MENOLAK YANG SAKRAL

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas menyelenggarakan acara “Diskusi Kopi Sakarek” di lesehan Balairuang FIB Unand, (Kamis 06/11/2014)[...]

Refleksi Hari Pahlawan (Liputan Padang TV)

Perayaan Hari Pahlawan selama ini sebatas agenda tahunan berbagai instansi, baik pemerintah maupun pendidikan, tanpa menyentuh esensi dari nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri[...]

SLIDE-3-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

If you are going [...]

SLIDE-4-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

SLIDE-5-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

Wednesday, December 23, 2015

Kritik Pementasan: Catatan untuk Tiga Pertunjukan Teater Langkah FIB Unand


Salah-satu adegan dalam pementasan naskah Cipoa

Selama dua hari berturut-turut (15-16 Desember 2015) 'anak-anak Langkah' menampilkan tiga pertunjukan teater dalam rangka Open Recruitment anggota baru. Tiga pertunjukan tersebut membawakan naskah 'Jam Dinding yang Berdetak' karya Nano Riantiarno, 'Perempuan dalam Keranda Kaca' naskah karya Elly Delfia, dan yang terakhir ‘Cipoa naskah karya Putu Wijaya. Ketiga naskah tersebut, sebagaimana yang telah kita ketahui, memang karya yang tidak asing lagi di tengah masyarakat teater kita. Meskipun terkendala hujan, juru pawang yang diminta untuk “menghentikan hujan” mampu bekerja dengan baik sehingga hujan yang semula lebat lekas mereda. Inilah uniknya sebuah pertunjukan di ranah Minang yang kita cintai ini. Unsur-unsur magis tidak pernah ketinggalan dalam setiap alek yang digelar.
Pertunjukan pertama mementaskan naskah fenomenal 'Jam Dinding yang Berdetak' karya Nano Riantiarno. Interpretasi terhadap naskah dilakukan cukup baik oleh sutradara. Ia menggubah narasi kompleks yang ditawarkan Nano dengan menampilkan peristiwa-peristiwa penting saja di atas panggung. Lewat gubahan sutradara, realitas sosial rumah tangga miskin dan dengan sekelumit kehidupan mereka dihadirkan dengan gurih dan dapat ditangkap dengan baik oleh para penonton. Unsur-unsur parodi yang dibangun renyah dan nikmat disantap. Sehingga riuh tawa para penonton disampaikan dengan cara yang lepas tanpa kesan dibuat-buat.
Para aktor yang bermain cukup terampil dalam bermain. Tidak tampak adanya tekanan batin saat membawakan karakter tokoh yang sedang diperankan. Meskipun mereka dapat dibilang “baru berteater namun upaya untuk bermain lepas tanpa tekanan terasa cukup maksimal. Ini terlihat dari dialog-dialog yang berkolaborasi dengan ekspresi para pemain terasa hidup dan mampu mendukung suasana yang dibangun.
Sutradara sepetinya sadar bahwa pemain yang diolah adalah orang yang baru saja masuk dalam dunia teater. Sehingga mereka diberikan kebebasan dalam berakting dengan menempatkan karakter diri mereka sendiri dalam permainan. Ini tampak dari penjiwaan karakter masing-masing pemain yang terkesan seperti terbawa kebiasaan sehari-hari. Sublimasi yang terjadi tidak memberi kesan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam menjiwai peran. Hal itu ditutupi dengan interaksi antar pemain yang tampak natural dan seolah-olah nyata.
Tentu masih ada kekurangan dalam pertunjukan ini. Ada sejumlah adegan / fragmen yang lost control, dialog yang sekali-sekali timpang, logat sehari-hari yang terbawa-bawa di luar konteks peristiwa dalam pertunjukan, dan artikulasi atau olah lisan yang tidak jelas. Selain itu, tampak juga beberapa pemain yang sempat kehilangan tempo permainan dan tampak kebingungan. Hanya saja, hal ini kemudian ditutupi oleh pemain lain yang (sepertinya) sadar kalau lawan mainnya sedang lepas kendali. Dan mereka lekas melakukanm penambalan sampai akhirnya lawan main tersebut masuk kembali dalam konteks permainan.
Tentu hal-hal seperti ini penting untuk ditilik dan diperbaiki sebab penonton ingin menikmati pertunjukan yang "bersih" dari kendala teknis begitu. Kacamata penonton tidak pernah mempedulikan apakah pemain sedang sakit, belum makan, kurang bergairah, dan seterusnya. Penonton hanya tahu bahwa ini sebuah pertunjukan dan semestinya begini, begini dan begini.
Selain persoalan yang telah disebutkan di atas, artistik yang ditampilkan mampu mendudukkan suasana di atas panggung dan dapat ditangkap oleh penonton. Dinding rumah yang terbuat dari seng-seng bolong mendukung kondisi ekonomi keluarga yang sedang ditampilkan: keluarga miskin! Properti seperti meja, kue ulang tahun, dan botol minuman beralkohol yang digunakan pun dapat dimaksimalkan dengan baik. Dan menariknya di sini, pemanfaatan terhadap botol minuman tersebut tidak latah sebagaimana pertunjukan atau film-film yang bermotif sama. Ia hanya dipergunakan sebagai botol minuman beralkohol itu sendiri dengan mabuk yang biasa. Tidak ada upaya membuat-buat. Selebihnya dimanfaatkan dengan cara yang wajar.
Musik yang dihadirkan mampu mendukung latar waktu peristiwa terjadi. Pencatutan lagu tempo doeloe, dan cuplikan-cuplikan musik yang dibunyikan dari piano tiup itu, seolah-olah mengarahkan ingatan penonton ke tahun 80-an, dimana kondisi ekonomi pada saat itu sedang dalam masa yang sesak. Pergolakan politik yang panas, kebencian-kebencian yang pekat kepada pemerintah, serta rasa tidak percaya yang tinggi akan adanya hidup yang lebih baik, seolah-olah dimaksudkan untuk ikut hadir ke atas panggung sebagai efek atau imaji lain dari misi utama kehadiran pertunjukan ini.
Dalam hal ini sutradara sepertinya sangat sadar akan dibawa ke mana naskah karya Nano tersebut dan ia memutuskan untuk menghadirkan senatural dan serenyah mungkin supaya dapat dinikmati oleh penonton, baik yang awam ataupun yang sudah khatam kitab kuning “agama” teater.
Pada pementasan kedua penonton disugiuhi pertunjukan dengan naskah 'Perempuan dalam Keranda Kaca' karya Elly Delfia. Naskah ini cukup unik secara cerita karena menampilkan peran dan tugas perempuan dalam tradisi. Bahwa perempuan memiliki peran yang penting dalam tradisi (Minangkabau, sebegaimana konteks cerita) dan tidak hanya sebagai “pelayan” laki-laki. Sense tradisi begitu kental dan memokus dalam naskah ini, meskipun bila ditilik secara seksama akan terasa ada imaji yang akrab dengan kehidupan pasca-tradisi.
Kekuatan tersebut mesti berbanding lurus dengan kemampuan interpretasi sutradara. Kepiawaian sutradara dalam mendudukkan konsep dituntut agar gagasan utama cerita dapat tersampaikan dengan baik dan tidak monoton. Meskipun yang menggarap naskah laki-laki, tetap saja ia harus pandai menempatkan “ego”-nya bersisian dengan muatan naskah. Tidak ada kata kompromi terhadap hal itu bila ingin pertunjukannya berhasil.
Nah, dalam konteks ini, sepertinya sutradara tidak mampu mengolah naskah dengan baik sehingga tidak ada spektakel-spektakel yang dapat membuat penonton terkesima. Sutradara tidak menawarkan konsep yang jelas agar penonton dapat menangkap apa tujuan dari naskah ini dipertunjukan. Ketertarikan sutradara terhadap naskah dan kemudian memilih untuk mempertunjukkannya tidak mampu membawa penonton masuk ke dalam dan terlibat memahami narasi yang ditawarkan. Sehingga pertunjukan terkesan seperti konser kolaborasi antar pemain perihal dialog-dialog yang telah mereka hapal.
Ketidakberhasilan sutradara dalam mengonsep naskah ini kemudian berdampak pada penjiwaan para aktor dalam memainkan karakter yang dibebankan kepada mereka. Karakter tidak hidup dan seolah-olah hanya menjadi batu yang berada di pundak. Aktor terkesan berdiri di atas kaki mereka sendiri tanpa adanya bangunan interaksi yang baik sehingga tidak membuat penonton merasa kalau mereka sedang berperan. Tidak ada kerja kolektif agar pertunjukan ini dapat dirasakan sebagai sebuah pertunjukan menghancurkan distrik wacana yang sempat menghampiri pikiran penonoton dengan penghadiran konteks tradisi di dalamnya. Dan kehancuran tersebut diperemuk dengan gelagat masing-masing aktor yang terlihat autis terhadap diri sendiri dan kemudian menjatuhkan peran lawan main.
Kegagalan ini memang bersumber dari kerja sang sutradara. Sutradara adalah orang yang bertanggung jawab atas hadirnya sebuah pertunjukan. Kecelakaan pemaknaan yang diterima pemain adalah berpangkal dari sutradara. Karena dia adalah pengonsep utama, yang tentu saja orang pertama dalam sebuah pertunjukan. Tanpa dirinya, sebuah pertunjukan tidak akan hadir. Sutradara yang baik semestinya mampu menjadikan seseorang sebagai aktor bagaimanapun kondisi dan kekurangannya. Ketidakberhasilan sutradara mentransfer hasil pendalamannya terhadap naskah kepada para pemain adalah mimpi buruk dan kegagalan dalam kerja perteateran. Kelak ia hanya akan menjadi sutradara yang hanya berhasil mengenang-ngenang ketertarikannya dalam kepala.
Selain itu, panggung yang dihadirkan minim dari kehadiran properti. Yang ada hanya trap, yang difungsikan sebagai tempat duduk aktor. Dan dua tingkat anak tangga, yang sepertinya disimbolkan sebagai, hmhm, jenjang naik ke atas rumah gadang. Tidak tampak adanya upaya-upaya lain yang bertujuan khusus dan bersifat idiologis untuk menjelaskan, katakanlah, perbedaaan status sosial antar masing-masing karakter tokoh yang diperankan sementara naskah meminta demikian. Penguatan-penguatan terhadap permasalahan dan penyelesaian inti cerita pun jauh badan dari bayang-bayang. Dan juga tidak ada capaian lain, atau gebrakan baru, yang dapat dimaknai sebagai pemberontakan terhadap naskah yang mendefinisikan pertunjukan. Kita para penonton disuruh mereka-reka sejauh apa matahari yang tampak di ujung lautan. Artinya, naskah bisa dibilang tidak dipahami dengan baik.
Kekurangan-kekurangan seperti yang disampaikan di atas membuat realitas yang dihadirkan ke atas panggung menjadi tidak jelas. Latar waktu, tempat dan di mana peristiwa terjadi sesungguhnya sangat sulit untuk dilacak. Bahkan untuk mengira-ngira pun penonton tidak memiliki daya. Sehingga akhirnya pementasan ini pun jadi diam di tempat dan tanpa menawarkan apa-apa.
Memang. Memang ada upaya sutradara ingin mendudukkan persoalan latar waktu tersebut dengan menjelaskannya pada kostum para pemain. Setiap pemain menggunakan pakaian tradisi masyarakat Minangkabau. Hanya saja penghadiran kostum ini menjadi hambar dan malah semakin menampakkan ketidakmampuan sutradara dalam membangun konsep. Penggunaan instrumen tradisi tersebut hanya menjadi pembacaan latah sutradara terhadap naskah. Mentang-mentang naskah bercerita tentang Minangkabau zaman saisuak lalu pemain dengan sebegitu bebasnya diberi konstum tradisi tanpa adanya pertimbangan lain. Cara seperti ini tidak fair dilanjutkan mengingat wacana yang terdapat dalam naskah tidak akan sampai.
Tentu saja tidak semuanya buruk. Seburuk-buruknya pementasan tentu ada hal baik di dalamnya meskipun hanya sebesar biji zarah. Misalnya adanya upaya beberapa orang aktor untuk menampilkan kemampuan dasar keaktoran yang mereka miliki. Adanya beberapa aktor yang berupaya keluar jalur dari yang ditetapkan sutradara. Misalnya, membuat lelucon dengan menggunakan karakter asli si aktor sehingga membuat para penonton tertawa.
Hal ini bisa tercapai berkat adanya kedekatan emosional sang aktor dengan para penonton. Interaksi sosial sang aktor dalam keseharian membuat penonton dapat menikmati pertunjukan dengan membawa ingatan ke dalam gaya hidup mereka sehari-hari. Cuma, lelucon seperti ini tidak baik dipertahankan mengingat tidak semua penonton memiliki kedekatan emosional dengan para pemain. Pertunjukan seperti ini hanya akan sukses di dalam kandang, namun tidak di atas arena yang sesungguhnya.


Salah-satu adegan pementasan Perempuan dalam Keranda Kaca

Pada hari kedua, yakni pementasan ketiga, pertunjukan menampilkan naskah Cipoa karya Putu Wijaya. Naskah ini sejatinya bukanlah barang baru bagi penikmat teater di Indonesia karena ditulis oleh seorang sutradara kenamaan dan kerap kali dipentaskan. Pertunjukan ini pun berlangsung dengan baik dan dengan berbagai kejutan di dalamnya.
Kejutan ini tampak dari berbagai aspek. Salah satunya, artistik panggung. Artistik yang dibangun mampu membuat penonton hadir ke dalam realitas pertunjukan dan latar dimana peristiwa dimaksudkan hadir. Tingkah-polah para pemain yang kocak dan mahir membuat lelucon di sela-sela ruwetnya permasalahan yang hadir membuat pertunjukan terasa hidup dan hikmat. Sehingga ruang kosong yang fatal dan perlu untuk dilakukan perbaikan tidak terlihat. 
Dalam tataran ini, sutradara sepertinya cukup paham akan naskah dan tahu jalur mana yang mesti ditempuh agar apa yang dipahaminya sampai ke benak “jahat” pada penonton. Tak terasa adanya tumpang-tindih anatr peristiwa yang dihadirkan. Semuanya berjalan dengan runut sesuai dengan penceritaan. Sutradara mampu mengonsep naskah dan mendistribusikannya kepada para pemain. Buah dari kerja tersebut tentu sangat layak diberi tepuk tangan meriah.

 Salah-satu adegan Cipoa
Tentu ada beberapa kesalahan kecil yang dapat dinilai sebagai kelalaian aktor. Seperti, aktor belum terlalu mahir dalam berperan sedikit keluar dari jalur untuk menjahit hal-hal kecil yang berpotensi mengacaukan kenikmatan penonton luput dari permainan. Beberapa kali terlihat kecolongan dalam pemanfaatan property yang tidak sesuai dengan konteks dan juga eksplorasi semu yang tidak berpengaruh apa-apa. Dan yang cukup fatal ialah kelupaan terhadap penggunaan property sehingga property yang semstinya penting malah terjatuh begitu saja ke lantai. Ini cukup fatal dalam sebuah pertunjukan sebab penonton tentu akan berpikir panjang mengenai properti penting yang jatuh tersebut. Sebab mereka akan fokus “melihat” ke arah sana.
Agar hal ini bisa terhindar, kerja kolektif antar pemain untuk saling mengingatkan benar-benar diharapkan agar kecolongan dapat dihindari. Kerja kolektif ini dapat dilakukan dengan cara berimprovisasi. Improvisasi membutuhkan pengalaman panggung yang panjang dan olah kerja kolektif yang lama pula. Pelatihan yang dapat membangun rasa antar pemain merupakan solusi yang paling tepat untuk dapat menutupi celah tersebut.
Memang benar, sepandai-pandainya seorang sutradara dalam mengonsep cerita bila tanpa didukung oleh aktor yang mampu menerapkan konsep tersebut di atas panggung tetaplah pertunjukan yang hadir akan terasa timpang. Aktor merupakan salah satu dari beberapa hal penting lainnya dalam sebuah pertunjukan. Kekacauan aktor akan memgacaukan cara pandang para penonton.
Demikianlah catatan terhadap tiga pementasan yang diadakan oleh teater langkah selama dua hari (15-16 Desember 2015) yang lalu. Ketiga pertunjukan dapatlah dianggap sebagai pertunjukan yang berawal dari proses pembelajaran. Dengan modal pengalaman panggung yang sebagaian besar perdana, dan dengan latar belakang penyutradaraan yang perdana pula, dapatlah dikatakan mereka telah menampilkan hasil yang terbaik selama pergulatan mereka dalam “kubangan” teater.
Layak kiranya untuk diberi tepuk tangan meriah karena mereka telah berhasil membuat penonton yang terdiri dari tamu undangan alias penggiat teater, penonton umum atau awam, dan juga beberapa orang dosen penggiat teater yang turut hadir, untuk tertawa terpingkal-pingkal sehingga memberikan hiburan yang berarti di dua malam yang dingin itu.(*)



Dok. Iqbal



*Kritik Pementasan ini ditulis oleh Ramoun Apta, Penyair dan alumni jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Monday, September 28, 2015

Festival Bahasa dan Sastra Indonesia







I.                   PENDAHULUAN

Bahasa Indonesia sebagai salah satu poin dalam Sumpah Pemuda, merupakan manifestasi dari rasa persatuan dan kebangsaan rakyat di bawah payung negara Indonesia. Ia lahir bukan semata berdasarkan tuntutan akan perlunya sebuah bahasa negara, melainkan juga sebagai upaya mempersatu, sebagai identitas bersama yang memungkinkan terlahirnya kebanggaan dan rasa cinta terhadap negara. Maka dari itu, memahami bahasa Indonesia adalah sebuah keharusan bagi setiap warga negara Indonesia, demi memperkokoh semangat dan identitas kebangsaan Indonesia.
Di masa kini, ketika globalisasi kian tidak terkendali dan batas-batas antar-negara di dunia semakin diminimkan, setiap warga negara perlu untuk memperkuat identitas bangsa. Dengan menunjukan diri dalam laku berbahasa, rakyat akan menjadi solid dan terus terasah rasa satu nasib satu sepenanggungan. Dengan begitu, bangsa akan memiliki pijakan yang kokoh dalam menghadapi peleburan tidak terkendali yang dituntut zaman hari ini, bisa terhindar dari serangan kelatahan identitas yang banyak terjadi hari ini di berbagai belahan dunia.
Upaya pengokohan identitas bahasa ini, salah-satunya, telah dilakukan sejak dulu oleh para penulis sastra. Lewat media sastra, bahasa dikembangkan sedemikian rupa. Bahasa Indonesia terus diperbarui, dicari bentuk dan pola baru, sehingga memungkinkan terjadinya pematangan identitas bahasa Indonesia. Telah banyak perkembangan yang terjadi dalam struktur kebahasaan Indonesia, dan itu sebagian besarnya dihasilkan dari imajinasi dan laku kreatif para penulis sastra. Para penulis sastra, umumnya, terus menghasilkan diksi-diksi baru, metafora-metafora atau istilah-istilah yang pemaknaannya segar, yang dengan itu menjadikan bahasa Indonesia semakin kaya, semakin kompleks akan kosakata.
Beranjak dari ini pulalah, maka dirasa perlu peran sastra secara terus-menerus demi kepentingan pengembangan bahasa Indonesia. Regenerasi para khalayak, terutama penulis sastra tampak menjadi jawaban atas kebutuhan ini. Regenerasi di sini maksudnya, suatu keadaan di mana tradisi membaca karya sastra dan menulis karya sastra ramai diminati oleh masyarakat, terutama di kalangan anak muda. Sebagai generasi emas bangsa, di sinilah anak muda memiliki peran sungguh penting bagi pembangunan identitas bangsa. Lewat sastra, generasi muda ini mesti berperan dalam memperkaya bahasa Indonesia, sekaligus menumbuhkan kesadaran akan keindonesiaan, akan nasionalisme, rasa memiliki atas bangsa dan negara.
Sayangnya, kondisi yang berkembang dewasa ini, jauh dari apa yang diharapkan. Hari ini, posisi bahasa Indonesia bisa dibilang terancam, oleh berbagai faktor. Di samping kurangnya minat para siswa sekolah terhadap pelajaran bahasa Indonesia, kemunduran bahasa juga turut digalang oleh sikap pemerintah yang secara tidak langsung telah merendahkan martabat bahasa Indonesia itu sendiri. Hal ini tampak dari kebijakan terbaruu Presiden Republik Indonesia yang begitu saja menghapus bahasa Indonesia dari daftar syarat melamar pekerjaan bagi warga negara asing. Ditambah lagi dengan kurangnya tradisi membaca dan menulis karya sastra di kalangan siswa/siswi sekolah, membuat pelajaran bahasa dan wawasan sastra semakin terlihat tidak memiliki posisi dalam membangun bangsa.
Dari keprihatinan semacam ini, perlu kiranya para ahli, ilmuan/akademisi turut ambil bagian dalam membenahi kondisi kurang sehat tersebut. Para ahli bahasa atau akademisi yang berkutat dalam bidang ini mesti mengambil inisiatif dan jalan keluar yang tepat, salah-satunya dengan cara turun langsung ke masyarakat, mengembangkan tradisi membaca dan menulis karya sastra, menumbuh-kembangkan perhatian para anak muda terhadap bahasa Indonesia, terhadap pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah yang ada.
Beranjak dari kesadaran tersebut, HMJ Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas ingin menunjukkan peran dalam membangun bahasa dan dunia sastra Sumatera Barat dengan mengadakan kegiatan “Festival Bahasa dan Sastra Indonesia”. Kegiatan ini merupakan sebuah usaha strategis dalam menggairahkan minat para pelajar terhadap pelajaran Bahasa Indonesia, juga terhadap iklim sastra di Sumatera Barat. Kegiatan ini juga termasuk upaya pengenalan, sebuah upaya mempopulerkan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di perguruan tinggi, khususnya di Universitas andalas.
Kegiatan Pekan “Festival Bahasa dan Sastra” ini merupakan bentuk perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi, dan sekaligus sebagai usaha sosialisasi dalam mendorong minat generasi muda Sumatera Barat mendalami bahasa dan minat terhadap karya sastra.

Ketentuan Umum :


  • ·Siswa atau siswi SMA/SMK/MA /sederajat se-Sumbar.
  • Setiap sekolah boleh mengirimkan lebih dari satu kandidat/tim untuk masing-masing bidang lomba.
  •  Peserta suatu bidang lomba tidak boleh merangkap sebagai peserta di bidang lomba lainnya. 
  • Pendaftaran dilakukan melalui e-mail ke: hmjsasindo_unand@yahoo.com dan melalui sms ke nomor panitia yang tercantum pada ketentuan masing-masing lomba.
  • Pendaftaran atau pengiriman karya dilakukan selambat-lambatnya tanggal 17 Oktober 2015. 
  • Biaya pendaftaran dikirim ke nomor rekening: 2102-0210-19053-9 (Bank Nagari, a/n, HMJ Sastra Indonesia Unand). 
  • Panitia tidak menanggung biaya akomodasi perjalanan para peserta yang akan menghadiri acara pada tanggal 29 Oktober 2015 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang. 
  • Juri terdiri dari akademisi, sastrawan, seniman dan budayawan yang berpengalaman di bidangnya.




Ketentuan Khusus Lomba Cipta Puisi:

  • · Tema bebas.
  •  Lomba bersifat individu.
  •  Puisi merupakan karya asli, bukan jiplakan.
  •  Setiap peserta mengirimkan satu puisi terbaiknya.
  •  Panjang puisi tidak dibatasi.
  •  Setiap peserta melakukan pendaftaran dengan cara mengirimkan naskah puisi, surat pernyataan originalitas karya, biodata diri, beserta asal sekolah ke e-mail panitia.
  •  Biaya pendaftaran Rp, 25.000/peserta dan konfirmasi melalui sms ke panitia (Roby Satria: 081272299090).
  •  Pemenang diumumkan melalui sms pada tanggal 25 oktober 2015.
  •  Pemenang I, II, dan III diharapkan hadir pada tanggal 29 Oktober 2015 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas untuk penerimaan hadiah.




Ketentuan Khusus Lomba Karya Tulis Ilmiah:
  • ·Tema: Fenomena Bahasa dalam Pergaulan Remaja.
  •  Hasil karya bersifat orisinil.
  •  Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar (menurut EYD.
  •  Naskah memuat unsur-unsur karya ilmiah seperti latar belakang, masalah, tujuan, manfaat, kajian pustaka, landasan teori, metode penelitian (bila merupakan hasil penelitian), pembahasan, kesimpulan, dan saran.
  •  Karya tulis harus memuat sumber rujukan (daftar pustaka) dari hasil penelitian berupa skripsi, tesis, disertasi, atau jurnal (minimal satu) dan buku teori (minimal tiga) baik cetak maupun e-book.
  •  Jumlah halaman naskah minimal 4 halaman dan maksimal 7 halaman.
  •  Menggunakan 2 spasi, margins atas 4 cm, kiri 4 cm, kanan 3 cm dan bawah 3 cm.
  •  Peserta mengirimkan satu rangkap copy naskah, surat pernyataan originalitas karya. beserta nama dan alamat sekolah ke e-mail panitia, dan sms konfirmasi ke nomor: 08982684953 (Sabrina Indah Sari).
  •  Biaya pendaftaran sebesar Rp, 35.000/ peserta.
  •  10 karya terbaik dimumkan tanggal 25 oktober 2015 dan akan dipresentasikan di Fakultas Ilmu Budaya Unand pada tanggal 29 Oktober 2015, untuk penentuan  pemenang.




Ketentuan Khusus Olimpiade Bahasa Indonesia (Lomba Penyelesaian Soal-soal Bahasa):

  • · Lomba bersifat individu.
  •  Setiap peserta melakukan pendaftaran dengan cara mengirimkan biodata lengkap beserta asal sekolah melalui e-mail atau sms ke panitia (Annisa Irfayuli: 081277634226.
  •  Biaya pendaftaran Rp 35.000/orang dan konfirmasi melalui sms ke panitia.
  •  Peserta melakukan registrasi ulang di lokasi acara pada tanggal 29 Oktober 2015 dengan membawa bukti pembayaran.
  •  Masing-masing peserta membawa papan dan rol abo, pensil 2B,  dan penghapus.
  •  Peserta menyelesaikan soal-soal-soal  Bahasa Indonesia Umum yang di sediakan oleh panitia dengan durasi waktu 100 menit.
  •  Pemenang diumumkan langsung pada tanggal 29 Oktober 2015.




Ketentuan Khusus Lomba Cipta Cerpen:


  • ·Tema cerpen bebas.
  •  Lomba bersifat individu.
  •  Setiap peserta mengirimkan satu karya terbaiknya.
  •  Peserta mengirimkan satu rangkap copy naskah cerpen, surat pernyataan originalitas karya, beserta nama dan alamat sekolah ke e-mail panitia.
  •  Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar (menurut EYD).
  •  Jumlah halaman naskah minimal  4 halaman dan maksimal 7 halaman.
  •  Menggunakan 2 spasi, margins atas 4 cm, kiri 4 cm, kanan 3 cm dan bawah 3 cm.
  •  Biaya pendaftaran Rp, 25.000/peserta dan konfirmasi melalui sms ke panitia (Iffah Zahra: 081364454029).
  •  Pemenang diumumkan melalui sms pada tanggal 25 oktober 2015.
  •  Pemenang I, II, dan III diharapkan hadir pada tanggal 29 Oktober 2015 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas untuk penerimaan hadiah.  




Ketentuan Khusus Lomba Musikalisasi Puisi:


  • ·Tim musikalisasi maksimal terdiri dari 5 personil.
  •  Tema puisi yang akan dibawakan bebas asalkan merupakan hasil karya penyair Indonesia.
  •  Tim peserta melakukan pendaftaran dengan cara mengirimkan naskah puisi yang akan dibawakan beserta nama grup, nama-nama personil, dan asal sekolah ke email  panitia atau sms ke: 081266468092 (Fatma Darmila).
  •  Biaya Pendaftaran 50.000/tim.
  •  Seluruh teks puisi menjadi syair lagu, tetapi tetap terdapat unsur pembacaan puisi baik sebagai backsound maupun selingan lagu.
  •  Musik merupakan aransemen sendiri.
  •  Durasi pementasan setiap grup maksimal 10 menit.
  •  Tim musikalisai yang sudah terdaftar akan mengambil nomor undian pada saat registrasi ulang pada tanggal 29 Oktober di Fakultas Ilmu Budaya. Unand.



(Infokom HMJ Sasindo Unand)

By HMJ Sasindo Unand with No comments