa lalu, kemudian eksekusi penyelesaian kembali ke penceritaan yang semula
dengan sedikit menyambung peristiwa yang sedang terjadi.
Hal semacam ini ditemukan pada cerpen Menikam Nurani,
Kepala Kuda Narto, Fikri, Lelaki Penjual Cermin,(miring) dan masih ada di antaranya.
Beberapa juga ada menggunakan alur maju yang tanpa sedikitpun mengurangi pesan
dan tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis.
"Ai, cerita indah itu begitu pahit untuk
dikenang."(miring)