Thursday, November 27, 2014

Selamat!

            HMJ Sastra Indonesia FIB Unand mengucapkan selamat kepada Rizkan atas prestasinya dalam event lomba menulis puisi dan cerpen “Gema Muharam 1436 H” yang diselenggarakan oleh lembaga Nursing Islamic Centre Fakultas Keperawatan Universitas Andalas, sebagai

·         Pemenang I lomba cipta puisi
·         Pemenang II  lomba  menulis cerpen

Semoga menjadi sumber motivasi untuk terus berkarya!

Sekilas mengenai Rizkan



            Lahir di Tanah Rekah, 11 April 1995. Tinggal di Kampung Dalam, Padang. Semenjak menginjakkan kaki di kampus hijau dan menjalani pendidikan di bidang sastra dan bahasa Indonesia, ia semakin tertarik untuk memperbanyak bacaan dan mencipatakan karya sastra serta meneliti tentang hal yang berkaitan dengan sastra dan kebahasaan Indonesia.
Di kampus, laki-laki ini aktif di FKI Rabbani Unand serta mengikuti berbagai kegiatan tentang kepenulisan bersama HMJ Sastra Indonesia. Baginya, kegiatan di FKI Rabbani ia lakukan untuk mengoptimalkan ruhiah tentang Islam. Sedangkan, dengan HMJ Sastra Indonesia dan kawan-kawan di FIB menjadi moment untuk menambah kemampuan dalam hal kepenulisan. Bagi Rizkan, menulis adalah untuk menyebarkan kebaikan. Jadi, ia tidak akan menulis, bila tak ada kebaikan dan manfaat di dalamnya.
Rizkan mengakui, dalam hal kepenulisan ia sering sekali gagal, misalnya, meski sudah puluhan kali mengirimkan tulisan ke koran, tapi belum ada satu pun tang diterbitkan. Namun, ia tidak patah arang sampai di situ, melaikan terus tekun. Dan tidak sia-sia, kerja keras itu bisa terbayar ketika mampu memenangkan lomba menulis cerpen dan puisi, walau masih dalam lingkup Unand.
“Sekarang saya semakin semangat menulis, karena baru-baru ini, essay saya muncul di buku elektronik Dompet Dhuava, "Petisi Untuk Pemimpin Bangsa". Saya berharap prestasi yang akan saya ukir, akan lebih banyak lagi.”, tuturnya


Karya Terpilih
Puisi
IRINGAN SAJADAH HITAM
Puisi: Rizkan

Lena ku menyusuri gemerlapnya sajadah panjang
Menjejaki sebaris tapak kaki, hingga uban tak disangka jatuh
Hanya nikmat yang terasa
Kala memandangi padatnya jalanan di waktu senja
Bersama lampu yang tengah bercerita
Sejak ia menerangi kota
Kawanku mulai terlupa
Dia sempat singgah, menemaniku meloncati sepotong salju
Mungkin ia telah pergi
Meninggalkanku di dalam mimpi
Didampingi malam yang datang menjemput senja
Kukirim salam jauh dengan awan yang mengapung
Kuselip secebis nyanyian dengan suaraku yang lirih
Mungkin aku tinggal sendiri, menyusuri dimana ujungnya benang ini
Mengapa tak aku sadari, jalanan kosong yang membuatku terburu-buru
Kini usiaku habis dimakan waktu, aku lupa bersenggama pada-Nya
Ketika iringan sajadah hitam, datang mengetuk pintu rumahku
Memaksa musim berganti, namun bibirku tetap beku
Aku menyesal, dibalik kelopak mata yang terpejam,,,

(Syair ini didedikasikan untuk sahabat yang membuatku berlinang air mata, Midle Test 2012 @Mukomuko)


MAK LANDAU
Cerpen: Rizkan
Berhentilah menyanyi sebentar! Kata mak Lindau pada anaknya. Kau tak dengar suara adzan? Begitulah suasana setiap magrib di rumah mak Lindau yang terletak di sebelah jembatan penyeberangan darurat, di kampung Dungku. Anaknya yang bernama Tari ini memang suka bernyanyi. Dia sempat bercerita pada ibunya, kalau dia besar nanti, dia ingin menjadi penyanyi. Mak Landau hanya mengangguk saat anak perempuan satu-satunya ini, mengungkapkan gairahnya untuk jadi penyanyi, kata yang terucap dibibirnya hanya, terserah nak, yang penting halal, sambil mengecup kening anaknya yang polos.
Terik mentari takkan mampu menembus pertahanan rumah mak Landau, yang diselimuti labu yang menjalar. Sekali-kali kalau buah labunya sudah besar, mak Landau akan memboncengnya dengan sepeda, lalu menjualnya di pasar, yang berjarak  lima kilo meter dari rumahnya. Keseharian mak Landau memang beragam, kadang ia mendapat upah dari menyiangi gulma di sawah warga, sesekali menjadi kuli panen di kebun, bila beruntung, ia akan menjadi kuli panen pisang, karena selain mendapat upah uang, kadang majikannya juga memberikan beberapa tandan pisang untuk dibawanya pulang. Pisang yang didapatnya kemudian dijadikannya gorengan tuk dijual di pasar. Sukur-sukur bisa nalangin kebutuhan rumah satu minggu, ucap mak Landau dalam hatinya.
Awan mulai bergerak ke arah timur, mentari mulai merubah warnanya menjadi kemerahan, perlahan-lahan gelap datang menjemput senja, hingga mentari tak tampak lagi. Bila malam mulai menjelma, orang-orang akan banyak lalu-lalang di jembatan tua yang dibangun masa orde baru yang berada di sebelah rumah mak Landau. Asap bercampur aroma harum nasi yang baru mendidih ditanak, mengempul di udara, menambah hangat suanana malam di rumah mak Landau. Pekerjaannya yang serabutan memberi lelah yang teramat sangat, apalagi usianya kini menginjak lima puluh empat tahun, namun semua itu terbayarkan ketika pulang, makanan telah dihidangkan putrinya di atas meja tua yang dibuat mendiang suaminya dari anyaman rotan.
Kokok ayam menandakan subuh telah datang. Tapi mak Landau telah lebih dulu meninggalkan rumah sambil memikul kayu bakar yang diambilnya kemarin sore di hutan. Kali ini, ia memang tak berangkat menggunakan sepeda, ban sepedanya bocor oleh sesuatu yang tak dapat dilihatnya saat kemarin ia pulang di waktu senja. Menempuh jarak lima kilo dari rumahnya takkan terasa berat jika berangkat secepat ini, pikir mak Landau sambil mengangkat kayu di pundaknya.
Jalanan terasa licin dan ringan ditapaki mak Landau. Entah mengapa dalam gelap yang belum memudar itu, terbesit di pikirannya tentang dua anak laki-lakinya yang sekarang entah ada di mana. Ia ingat ketika terakhir kali memeluk kedua anak lelakinya, sambil mengantarkannya ke kapal di pelabuhan Batam. Waktu itu, kedua anaknya pamit untuk pergi merantau, entah mengapa setelah lima tahun, tak sekalipun anaknya pulang menyambangi ibunya yang kini telah berusia lebih dari setengah abad.
Kini pikiran mak Landau beralih pada anak gadisnya. Mak Landau menetestan air mata di pipinya, mengenang nasib anak gadisnya yang harus menjadi tukang cuci di rumah warg,a untuk membiayai sekolahnya. Ia kembali fokus bekerja setelah melihat keramaian pasar, dibayangnya kayu bakar yang ia bawa akan segera terjual ketika ia sampai di lapak para pedagang kayu. Benar saja, tak berapa lama mak Landau menurunkan kayu dari pundaknya, langsung seorang ibu muda dengan daster merah memborong semua kayu yang ia bawa.
Beberapa rupiah dari hasil jualannya ia gunakan untuk membeli beberapa gantang beras. Selebihnya ia simpan untuk diberikan pada anak gadisnya yang pasti lelah bersekolah, mengurusi rumah, dan menyuci pakaian di rumah tetangga. Hari ini mak Landau tak langsung pulang ke rumah, ia mampir dulu ke rumah Jupri, temannya sewaktu muda. Jupri pernah menawarkan pinjaman modal kepada mak Landau untuk berjualan di rumahnya, apalagi Jupri tak mengharapkan mak Landau untuk mengembalikan pinjamannya tersebut, bila tak mampu mengembalikannya. Mak Landau berencana membuka warung kelontong di depan rumahnya, dengan modal yang dipinjamkan Jupri, ia akan memulai usahanya dengan menjual lontong gulai dan sejenisnya pada orang-orang yang biasa berhenti di sekitar jembatan tua, yang menggantung menyeberangi sungai. Berkat bantuan Jupri, mak Landau berhasil mendirikan warung kelontong yang diimpikannya. Usahanya juga cukup menguntungkan, sekarang Ia tak perlu lagi menjadi kuli di ladang orang, meski kadang-kadang ia masih mencari kayu bakar di hutan untuk ia gunakan sendiri.
Rembulan bersinar terang jauh di atas awan yang mengapung dilangit, menerangi rumah mak Landau, dan memantulkan cahanya yang anggun ke atas sungai. Suara jangkrik yang berderik menambah hikmat suasana alam yang masih asri di kampung Dungku. Mak Landau mengajak putrinya berbincang, Ia menceritakan bahwa penyakitnya sudah semakin parah, dan mungkin akan segera menyusul suaminya yang telah lebih dulu pergi tiga tahun yang lalu. Mak Landau mengelus lembut pipi si anak dan menyeka air mata yang mengalir di pipi putrinya. Ia tahu, putrinya pasti akan sedih sekali jika mendengar ceritanya. Tapi, ia tetap harus menceritakan kebenarannya pada sang putri. Anemia yang telah lama dideritanya dan terus ditahan selama ini, mungkin menjadi tepat untuk diceritakan, karena kini mereka sudah cukup berkecukupan dalam hidup.
Tari, kini kita telah punya warung kelontong. Tapi, Ibu sudah tak sanggup lagi bekerja, mungkin inilah pengorbanan terakhir yang bisa ibu berikan padamu. Kamu sekolahlah yang rajin, ibu ingin masa depan kamu lebih baik dari yang ibu dapatkan selama ini, curah mak Landau pada putrinya yang mulai terlelap.
            Hari demi hari banyak mak Landau habiskan di surau. Ia sering mengikuti pengajian ibu-ibu yang ada di kampungnya. Warung kelontongnya kini diambil alih oleh putrinya. Ia lebih banyak meluangkan waktu untuk belajar ilmu agama di surau. Suatu sore, mak Landau sengaja menemui ustad yang sebelumnya telah memberi pengajian, ia bertanya perihal tanggung jawab orang tua pada anaknya yang disampaikan ustad pada ibu-ibu yang hadir di sore itu.
Pak ustad, kalau anak kita tidak sembahyang, ibuknya berdosa juga ya ustad? Ucap mak Landau sambil gugup.
            Bulan terasa pecah di kepala mak Landau, langit yang cerah tiba-tiba terasa mendung, ditemani badai dan petir. Tak dikira, ternyata tanggung jawabnya kepada si anak belum selesai juga. Padahal, separuh hidupnya telah ia habiskan untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan anaknya. Menjadi kuli, tukang kayu, menggarap ladang, memamen pisang, jagung, dan cabe di ladang orang telah dilakukannya. Akhirnya,saat ia sudah menginjak usia renta, ia berhasil mendirikan warung kelontong untuk mencukupi kebutuhan hidup anaknya. Tapi, ternyata ia memiliki kewajiban lain, yaitu mengajarkan ilmu agama pada anaknya. Memang sejak Tari kecil, mak Landau tak pernah mengajari satu hal pun tentang ilmu agama padanya. Ia hanya sibuk dengan pekerjaan serabutan yang dilakoninya, hingga tak sadar usianya sudah hampir kepala enam, namun akhirat belum juga dipikirkannya.
            Mak Landau sangat bersukur, di akhir hidupnya ia bisa memberikan kebahagiaan pada anaknya. Telah lama ia menantikan saat seperti ini, yang mana ia bisa menghabiskan waktu tuanya untuk lebih taat beribadah, pergi ke surau, dan ikut pengajian bersama ibu-ibu seusianya. Ia merencanakan di masa tuanya, ia bisa fokus untuk beribadah saja, soalnya dulu ketika muda ia tak terlalu ambil pusing tentang dosa, ia bertekad akan menjadi ahli ibadah dan memohon ampun atas semua dosanya di masa muda, ketika ia telah tua. Mak Calau mulai meminta Tari untuk belajar sembahyang pada tetua yang ada di surau. Namun, Tari menolak, ia ingin belajar, mencari uang dan mengejar cita-citanya. Ia tak mau memikirkan soal agama di masa mudanya.
Buk, sembahyang itu sampai kapan pun akan tetap ada, masa muda ini, kita harus bekerja untuk mengejar cita-cita. Nantilah kalau saya sudah tua baru saya sembahyang, dan minta ampun pada gusti Allah, ucap Tari pada mak Landau yang termenung mengingat masa mudanya.

*Infokom HMJ Sastra Indonesia FIB Unand



By HMJ Sasindo Unand with No comments

0 komentar:

Post a Comment