*Andesta Herli W
Waktu itu tahun 1967, aku masih remaja
dan tidak banyak tahu.” Mamak Leman memejamkan mata, seolah sedang
berusaha keras mengembalikan pecahan-pecahan ingatannya ke dalam sebuah
kronologis yang utuh. Sesekali mata tertutup itu tampak mengerjap, membiaskan
garis-garis keriput yang mengalur dari bawah bola mata ke bilah pipi cekungnya.
Suasana di gubuk hening. Hanya bunyi kibasan atap di atas kepala kami sesekali
mendesau diterpa angin.
Angin malam bulan November, selalu
datang ke desa ini dengan gelagat yang lebih ramah. Setumpak sawah baru saja
ditanami, tampak seperti bentangan kain besar bermotif garis-garis, yang
terputus di kaki bukit yang terletak di sebelah utara desa. Sejak beberapa hari
ini, bukit tak berhenti membumbungkan asap pekat. Semuanya sepi.
“Aku baru saja pulang dari sungai,
melewati jalan setapak di desa. Ketika itu kusaksikan banyak orang berkerumun
di halaman rumah kepala desa. Akupun segera bergabung di sana. Segera saja
kusaksikan sesosok tubuh tergolek dengan mata membelalak berwarna merah.
Sesosok tubuh gemuk tanpa baju itu terbujur kaku di lantai, sekujur tubuhnya
menonjolkan bintik-bintik merah, sementara sebelah kakinya membesar melebihi
ukuran normal.”
Mamak Leman mengakhiri kalimatnya,
lantas meraih gulungan daun nipah dan tembakau di saku bajunya. Dengan mata memandang
ke kejauhan, ia membiarkan jari-jari tangannya bekerja sendiri. Sesekali keluar
desahan sayup dari mulutnya, entah hidungnya.
“Kata orang kampung kami, lelaki itu
terkena bala hantu rimba,” sambung Mamak Leman, lalu menyalakan rokoknya. Asap
mengepul, semakin kentara ketika tertangkap cahaya temaram yang dibiaskan lampu
bola lima watt yang tergantung di pagu.
“Ia terkena bala karena berani
menebang pohon keramat di hutan lereng bukit, begitu kata orang-orang.” Mulut
Mamak Leman ringan bergerak-gerak, mengeluarkan gumpalan ingatannya.
Aku tidak tahu apakah aku harus
percaya itu atau tidak. Tapi aku percaya kepada lelaki tua ini. Bagaimanapun ia
adalah lelaki yang hidup pada masa dulu dan masa kini, yang telah melihat
banyak hal-hal tidak masuk akal bagi orang umum. Sedikit banyak aku telah
mendengar dan paham, sebagai orang lama, tidak mustahil ia memiliki semacam
ilmu gaib yang biasa dipakainya untuk memberi pelajaran kepada siapa pun yang
dibencinya.
“Tapi sebenarnya bukan itu pokok
masalahnya,” Mamak Leman tiba-tiba berujar, suaranya serak. Aku terbuyar,
sontak menjadi antusias. “Lelaki gemuk itu mati karena terkena guna-guna
seorang dukun...,” mata Mamak Leman kini tajam menerawang, ke arah bukit yang
berkelip-kelip.
“Seorang dukun, warga biasa menyebutnya
Empu, lelaki tua yang tinggal sendirian di gubuknya di puncak bukit. Ia adalah
tetua desa, sekaligus tempat meminta bagi warga. Sebab banyak hal-hal gaib
dikuasai olehnya. Dan tentu saja, aku tahu, seluruh warga mengutuk lelaki gemuk
itu, makanya meminta pertolongan pada dukun. Bagaimana pun, mereka ingin
mempertahankan hutan penghabisan di desa ini, agar tidak sampai dibuka menjadi
lahan tambang.”
Ah, aku mulai mengerti sekarang ke
mana arah cerita ini. Jadi mitos hantu rimba itu tidak benar adanya, melainkan
hanya siasat untuk mengelabui sekaligus menutupi sebuah tindakan mistis seorang
dukun terhadap pengganggu desa, dalam hal ini leleki gemuk yang mati itu?
Aku membayangkan, bagaimana bencinya
orang-orang desa waktu itu karena semakin ramai saja orang dari kota
datang dan membuka lahan-lahan hutan di desa mereka. Lelaki gemuk itu adalah
utusan dari kota yang akan mengurus pembukaan lahan baru di kaki bukit, lahan
hutan terakhir yang ada di desa.
“Aku waktu itu begitu kagum dengan si
dukun. Bagiku, ia adalah orang bijak, pahlawan desa. Makanya setelah agak
besar, setelah tanda-tanda kematian si dukun semakin nyata, aku memutuskan
untuk berguru padanya.” Mamak Leman kini menggulung rokok yang kedua.
“Kau tahu, Len, selama lima tahun
penuh aku tinggal bersamanya, hingga akhirnya aku disuruh pergi dan ia
memastikan bahwa seluruh ilmunya telah sampai padaku. Sebelum pergi, ia
berpesan padaku, agar setiap ilmu dipergunakan hendaklah untuk kebaikan orang
banyak. Tidak berapa bulan setelah itu, si dukun, Empu itu, meninggal dunia.”
“Sejak itu, aku menjadi dukun yang
sangat dipercaya warga di desa. Posisiku hampir tidak berbeda dengan guruku,
menjadi Empu, tempat bertanya dan meminta bagi warga. Kadang, orang-orang
mengeluhkan padinya yang berulat, ladang yang selalu dimasuki babi, bahkan
janda yang menggerutu tentang kesepian hidupnya.”
Mamak Leman terkekeh, memperlihatkan
deretan giginya yang tidak utuh dan berwarna hitam. Berhenti sejenak, ia
membakar lagi rokoknya, lantas menghamburkan ke udara. Asap mengepul, semakin
kentara disinari cahaya lampu lima watt.
“Apakah Mamak juga menjadi Empu
penjaga hutan, sebagaimana guru Mamak itu?” Kutanyakan itu untuk sekadar
memastikan pikiranku. Bagaimana pun, aku telah mendengar banyak cerita dari
warga desa tentang kedatangan orang-orang kota ke desa, untuk membuka lahan
terakhir di kaki bukit itu. Dan setiap mereka yang datang, selalu menemukan
nasib seperti lelaki gemuk yang diceritakan Mamak Leman tadi.
Dari masa ke masa, setiap pihak
silih-berganti datang, dan mengalami nasib yang sama: terkena bala hantu
penunggu rimba! Aneh memang, kalau kurenung-renung. Meskipun yang didapat
adalah kematian, mereka itu, orang-orang kota itu , tak juga mau jera.
“Sejak kematian lelaki gemuk itu,
memang cukup lama desa tidak didatangi utusan pengusaha dari kota. Barulah 15
tahun kemudian datang lagi satu utusan. Dan saat itulah aku melaksanakan
tugas utamaku untuk pertama kalinya, sebagai Empu. Sama seperti yang dilakukan
guruku, begitulah yang terjadi persis seperti lima belas tahun lalu. Si utusan
itu mati di semak-semak dengan mata membelalak merah dan tubuh penuh
bintik-bintik merah. Sebelah kakinya membesar. Waktu itu, tentu saja, aku
merasa begitu puas dengan diriku sendiri, dan kesadaran tentang kepemilikan
hutan semakin kuat kurasakan. Hingga aku paham, betapa hutan ini adalah roh
bagi desa. Betapa terhormatnya bila seseorang memiliki tugas menjaga roh itu.”
Terasa angin bersemilir di
ubun-ubunku. Mamak Leman terus memandang ke kejauhan, ke bukit yang landai dan
membumbungkan asap. Kuperhatikan tubuh orang tua ini sedikit bergetar, entah
menahan dingin, entah karena ada sesuatu yang sedang menganggu hati dan
pikirannya, sesuatu yang menyesakkan dadanya. Aku menunggu. Tentu saja, cerita
ini belum berakhir.
“Tapi apa yang terjadi setelah itu,
sungguh sedikit demi sedikit mengikis rasa puas dalam hatiku, dan menutupnya
dengan perasaan lain. Dua tahun berselang sejak kematian lelaki itu, utusan
dari kota datang lagi, dengan tujuan yang sama, hutan kami! Aku mantrai lagi
dia, hingga menemukan nasib yang sama dengan temannya yang sebelumnya. Lantas,
tidak genap setahun sesudah itu, datang lagi utusan baru. Kulaksanakan lagi
pekerjaanku. Setahun berlalu, datang lagi... ah!”
Mamak Laman kali ini meringis. Getar
di tubuhnya semakin jelas. Benar, sesuatu telah terlalu menyesakkan dadanya.
“Kau tahu, sudah tujuh orang mati di tanganku selama aku menjadi Empu. Aku
mulai letih dan membenci diriku sendiri.”
Aku tahu, aku pun harus berhati-hati
dalam menanggapi cerita orang tua ini. Dia, benarlah, sedang dilanda kalut yang
berat, dan salah sedikit kata, aku mungkin tidak akan duduk lagi bersamanya.
Kuambil rokok kretek yang sedari tadi belum kujamah. Kuselipkan ke bibirku yang
semakin dingin, lantas membakarnya. Asap membumbung ke udara, hening menerpa
ruang-ruang dingin malam.
“Besok rombongan perusahaan itu akan
datang dan melaksanakan peresmian pembukaan lahan tambang bersama para warga
dan pemimpin setempat. Apa yang akan Mamak lakukan?” aku bertanya, nadaku jelas
terasa berhati-hati.
“Tidak ada yang ingin kulakukan, Len.
Aku sudah begitu tua dan sendiri. Sementara mereka begitu kuat dan banyak. Apa
yang bisa kulakukan?” Mamak Leman membakar rokok yang ketiga.
“Kemarin kawan-kawanku telah mencoba
berbicara dengan pemerintah kecamatan, sampai kabupaten. Namun tidak ada hasil.
Bagaimanapun, izin pembukaan lahan ini telah begitu mapan.”
“Kau telah melakukan apa yang kau
bisa, Len. Sebagaimana kau, aku pun telah melakukan semuanya. Tapi kau lihat,
apa yang kita berdua lakukan hanya sia-sia dan tidak mengubah keadaan. Aku
hanya mampu menunda pembukaan lahan itu, tapi tidak punya kekuatan mencegahnya.
Mereka begitu banyak dan kuat!”
“Ya, mereka begitu banyak dan kuat.”
Kalimat ini kurasakan bermakna lebih dari yang terdengar.
“Aku sadar betul kini, rimba itu
memang tidak akan pernah bisa diselamatkan. Mereka tak akan berhenti, kapan
pun. Apa yang kusaksikan selama berpuluh tahun, menunjukan kebenaran itu. Kita
tidak pernah bisa menghambat air mengalir ke lekuk-lekuk rendah. Bisa saja
kubuat rombongan perusahaan itu serentak mengalami hal tragis sebagaimana yang
sudah-sudah, hanya saja, aku tidak tahu apakah itu masih berguna. Mereka tidak
akan berhenti, kau tahu?”
Aku tentu saja mengerti. Ya. Waktu
berpuluh tahun adalah masa yang cukup panjang bagi Mamak Leman untuk memahami
permasalahan desanya. Lelaki ini kini menyerah. Sungguh, ia memang telah
menyerah sejak utusan terakhir ini datang dan berhasil melakukan lobi-lobi
licin dengan para pimpinan dan warga desa.
Tak ada yang bisa disesalkan, memang.
Apa yang beberapa bulan ini aku lakukan di desa ini pun, ternyata tak berarti
apa-apa. Tuntutan demi tuntutan, audiensi yang terus aku dan kawan-kawanku
lakukan, publikasi wacana di berbagai media massa, tak lebih hanya upaya-upaya
utopis kami, yang kini patah dan menemu jalan buntu. Aku pun sama. Menyerah,
adalah kata yang bisa kusebutkan atas semuanya.
“Kita sebenarnya tidak menyerah, Len,
tapi hanya sedang jemu dan bosan.” Mamak Leman bangkit dari duduknya, menggapai
kain sarung yang tersangkut di dinding. Ia tertawa kecil, sambil mendudukkan
tubuhnya kembali, lantas bersandar ke dinding yang dingin.
***
Udara di halaman kantor kepala desa
kali ini menyengat, seiring dimulainya upacara peresmian pembukaan lahan bukit
untuk kawasan tambang. Semua orang tampak hadir, kecuali Mamak Leman. Ah,
lelaki itu! Para tamu dari kabupaten dan kecamatan turut serta, berjajar di
kursi barisan depan, lengkap bersama kehadiran beberapa orang pemilik modal
yang tergabung dalam perserikatan usaha tambang yang segera dibuka ini.
Para warga, mulai dari para tetua,
ibu-ibu rumah tangga, para anak muda, semuanya hadir, berkumpul. Tentu saja,
ini acara yang penting bagi setiap warga. Bagaimanapun, meski masih
merasakan ketidak-relaan melepas lahan di perbukitan, setiap warga tahu dan
paham, ada sedikit angin segar bagi desa, bagi kemajuan mereka di kemudian
hari. Tambang yang akan dibuka itu, tampak semacam harapan baru bagi alur
perekonomian desa di masa mendatang.
Acara dibuka dengan sambutan kepala
desa. Kemudian dilanjutkan oleh pemerintah kecamatan, kemudian perwakilan dari
kabupaten. Apa yang disampaikan para pemimpin itu kurang lebih isinya sama:
orasi mengenai pembangunan. Mengenai nilai dan etika nasionalisme. Mengenai
peran masyarakat sebagai unsur penting dalam mendorong pembangunan.Salah
seorang perwakilan investor juga ikut memberi sambutan di hadapan warga.
Dalam pidatonya, sang investor secara
beruntun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak. Ia berjanji akan
memprioritaskan warga desa dalam proses operasional tambang nantinya. Pidato
sang investor disempurnakan dengan penyampaian hasil riset tim mereka terhadap
tanah perbukitan.
Ya, batu bara, itulah yang mereka dan
kami tahu tersimpan di bawah tanahnya. Namun jika digali terus-menerus, setelah
melewati pengerjaan berpuluh-puluh tahun tentunya, ada kemungkinan, akan sampai
pada material sejenis logam mulia!
Para tamu bersorak, riuh. Suasana
tampak bahagia. Para ibu-ibu berteriak sambil menggendong anaknya. Seorang
lelaki tua berteriak di sela sorak-sorai warga, “Aku dari dulu yakin tanah di
bukit itu menyimpan emas!”. Teriakan ini disambut dengan tepuk tangan dan sorak
yang lebih meriah. “Para lelaki di desa inilah yang kelak akan menggali dan
menemukannya!” suara kepala desa menyelip di antara lautan suara warga.
Oh, batubara, berlapis logam mulia!
Aku kian paham. Selama hampir setengah abad, para pemilik modal itu tangguh
bertahan. Sungguh menggiurkan untuk dilewatkan, memang. Kematian tujuh orang
pekerja kasar, pesuruh lapangan itu, tentulah sebanding dengan apa yang bakal
mereka dapatkan di bukit itu. Aku tiba-tiba merasakan kekalutan yang tak dapat
terurai dengan kata-kata.
Membayang di kepalaku wajah Mamak
Leman, lelaki renta itu, tokoh yang berhasil menjaga desa selama berpuluh tahun
itu, meski pada akhirnya tetap saja menyerah.
Dengan langkah kaku, aku meninggalkan
kerumunan. Tanpa sadar aku kini sedang mengarahkan langkahku ke arah gubuk tua
Mamak Leman. Aku sepertinya ingin bercerita dengannya, cerita antar-sesama
lelaki yang tidak menemukan jalan lain dalam hidupnya selain menyerah. (*)
Padang, 2015
*Andesta Herli W - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas. Menulis
cerpen, puisi dan esai serta dipublikasikan di berbagai media cetak. Saat
sedang serius menekuni perkuliahan tahap akhir. Cerpen ini dimuat di Harian
Pagi Padang Ekspres dan koran.padek.co