*Muhaimin
Nurrizky
“Apa dosa besar itu, bu?” tanya Munak
kepada ibunya. Ibunya diam sejenak, namun lebih dari sepuluh menit.
Munak mengerutkan keningnya.
“Apa dosa besar itu, bu?” tanyanya sekali lagi, dengan nada ingin tahu. Ibunya
menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dengan berat. “Melawan orangtuamu!”
jawab ibunya cepat.
“Kenapa bisa begitu, bu?”
tanyanya sekali lagi. “Kamu ini banyak tanya ya! Kan sudah ibu jawab, jangan
melawan orangtuamu. Jadi jangan tanya ibu lagi. Itu sama saja melawan
orangtuamu!”
Munak terdiam kaku mendengar
bentakan ibunya. Kepalanya menunduk ke bawah. Matanya menjadi sayu, seperti
menahan air mata. Ia takut sekali ketika ibunya marah. Ibunya sedang menunggu
telepon dari nenek. Setiap sebentar melirik layar hape. Jika tidak ada yang
dapat menarik perhatian dari layar itu, ibunya langsung mendecak kesal.
Malam itu sebenarnya Munak
mendapat pekerjaan rumah dari sekolah untuk menjawab pertanyaan guru PAI
(Pelajaran Agama Islam). Ia mendapat pekerjaan rumah menuliskan salah satu dosa
besar. Memang tidak ditanyakan alasan mengapa dosa itu adalah dosa besar. Namun
Munak ingin saja bertanya kepada ibunya. Ia akhir-akhir ini jarang berbicara
kepada ibunya, semenjak ayahnya jarang pulang atau tepatnya sudah tidak
pulang-pulang.
Di depan meja belajar, tangan
Munak serasa berat digerakkan. Ia takut sekali. Wajahnya menunduk ke bawah.
Bukan menatap buku tugasnya, namun menatap kakinya. Kakinya yang juga terdiam
kaku. Memang seluruh badan Munak terasa kaku sekali. Kaku karena takut bergerak
atau memang kaku karena tidak bisa digerakkan. Bulir-bulir keringatnya mulai keluar
satu persatu. Matanya mengedip teratur. Setiap detiknya sama, setiap tiga detik
berkedip.
Tatapannya lurus menembus
kakinya. Menembus lantai keramik rumahnya. Menembus pondasi rumahnya. Menembus
tanah. Hingga ia menatap sebuah gelap yang begitu gelap. Lalu gelap itu
berangsur-angsur hilang digantikan sebuah adegan seorang lelaki yang sedang
tersenyum. Lelaki yang begitu Munak kenal. Lelaki yang sangat dekat
dengannya.
Lelaki itu keluar dari mobil
yang sudah diparkirkannya di garase depan rumah. Lelaki itu turun dari mobil
dan melangkah menuju pintu rumah. Dengan senyum yang begitu sangat ramah,
lelaki itu membuka pintu dan membiarkan senyumnya disambut segala sesuatu yang
ada di dalamnya. Ternyata ada seorang anak kecil yang berlari semangat menghampiri
lelaki tersebut.
Umur anak itu kira-kira tujuh
tahun. Anak kecil itu adalah Munak. Anak kecil yang sebenarnya adalah Munak itu
berteriak kepada lelaki itu, “Ayah pulang!” Kemudian lelaki itu
menggendong Munak. Mereka tertawa bersama.
Dari dalam rumah terdengar
suara perempuan, “Ayah cepat masuk, ini sudah ibu buatkan sup untuk makan
kita,” teriak perempuan itu. Munak dan ayahnya masuk ke dalam rumah. Sampai di
dalam, mereka langsung menuju meja makan. Ternyata perempuan itu adalah ibu Munak.
Ibu Munak yang selalu
tersenyum. Ibu Munak yang selalu tampak ceria dengan wajah tirusnya yang
terlihat bercahaya. Bukan ibu munak yang seperti sekarang. Bukan ibu munak yang
wajahnya tampak kelam jika sedang marah seperti awan sebelum hujan.
“Hey! Ngapain menung-menung,
buat PR-mu!”
Munak terkejut. Suasana yang
menggembirakan tadi berubah senyap menikam. Lamunannya berakhir oleh suara
bentakan ibunya. Ia langsung mengubah pandangannya untuk menulis pekerjaan
rumahnya itu. Jantungnya terkejut, sehingga memacu darah keseluruh tubuhnya
dengan kencang. Bulir-bulir keringatnya bertambah banyak keluar dari
pori-porinya. Kulitnya seperti tisu yang terjatuh di genangan air. Basah oleh
keringat. Tangannya bergetar. Jari-jarinya lunglai memegang pensil. Dengan
tangan menggigil, Munak mulai untuk menulis.
Munak tidak mengerti, mengapa
ayahnya pergi begitu saja meninggalkan ia dan ibunya berdua. Semenjak malam
itu. Malam yang menjadikan ibunya seperti seseorang yang tidak biasa baginya.
Malam yang mengubah segala hal bagi Munak. Munak tidak pernah melihat ayah dan
ibunya betengkar seperti itu.
Seluruh barang di rumahnya
berantakan. Mulai dari meja yang terbalik. Gelas dan piring yang pecah. Kursi
yang berantakan. Dan barang yang sangat ditakuti Munak, pisau. Pisau yang
terlegetak di bawah kaki ibunya.
Ketika itu, Munak melihat
ayahnya memukul tangan ibunya yang sedang menggenggam pisau dapur. Pisau yang
biasa digunakan ibu untuk memasak. Munak hanya berdiri diam di sudut ruangan
melihat itu. Air mata Munak seperti banjir di kisah Nabi Nuh, deras dan tidak
berhenti-henti.
Di malam pertengkaran itu,
Munak hanya ingat beberapa kata yang asing baginya. Ia mendengar kata itu
ketika ibunya berteriak histeris kepada ayahnya.
“Dasar suami tidak tahu diri!
Nikahi saja selingkuhanmu!” Munak tidak mengerti apa itu perselingkuhan dan apa
itu suami yang tidak tahu diri. Kata yang sampai sekarang masih menjadi
pertanyaan di benak Munak. Ketika itu munak hanya menangis. Ia merasakan
ketakutan yang sangat takut. Kedua orangtuanya melakukan adegan yang membuat
bathin Munak terguncang hebat.
Ketika pertengkaran itu
selesai atau memang tidak akan pernah selesai, Munak melihat ayahnya pergi
keluar dari rumah. Ketika sampai di depan pintu, ayahnya melihat Munak. Ayahnya
menatap Munak dengan ekspresi menghiba. Entahlah. Bagi Munak ekpresi wajah
ayahnya saat itu adalah ekspresi untuk pergi selamanya. Lalu ayahnya berkata,
“Ayah pergi sebentar, ya.”
Ayahnya tersenyum sekilas,
lalu berlalu meninggalkan Munak, ibunya dan rumah yang lebih mirip gudang
pecah. Itulah senyum terakhir yang Munak lihat. Ah, setiap hari Munak selalu
mengulang-ngulang adegan itu di benaknya. Ia tidak paham. Ia tidak mengerti.
Hanya ada tanda tanya di benaknya. Apakah dunia orang dewasa itu begitu
mengerikan?
Semenjak itulah, ibu Munak
jarang berbicara, tidur sering larut, dan sering marah-marah jika Munak
menanyakan tentang ayahnya. Tidak hanya itu, Munak dan ibunya tidak tidur
sekamar lagi. Kata ibunya Munak harus kuat, tidak boleh menjadi orang yang
penakut seperti ayahnya. Padahal Munak selalu takut jika tidur sendiri.
Namun, Munak akan lebih takut
lagi jika ia mengatakan tentang ketakutannya kepada ibunya. Bagi Munak tidak
ada ketakutan yang lebih takut selain melihat ibunya marah.
Telepon berdering. Ibu Munak menyambar hape.
“Sudah dikirim?” jawab ibunya
langsung.
Terdengar suara lirih dari
seberang telepon, “Sudah, nak. Gimana kabar kamu dan Munak? Sehat?”
“Kami aman! Sudah, saya mau
ambil uangnya,” jawab ibunya dan langsung mematikan telepon.
“Dasar orangtua lamban, ngirim
uang saja lama!” gumam ibunya sambil berjalan ke kamar.
Munak tahu ibunya baru saja
ditelepon nenek untuk mengabarkan bahwa uang sudah nenek kirim. Sekali seminggu
nenek selalu mengirimkan uang. Munak tidak tahu, apakah ibunya tidak bisa
mencari uang. Semenjak ditinggal ayah, ibunya selalu pergi pagi dan pulang
sore, seperti ayah, namun pakaian ibu tidak serapi ayah. Ibu selalu pergi
dengan pakaian yang menampakkan kulit-kulit di tubuhnya dan warna pakaiannya
selalu mencolok. Munak tidak mengerti, ibunya pergi pagi pulang sore, seperti
ayah, tapi mengapa ibunya selalu minta uang kepada nenek?
Ibunya tiba-tiba sudah
berganti baju dengan baju seperti yang biasa ia kenakan ketika pergi
pagi.
“Ibu pergi dulu, kamu di sini
saja. Kalau lapar ada ayam di meja makan.”
“Ke mana, bu?” tanya Munak
dengan nada takut.
“Sudah kerjakan saja PRmu itu!
Ibu pergi sebentar.” Ibunya langsung berlalu menuju pintu rumah.
Baru kali ini ibunya pergi
malam. Munak takut tentang kepergian malam. Malam adalah kepahitan yang teramat
baginya. Ia terbayang malam ketika ayahnya meninggalkannnya. Munak takut jika
ibunya juga pergi untuk tidak kembali lagi.
Ketika ibunya baru saja
membuka pintu rumah untuk keluar, adzan isya berkumandang. Di dalam rumah,
di ruang tengah, di dalam hati, Munak ingin sekali mengajak ibunya untuk sholat
isya bersama sebelum ibunya pergi. Tapi Munak takut jika ibunya akan marah lagi
kepadanya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk mengajak ibunya.
Benak Munak terisi visual
adegan ayahnya, ibunya dan ia sedang sholat berjamaah bersama. Seperti dulu,
ketika ayahnya masih di rumah dan belum pergi untuk selamanya. Mata Munak mulai
berkaca-kaca.
Di atas meja belajar, kertas
pekerjaan rumah Munak berisi coretan. Coretan itu seperti tulisan, yang jika
dibaca baik-baik akan menyusun sebuah kalimat seperti ini: DOSA BESAR YAITU
MELAWAN KEPADA ORANG TUA. Dan tulisan itu mulai dijatuhi bulir air mata Munak.
(*)
Padang, Februari 2016
—Bersama Latifa Ibrya
Penulis
merupakan mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2013. Cerpen ini sebelumnya dimuat di Harian
Pagi Padang Ekspres dan koran.padek.co
0 komentar:
Post a Comment