Wednesday, November 26, 2014

Catatan Acara Panggung Puisi 2014

Sabtu Malam, dan Sebercak Moment Estetik
(Catatan “Panggung Puisi 2014”: Acara yang bergulir
di Antara Keterbatasan Ruang Gerak)



Sabtu malam (22 November 2014) HMJ Sastra Indonesia FIB Unand menggelar acara Panggung Puisi, yang sebelumnya telah dikenal luas sebagai agenda tahunan HMJ dengan nama Tadarus Puisi. Jika pada tahun-tahun sebelumnya acara bernuansa keakraban sepanjang malam, maka tahun ini, panitia (Sastra Indonesia angkatan 2013) mengambil sikap dengan memangkas durasi acara dari yang biasanya malam sampai pagi, menjadi sore hingga jam 12 teng! Banyak sebab, sesungguhnya, yang berperan dalam perubahan konsep acara, salah satunya—dan yang paling besar porsinya—, faktor perizinan kampus yang tidak bersambut dengan tuntutan konsep. Namun terlepas dari itu semua, acara malam itu tentu harus diapresiasi. Kerja keras panitia tidaklah sia-sia. Moment estetik yang hadir begitu saja dan natural, menandakan betapa puisi masih menjadi sesuatu yang tak bisa diabaikan.
Dibuka pada sore hari pukul 16.00 Wib dengan diskusi dan orasi budaya mengenai puisi dalam kehidupan, acara tampak mengesankan. Heru Joni Putra, Fariq Alfaruqi, dan Ramoun Apta, adalah nama yang “ditunjuk” menyampaikan perihal puisi dan berpuisi, dari berbagai perspektif. Mahasiswa baru Sastra Indonesia, tampak menyambut pembahasan itu dengan bersahabat, meskipun bincang-bincang kemudian tidaklah begitu riuh dan keruh (barangkali juga sebab durasi yang tak sepanjang tali beruk itu). Namun setidaknya, beberapa pembahasan yang dikemukakan tiga pembicara di atas dirasa cukup menjadi wacana dasar bagi peserta diskusi untuk mulai mengetuk pintu puisi di lusa hari, terlepas dari masalah minat atau tidak minat. Dan pembahasan itu pula, terasa mengesankan dan mampu menyentuh harapan yang ditanam kawan-kawan panitia, akan pengenalan puisi terhadap generasi baru Sastra Indonesia Unand.
Selepas magrib, acara dilangsungkan di ruang terbuka Medan nan Balinduang FIB, dengan konsep yang bukan lagi bincang-bincang dan bertukar pikiran, melainkan menjadi panggung pertunjukan seni yang apik. Panggung temaram dengan beberapa warna cahaya; sound system lengkap dengan gitar dan gendang; grafity di bekas karung semen sebagai ganti spanduk; obor-obor bertebaran di sudut-sudut strategis; tribun kiri dan kanan yang pencahayaannya tidak cukup untuk mengenali kawan dekat.  Para tamu undangan tampak kian berdatangan selepas hujan tinggal rinai (hujan yang tak berhenti turun sejak sore membuat para tamu tidak mengindahkan jadwal pada undangan): alumni, dosen, masyarakat FIB, dan komunitas-komunitas seni Kota Padang. Ada yang berpasangan, ada yang bersama suami dan seorang anak, ada yang sendirian tanpa teman—barangkali ia merasa pertunjukan puisi bisa menyelamatkannya dari rasa sepi di Sabtu malam.

(Foto: Tribun disesaki penonton)

Banyak pegiat pertunjukan, komunitas seni yang tampil memberi keriuhan. Sederet pembaca puisi yang antusias mengisi panggung; dosen, alumni, tamu tercinta, wakil dekan, dan lain, dan lain. Semua itu adalah pengisi waktu demi menyukseskan pertunjukan istimewa yang dirancang panitia.  Adalah mahasiswa baru 2014, yang sengaja diberi kehormatan penuh kasih sayang, untuk membawakan puisi karya para penyair yang sejak lama lahir dan tumbuh di Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand. Sembilan grub diberi kesempatan istimewa untuk tampil (barangkali menjadi pengalaman pertama bagi mereka), mengapresiasi puisi, dan untuk kemudian mendapat tepuk-tangan paling riuh dari segenap penonton di tribun. Sembilan grub tersebut mendaramakan puisi-puisi karya penyair Sastra Indonesia Unand, dan puisi karya penyair Indonesia.

(Foto: Sekelompok mahasiswa baru Sastra Indonesia FIB Unand setelah sukses menampilkan dramatisasi puisi)

Puas menyanjung mesra kawan-kawan mahasiswa baru, maka sampailah moment pada yang disebut sebagai puncak acara (bagian ini bertahan dari tahun ke tahun). Sekitar pukul 22.30 WIB, Satu dua orang naik ke atas panggung, membawakan tembang “Nyanyian Jiwa” dari Iwan Fals, kemudian membaca puisi ketika lagu sampai pada bagian reffrain. Dari sinilah puncak moment estetik itu dimulai. Satu persatu pembaca puisi menaiki panggung secara spontan, sementara “Nyanyian Jiwa” tak kunjung sampai di petikan terakhir. Obor-obor yang tadinya ditancapkan di sisi-sisi panggung, kini berdiri di tengah-tengah pentas, dikelilingi empat—lima orang yang khusuk membaca puisi. Seperti itu suasana terus berlanjut, hingga panggung disesaki oleh sekitar 20 pembaca puisi, sementara sekelompok pegiat teater suntuk dalam teatrikal mabuk, di bawah rinai yang dingin. Bersamaan dengan itu pula, teriakan-teriakan puisi terdengar dari sudut-sudut kelam tribun. Suara laki-laki dan perempuan, entah siapa. Rupanya panitia telah lebih sigap mengambil inisiatif: satu—dua microfon berjalan di selingkar ruang gelap tribun. Semua orang kini membaca puisi, berbekal stensilan berisi puisi-puisi yang disebar panitia sejak permulaan acara.

(Foto: Puluhan pembaca puisi menyesaki panggung)

Seperti itulah “Panggung Puisi 2014” memuncak. Moment estetik yang tercipta lewat perasaan spontan dan rasa canggung yang lenyap entah ke mana dari dada, disaksikan gerimis dan kabut dingin bukit Limau Manis. Sekitar satu setengah jam, Sabtu malam menjadi sehabat yang penuh perhatian dan pengertian.
Mendekati pukul 24.00 WIB malam, acara diakhiri. Hadirin tercenung dalam riuh yang masih mengganas dalam dada. Kini durasi mesti dipatuhi. Di luar tribun, tampak bus kampus berdiri dalam diam, tampak kedinginan. Sesuai tawaran panitia kepada jajaran pimpinan fakultas, para peserta (mahasiswa baru 2014)  mesti dipulangkan dengan aman dan nyaman. Bersamaan dengan itu pula, satu persatu tamu bergerak ke luar tribun. Satu—dua panitia berdiri di jalan ke luar, bersalaman, dan menjawab pamit para tamu: dosen, Wakil Dekan FIB, alumni, dan komunitas-komunitas undangan.
Di panggung, cahaya kini benderang. semua lampu telah dihidupkan. Tampak beberapa orang bergerak-gerak kecil di panggung bagian belakang, berkemas, sambil bercengkrama dan tertawa-tawa. Di sudut depan panggung, segerombol anak laki-laki dengan kepala dan baju yang basah, duduk dan tersenyum sumringah. Gelas-gelas kopi menjadi sesuatu yang paling akrab bagi setiap orang malam itu. (*)
                                                           




*Catatan: Andesta Herli ~ Ketua HMJ Sastra Indonesia Unand                                                                           (Padang, November 2014)

By HMJ Sasindo Unand with No comments

0 komentar:

Post a Comment