Wednesday, December 23, 2015

Kritik Pementasan: Catatan untuk Tiga Pertunjukan Teater Langkah FIB Unand


Salah-satu adegan dalam pementasan naskah Cipoa

Selama dua hari berturut-turut (15-16 Desember 2015) 'anak-anak Langkah' menampilkan tiga pertunjukan teater dalam rangka Open Recruitment anggota baru. Tiga pertunjukan tersebut membawakan naskah 'Jam Dinding yang Berdetak' karya Nano Riantiarno, 'Perempuan dalam Keranda Kaca' naskah karya Elly Delfia, dan yang terakhir ‘Cipoa naskah karya Putu Wijaya. Ketiga naskah tersebut, sebagaimana yang telah kita ketahui, memang karya yang tidak asing lagi di tengah masyarakat teater kita. Meskipun terkendala hujan, juru pawang yang diminta untuk “menghentikan hujan” mampu bekerja dengan baik sehingga hujan yang semula lebat lekas mereda. Inilah uniknya sebuah pertunjukan di ranah Minang yang kita cintai ini. Unsur-unsur magis tidak pernah ketinggalan dalam setiap alek yang digelar.
Pertunjukan pertama mementaskan naskah fenomenal 'Jam Dinding yang Berdetak' karya Nano Riantiarno. Interpretasi terhadap naskah dilakukan cukup baik oleh sutradara. Ia menggubah narasi kompleks yang ditawarkan Nano dengan menampilkan peristiwa-peristiwa penting saja di atas panggung. Lewat gubahan sutradara, realitas sosial rumah tangga miskin dan dengan sekelumit kehidupan mereka dihadirkan dengan gurih dan dapat ditangkap dengan baik oleh para penonton. Unsur-unsur parodi yang dibangun renyah dan nikmat disantap. Sehingga riuh tawa para penonton disampaikan dengan cara yang lepas tanpa kesan dibuat-buat.
Para aktor yang bermain cukup terampil dalam bermain. Tidak tampak adanya tekanan batin saat membawakan karakter tokoh yang sedang diperankan. Meskipun mereka dapat dibilang “baru berteater namun upaya untuk bermain lepas tanpa tekanan terasa cukup maksimal. Ini terlihat dari dialog-dialog yang berkolaborasi dengan ekspresi para pemain terasa hidup dan mampu mendukung suasana yang dibangun.
Sutradara sepetinya sadar bahwa pemain yang diolah adalah orang yang baru saja masuk dalam dunia teater. Sehingga mereka diberikan kebebasan dalam berakting dengan menempatkan karakter diri mereka sendiri dalam permainan. Ini tampak dari penjiwaan karakter masing-masing pemain yang terkesan seperti terbawa kebiasaan sehari-hari. Sublimasi yang terjadi tidak memberi kesan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam menjiwai peran. Hal itu ditutupi dengan interaksi antar pemain yang tampak natural dan seolah-olah nyata.
Tentu masih ada kekurangan dalam pertunjukan ini. Ada sejumlah adegan / fragmen yang lost control, dialog yang sekali-sekali timpang, logat sehari-hari yang terbawa-bawa di luar konteks peristiwa dalam pertunjukan, dan artikulasi atau olah lisan yang tidak jelas. Selain itu, tampak juga beberapa pemain yang sempat kehilangan tempo permainan dan tampak kebingungan. Hanya saja, hal ini kemudian ditutupi oleh pemain lain yang (sepertinya) sadar kalau lawan mainnya sedang lepas kendali. Dan mereka lekas melakukanm penambalan sampai akhirnya lawan main tersebut masuk kembali dalam konteks permainan.
Tentu hal-hal seperti ini penting untuk ditilik dan diperbaiki sebab penonton ingin menikmati pertunjukan yang "bersih" dari kendala teknis begitu. Kacamata penonton tidak pernah mempedulikan apakah pemain sedang sakit, belum makan, kurang bergairah, dan seterusnya. Penonton hanya tahu bahwa ini sebuah pertunjukan dan semestinya begini, begini dan begini.
Selain persoalan yang telah disebutkan di atas, artistik yang ditampilkan mampu mendudukkan suasana di atas panggung dan dapat ditangkap oleh penonton. Dinding rumah yang terbuat dari seng-seng bolong mendukung kondisi ekonomi keluarga yang sedang ditampilkan: keluarga miskin! Properti seperti meja, kue ulang tahun, dan botol minuman beralkohol yang digunakan pun dapat dimaksimalkan dengan baik. Dan menariknya di sini, pemanfaatan terhadap botol minuman tersebut tidak latah sebagaimana pertunjukan atau film-film yang bermotif sama. Ia hanya dipergunakan sebagai botol minuman beralkohol itu sendiri dengan mabuk yang biasa. Tidak ada upaya membuat-buat. Selebihnya dimanfaatkan dengan cara yang wajar.
Musik yang dihadirkan mampu mendukung latar waktu peristiwa terjadi. Pencatutan lagu tempo doeloe, dan cuplikan-cuplikan musik yang dibunyikan dari piano tiup itu, seolah-olah mengarahkan ingatan penonton ke tahun 80-an, dimana kondisi ekonomi pada saat itu sedang dalam masa yang sesak. Pergolakan politik yang panas, kebencian-kebencian yang pekat kepada pemerintah, serta rasa tidak percaya yang tinggi akan adanya hidup yang lebih baik, seolah-olah dimaksudkan untuk ikut hadir ke atas panggung sebagai efek atau imaji lain dari misi utama kehadiran pertunjukan ini.
Dalam hal ini sutradara sepertinya sangat sadar akan dibawa ke mana naskah karya Nano tersebut dan ia memutuskan untuk menghadirkan senatural dan serenyah mungkin supaya dapat dinikmati oleh penonton, baik yang awam ataupun yang sudah khatam kitab kuning “agama” teater.
Pada pementasan kedua penonton disugiuhi pertunjukan dengan naskah 'Perempuan dalam Keranda Kaca' karya Elly Delfia. Naskah ini cukup unik secara cerita karena menampilkan peran dan tugas perempuan dalam tradisi. Bahwa perempuan memiliki peran yang penting dalam tradisi (Minangkabau, sebegaimana konteks cerita) dan tidak hanya sebagai “pelayan” laki-laki. Sense tradisi begitu kental dan memokus dalam naskah ini, meskipun bila ditilik secara seksama akan terasa ada imaji yang akrab dengan kehidupan pasca-tradisi.
Kekuatan tersebut mesti berbanding lurus dengan kemampuan interpretasi sutradara. Kepiawaian sutradara dalam mendudukkan konsep dituntut agar gagasan utama cerita dapat tersampaikan dengan baik dan tidak monoton. Meskipun yang menggarap naskah laki-laki, tetap saja ia harus pandai menempatkan “ego”-nya bersisian dengan muatan naskah. Tidak ada kata kompromi terhadap hal itu bila ingin pertunjukannya berhasil.
Nah, dalam konteks ini, sepertinya sutradara tidak mampu mengolah naskah dengan baik sehingga tidak ada spektakel-spektakel yang dapat membuat penonton terkesima. Sutradara tidak menawarkan konsep yang jelas agar penonton dapat menangkap apa tujuan dari naskah ini dipertunjukan. Ketertarikan sutradara terhadap naskah dan kemudian memilih untuk mempertunjukkannya tidak mampu membawa penonton masuk ke dalam dan terlibat memahami narasi yang ditawarkan. Sehingga pertunjukan terkesan seperti konser kolaborasi antar pemain perihal dialog-dialog yang telah mereka hapal.
Ketidakberhasilan sutradara dalam mengonsep naskah ini kemudian berdampak pada penjiwaan para aktor dalam memainkan karakter yang dibebankan kepada mereka. Karakter tidak hidup dan seolah-olah hanya menjadi batu yang berada di pundak. Aktor terkesan berdiri di atas kaki mereka sendiri tanpa adanya bangunan interaksi yang baik sehingga tidak membuat penonton merasa kalau mereka sedang berperan. Tidak ada kerja kolektif agar pertunjukan ini dapat dirasakan sebagai sebuah pertunjukan menghancurkan distrik wacana yang sempat menghampiri pikiran penonoton dengan penghadiran konteks tradisi di dalamnya. Dan kehancuran tersebut diperemuk dengan gelagat masing-masing aktor yang terlihat autis terhadap diri sendiri dan kemudian menjatuhkan peran lawan main.
Kegagalan ini memang bersumber dari kerja sang sutradara. Sutradara adalah orang yang bertanggung jawab atas hadirnya sebuah pertunjukan. Kecelakaan pemaknaan yang diterima pemain adalah berpangkal dari sutradara. Karena dia adalah pengonsep utama, yang tentu saja orang pertama dalam sebuah pertunjukan. Tanpa dirinya, sebuah pertunjukan tidak akan hadir. Sutradara yang baik semestinya mampu menjadikan seseorang sebagai aktor bagaimanapun kondisi dan kekurangannya. Ketidakberhasilan sutradara mentransfer hasil pendalamannya terhadap naskah kepada para pemain adalah mimpi buruk dan kegagalan dalam kerja perteateran. Kelak ia hanya akan menjadi sutradara yang hanya berhasil mengenang-ngenang ketertarikannya dalam kepala.
Selain itu, panggung yang dihadirkan minim dari kehadiran properti. Yang ada hanya trap, yang difungsikan sebagai tempat duduk aktor. Dan dua tingkat anak tangga, yang sepertinya disimbolkan sebagai, hmhm, jenjang naik ke atas rumah gadang. Tidak tampak adanya upaya-upaya lain yang bertujuan khusus dan bersifat idiologis untuk menjelaskan, katakanlah, perbedaaan status sosial antar masing-masing karakter tokoh yang diperankan sementara naskah meminta demikian. Penguatan-penguatan terhadap permasalahan dan penyelesaian inti cerita pun jauh badan dari bayang-bayang. Dan juga tidak ada capaian lain, atau gebrakan baru, yang dapat dimaknai sebagai pemberontakan terhadap naskah yang mendefinisikan pertunjukan. Kita para penonton disuruh mereka-reka sejauh apa matahari yang tampak di ujung lautan. Artinya, naskah bisa dibilang tidak dipahami dengan baik.
Kekurangan-kekurangan seperti yang disampaikan di atas membuat realitas yang dihadirkan ke atas panggung menjadi tidak jelas. Latar waktu, tempat dan di mana peristiwa terjadi sesungguhnya sangat sulit untuk dilacak. Bahkan untuk mengira-ngira pun penonton tidak memiliki daya. Sehingga akhirnya pementasan ini pun jadi diam di tempat dan tanpa menawarkan apa-apa.
Memang. Memang ada upaya sutradara ingin mendudukkan persoalan latar waktu tersebut dengan menjelaskannya pada kostum para pemain. Setiap pemain menggunakan pakaian tradisi masyarakat Minangkabau. Hanya saja penghadiran kostum ini menjadi hambar dan malah semakin menampakkan ketidakmampuan sutradara dalam membangun konsep. Penggunaan instrumen tradisi tersebut hanya menjadi pembacaan latah sutradara terhadap naskah. Mentang-mentang naskah bercerita tentang Minangkabau zaman saisuak lalu pemain dengan sebegitu bebasnya diberi konstum tradisi tanpa adanya pertimbangan lain. Cara seperti ini tidak fair dilanjutkan mengingat wacana yang terdapat dalam naskah tidak akan sampai.
Tentu saja tidak semuanya buruk. Seburuk-buruknya pementasan tentu ada hal baik di dalamnya meskipun hanya sebesar biji zarah. Misalnya adanya upaya beberapa orang aktor untuk menampilkan kemampuan dasar keaktoran yang mereka miliki. Adanya beberapa aktor yang berupaya keluar jalur dari yang ditetapkan sutradara. Misalnya, membuat lelucon dengan menggunakan karakter asli si aktor sehingga membuat para penonton tertawa.
Hal ini bisa tercapai berkat adanya kedekatan emosional sang aktor dengan para penonton. Interaksi sosial sang aktor dalam keseharian membuat penonton dapat menikmati pertunjukan dengan membawa ingatan ke dalam gaya hidup mereka sehari-hari. Cuma, lelucon seperti ini tidak baik dipertahankan mengingat tidak semua penonton memiliki kedekatan emosional dengan para pemain. Pertunjukan seperti ini hanya akan sukses di dalam kandang, namun tidak di atas arena yang sesungguhnya.


Salah-satu adegan pementasan Perempuan dalam Keranda Kaca

Pada hari kedua, yakni pementasan ketiga, pertunjukan menampilkan naskah Cipoa karya Putu Wijaya. Naskah ini sejatinya bukanlah barang baru bagi penikmat teater di Indonesia karena ditulis oleh seorang sutradara kenamaan dan kerap kali dipentaskan. Pertunjukan ini pun berlangsung dengan baik dan dengan berbagai kejutan di dalamnya.
Kejutan ini tampak dari berbagai aspek. Salah satunya, artistik panggung. Artistik yang dibangun mampu membuat penonton hadir ke dalam realitas pertunjukan dan latar dimana peristiwa dimaksudkan hadir. Tingkah-polah para pemain yang kocak dan mahir membuat lelucon di sela-sela ruwetnya permasalahan yang hadir membuat pertunjukan terasa hidup dan hikmat. Sehingga ruang kosong yang fatal dan perlu untuk dilakukan perbaikan tidak terlihat. 
Dalam tataran ini, sutradara sepertinya cukup paham akan naskah dan tahu jalur mana yang mesti ditempuh agar apa yang dipahaminya sampai ke benak “jahat” pada penonton. Tak terasa adanya tumpang-tindih anatr peristiwa yang dihadirkan. Semuanya berjalan dengan runut sesuai dengan penceritaan. Sutradara mampu mengonsep naskah dan mendistribusikannya kepada para pemain. Buah dari kerja tersebut tentu sangat layak diberi tepuk tangan meriah.

 Salah-satu adegan Cipoa
Tentu ada beberapa kesalahan kecil yang dapat dinilai sebagai kelalaian aktor. Seperti, aktor belum terlalu mahir dalam berperan sedikit keluar dari jalur untuk menjahit hal-hal kecil yang berpotensi mengacaukan kenikmatan penonton luput dari permainan. Beberapa kali terlihat kecolongan dalam pemanfaatan property yang tidak sesuai dengan konteks dan juga eksplorasi semu yang tidak berpengaruh apa-apa. Dan yang cukup fatal ialah kelupaan terhadap penggunaan property sehingga property yang semstinya penting malah terjatuh begitu saja ke lantai. Ini cukup fatal dalam sebuah pertunjukan sebab penonton tentu akan berpikir panjang mengenai properti penting yang jatuh tersebut. Sebab mereka akan fokus “melihat” ke arah sana.
Agar hal ini bisa terhindar, kerja kolektif antar pemain untuk saling mengingatkan benar-benar diharapkan agar kecolongan dapat dihindari. Kerja kolektif ini dapat dilakukan dengan cara berimprovisasi. Improvisasi membutuhkan pengalaman panggung yang panjang dan olah kerja kolektif yang lama pula. Pelatihan yang dapat membangun rasa antar pemain merupakan solusi yang paling tepat untuk dapat menutupi celah tersebut.
Memang benar, sepandai-pandainya seorang sutradara dalam mengonsep cerita bila tanpa didukung oleh aktor yang mampu menerapkan konsep tersebut di atas panggung tetaplah pertunjukan yang hadir akan terasa timpang. Aktor merupakan salah satu dari beberapa hal penting lainnya dalam sebuah pertunjukan. Kekacauan aktor akan memgacaukan cara pandang para penonton.
Demikianlah catatan terhadap tiga pementasan yang diadakan oleh teater langkah selama dua hari (15-16 Desember 2015) yang lalu. Ketiga pertunjukan dapatlah dianggap sebagai pertunjukan yang berawal dari proses pembelajaran. Dengan modal pengalaman panggung yang sebagaian besar perdana, dan dengan latar belakang penyutradaraan yang perdana pula, dapatlah dikatakan mereka telah menampilkan hasil yang terbaik selama pergulatan mereka dalam “kubangan” teater.
Layak kiranya untuk diberi tepuk tangan meriah karena mereka telah berhasil membuat penonton yang terdiri dari tamu undangan alias penggiat teater, penonton umum atau awam, dan juga beberapa orang dosen penggiat teater yang turut hadir, untuk tertawa terpingkal-pingkal sehingga memberikan hiburan yang berarti di dua malam yang dingin itu.(*)



Dok. Iqbal



*Kritik Pementasan ini ditulis oleh Ramoun Apta, Penyair dan alumni jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

By HMJ Sasindo Unand with No comments

0 komentar:

Post a Comment