MENOLAK YANG SAKRAL

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas menyelenggarakan acara “Diskusi Kopi Sakarek” di lesehan Balairuang FIB Unand, (Kamis 06/11/2014)[...]

Refleksi Hari Pahlawan (Liputan Padang TV)

Perayaan Hari Pahlawan selama ini sebatas agenda tahunan berbagai instansi, baik pemerintah maupun pendidikan, tanpa menyentuh esensi dari nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri[...]

SLIDE-3-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

If you are going [...]

SLIDE-4-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

SLIDE-5-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

Sunday, May 10, 2015

Sekadar Catatan atas Acara "Hari Puisi"

Puisi dan Kesunyian yang Tajam





Jumat siang, 8 Mei 2015, pukul 14.00 WIB. Sekitar tujuh orang laki-laki duduk di selingkar panggung dan tribun Medan Nan Balinduang FIB-Unand. Waktu istirahat siang baru saja selesai. Kini tiba waktu  mengaktifkan soundsystem, menyetel bunyi, dan menyambut kedatangan tamu, baik yang datang dari luar FIB, maupun dari dalamnya. Itulah jadwal yang telah direncanakan sebagai waktu pembuka acara “Hari Puisi” yang diinisiasi oleh beberapa mahasiswa Sasindo, sebagai upaya penghadiran bentuk baru bagi kegiatan perayaan “Hari Chairil” yang rutin dilakukan HMJ di tahun-tahun lewat pada 28 April 2015. Dan sebuah kebahagiaan hadir, sebab yang telah duduk dan sebagian lagi mengecek microfon di sekitar Medan Nan Balinduang saat itu tidak saja mahasiswa Sastra Indonesia, melainkan juga kawan-kawan mahasiswa jurusan ‘sebelah’ di FIB. Kawan-kawan ini hadir dan membantu mempersiapkan yang perlu, barangkali dalam upaya mempertegas solidaritas antar-jurusan di FIB.
Saya hadir di situ (sebagai penggagas sekaligus penanggungjawab acara), memerhatikan langit terus mendung dan merasakan gelagat acara akan terlambat mulai, sebab belum ada tanda-tanda kedatangan orang-orang yang telah diundang, (kecuali hanya dua orang kawan dari UNP). Maka jadilah saya dan kawan-kawan itu terus mengutak-atik gitar, microfon, dan membetulkan dekorasi yang sedikit tidak pas di mata.
Hingga masuk pukul 14.30 WIB, dan keadaan masih serupa. Saya dan kawan-kawan berinisiatif memulai, terserah berapa mata yang akan memandang. Seorang kawan segera turun ke lingkungan PKM FIB (sekitaran Kafe Uniang Kamek), menginformasikan pada kawan-kawan di sana bahwa acara akan dimulai dengan nada ajakan. Seorang lagi kawan mencoba mengajak satu-dua alumni yang datang, untuk merapat. Dalam waktu bersamaan, saya memberi tahu Pembina HMJ, dan menemui Ketua jurusan untuk meminta beliau membuka acara. Jadilah acara dimulai, dengan beberapa mahasiswa dan alumni yang telah duduk di tribun, dan satu-dua tampak berdatangan. Dan setelah MC, saya adalah yang pertama tegak di panggung sebagai penanggungjawab acara, mewakili panitia yang telah ditunjuk namun banyak belum datang, menyampaikan sedikit hal menyangkut konsep acara, landasan pemilihan tema “Puisi dalam Zaman”.
Acara berlanjut dengan sepatah kata sekaligus pembacaan puisi pertama oleh bapak Ketua jurusan. Lewat tuturan singkat beliau, saya dan kawan-kawan mengiyakan, bahwa tidak banyak yang datang dan betapa itu belum sesuai dengan yang diharapkan—yang kemudian mengindikasikan betapa acara belum terorganisir dengan baik. Waktu itu, saya pribadi mengakuinya, dan menjadi resah seketika. Syukur, pembacaan puisi “Huesca” dari Bapak Gusdi cukup bertenaga untuk meredam kegelisahan saya itu. Setelah beliau turun panggung, saya melihat lagi ke sekeliling. Dan benarlah, betapa sepinya acara itu. Barangkali “Hari Puisi” ini hanya disaksikan oleh kurang dari dua puluh orang. Gelisah saya nyatanya tak  hilang.
Saya mencoba mengingat-ingat lagi ke belakang. Ke masa persiapan “Hari Puisi” sejak dua minggu sebelumnya. Dengan ruang gerak tertentu, saya sepenuhnya telah menunjuk kawan-kawan mahasiswa Sasindo angkatan 2014 untuk melaksanakan acara. Sengaja saya limpahkan kepada kawan-kawan itu, demi terbiasanya mereka dengan hal-hal yang berkaitan dengan sebuah acara (konsep, teknis). Namun kata ‘sepenuhnya’ di atas akhirnya tidaklah terealisasi. Saya jadi turut serta mengonsep, turut serta mencari gambaran bentuk, dan teknis-teknis lainnya. Bahkan di H-1 acara, sungguh, saya terlalu mendominasi dalam proses penyiapannya. Saya berpikir tidak ada masalah berarti, terlebih menyangkut sosialisasi kegiatan. Publikasi sudah berjalan, dan barangkali hanya segelintir (kalaupun ada) kawan-kawan Sasindo yang tidak mendapatkan informasi acara. Maka tinggal menunggu hari berganti dan acara akan berjalan dengan ‘aman’.
Jumat siang ternyata berwujud lain. Sesuatu yang saya anggap sebelumnya tidak jadi masalah kini tampak sebagai sesuatu yang begitu riskan. Saya tahu bahwa sebagian panitia sedang ada jadwal survei lapangan untuk mata kuliah. Namun saya tidak mempermasalahka itu karena saya pikir itu hanya beberapa orang, dan tidak terlalu banyak tenaga yang dibutuhkan selama acara. Tentu yang paling dinanti adalah kehadiran kawan-kawan 2014 yang lainya, dan keseluruhan mahasiswa Sasindo untuk meramaikan, dan kalau perlu ikut tampil membaca puisi. Namun kehadiran inilah yang terasa jauh di mata, waktu itu. Saya terus menunggu, sampainya serombongan kawan mahasiswa yang jadwal kuliahnya bersedia dipindahkan ke lokasi acara. Juga sembari menata-membongkar dan menata-membongkar kembali daftar penampilan yang memang juga belum terorganisir dengan maksimal. Jadilah acara diisi oleh sebagian penampilan terencana dan sebagian penampilan spontan.
Saya menyorot persoalan ini bukan untuk mengeluhkan apa atau siapa. Sesungguhnya ini sengaja saya sisipkan demi mencoba mengkontruksi pemikiran saya dan barangkali juga kawan-kawan lain, mengenai kurang dan lebih, tepat atau tidak sesuainya kegiatan-kegiatan HMJ Sasindo. Maksudnya di sini, saya lebih ingin melihat realitas secara umum dan hari ini di Sasindo, terutama menyangkut ‘puisi-berpuisi’. Melihat tidak banyak bertambahnya audiens yang hadir selama satu jam acara berlangsung, maka evaluasi seketika perlu dilakukan, setidaknya dalam diri pribadi. Sebuah pertanyaan awal mengawang: mengapa kali ini begitu sunyi? Kenapa acara ini tidak bisa ramai, setidaknya oleh mahasiswa Sasindo. Dan jawaban awal saya: karena acara ini belum bisa menarik minat banyak orang. Lantas saya mesti bertanya: jika tidak menarik, seperti apakah acara mesti dikemas hingga menjadi menarik dan menggugah minat semua orang? Selanjutnya, saya tidak bisa membendung tanya, perlukah mahasiswa Sasindo ‘dibuatkan’ dulu acara menarik untuk mereka, baru kemudian mau datang dan berpartisipasi? Dan pertanyaan penutup saya, seperti apakah acara/ kegiatan yang kita minati sesungguhnya?
Saya teringat beberapa hari yang lalu, ketika mahasiswa FISIP mengadakan acara musik di DPR (depan FIB-FISIP) Unand. Pelaksananya adalah mahasiswa FISIP angkatan 2014, sebagai bentuk kesolitan bersama per-angkatan, dengan semboyan acara “Orange-kan Senja”. Sungguh sebuah acara yang meriah, terbukti dengan berjubelnya hadirin hingga memasuki waktu Magrib. Sepanjang acara itu, keriuhan tercipta, lewat penampilan-penampilan musik oleh pemusik, grup-grup musik yang ada di sekitar dan di luar Unand. Semua hadirin merasa rileks, dan bisa berdiri dengan sumringah, menikmati keramaian, sambil menyimak ritme musik. Tentu saja, saya dan kawan-kawan di Sasindo turut meramaikannya.
Kini berbalik ke “Hari Puisi”. Sungguh serasa sedih untuk dibandingkan dengan kegiatan FISIP itu. Meskipun pembandingan semacam itu sebenarnya tidaklah begitu perlu. Hari Puisi sama sekali berbeda dalam hal konsep. Di sini tidak ada musik-meriah, sebagaimana di DPR itu. Tidak ada semboyan tertentu, tidak ada pula daftar aksi panggung tertentu. Sokongan utama acara ini adalah ide-nya. Termakhtub dalam tema, dengan maksud, melihat dan membicarakan puisi, menyangkut posisi atau ruang geraknya dalam kehidupan hari ini. Itulah ide acara, dan penampilan-penampilan (meski tidak semua), diarahkan untuk menampilkan wajah puisi itu, baik lewat musik, orasi spontan, maupun pembacaan puisi. Juga, acara ini sedianya adalah usaha menghadirkan moment-moment tertentu bagi mahasiswa Sasindo dan FIB secara umum untuk merasa sangat dekat dengan puisi. Dari ide ini, tampak acara tidak berbentuk selebrasi yang meriah, teriakan-teriakan kegembiraan yang berlebihan, ataupun gerak tubuh yang kesenangan dengan getar musik. Acara ini sejatinya hening, namun bukan sunyi. Hening di sini bermakna kekhsyukan dalam melihat, membaca, dan berpikir tentang eksistensi puisi, yang sedapat mungkin pada akhirnya membawa kita melihat pada sisi kedirian kita. (maafkan untuk bahasa yang agak aneh ini).
Sayangnya, belum begitu ramai yang terlibat dalam “Hari Puisi” kali ini. Dan barangkali ini memberi jalan evealuasi lanjut bagi saya, dan kawan-kawan di HMJ. Barangkali ada yang salah dalam persiapan, atau ada yang belum maksimal dikerjakan. Entahlah. Namun menurut hemat saya, informasi hari ini sangat lancar penyebarannya dan nyaris tidak masuk akal jika itu menjadi kendala utama dalam kekurang-maksimalan acara. Setidaknya bagi kawan-kawan di Sasindo sendiri. Bahkan sebelum muncul era digital ini, orang-orang bisa berkomunikasi dan saling berbagi informasi dengan memadai. Dan itu untuk sementara membawa saya pada asumsi yang ragu-ragu memunculkan diri. Asumsi yang hadir sekaligus menjadi pangkal kegelisahan saya adalah, mungkin saja puisi terlihat kurang efisien dibicarakan hari ini, dibandingkan kemelut politik, isu olahraga, inovasi digital, dan lain sebagainya. (maafkan juga untuk asumsi ini).
Pukul 17.00 WIB, setelah satu jam sebelumnya puisi ‘diorasikan’ oleh salah seorang redaktur sastra yang diundang, “Hari Puisi” segera selasai. Dan kawan-kawan yang jumlahnya tidak banyak itu bersepakat melepas sunyi dan rasa dingin senja dengan sedikit sentuhan reagee. Dan tiba pula waktu bagi panitia berpikir, berapa banyak teknis yang harus dibenahi? (*)



*Andesta Herli

By HMJ Sasindo Unand with 2 comments

Sunday, May 3, 2015

PSIKIS NAYLA; SEORANG PENULIS DALAM CERPEN KOSONG KARYA DJENAR

Gambar: Google

Nayla merupakan tokoh utama dalam cerpen Kosong, yang dikarang oleh Djenar Maesa Ayu. Dalam kesehariannya, Nayla lebih suka berada di tempat yang tenang. Biasanya Nayla duduk di warung kopi yang memiliki suasana nyaman, tidak hiruk-pikuk seperti warung-warung lainnya. Di warung tersebut, Nayla hanya ditemani oleh segelas kopi dan lembaran kosong. Beberapa batang rokok pun tak luput dari hisapannya, hingga asbak yang ada di atas mejanya telah terisi penuh oleh abu-abu rokok. Nayla baru beranjak dari warung itu ketika malam hari, saat warung itu mau tutup.
            Djenar menjadikan Nayla sebagai tokoh yang berprofesi sebagai seorang penulis. Hal ini tampak pada cerpen yang menceritakan bahwa, Nayla lebih suka menyendiri dengan lembaran kertasnya, dari pada bergabung dengan sahabat-sahabatnya. Dia memiliki ketakutan, sikap yang ragu-ragu, serta jenuh dalam dirinya. Oleh karena itu, dia memilih untuk menyendiri di tempat yang tenang dan nyaman. Di tempat seperti itu lah, dia bisa berfikir dan memecahkan masalah dalam dirinya tadi. Sikapnya yang memilih untuk tidak berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, membuat sahabat-sahabatnya bertanya. Mengapa Nayla suka mengunjungi kedai kopi itu? Jawaban yang diberikan Nayla adalah, karena suasananya enak untuk menulis. Psikologis Nayla dan sahabat-sahabatnya ini tampak jelas berbeda.
            Manusia dalam dunia psikologi dibedakan menjadi dua, pertama manusia yang memiliki kepribadian yang terbuka, yang kedua manusia yang memiliki kepribadian tertutup. Seseorang yang memiliki kepribadian terbuka, sangat mudah untuk membagi masalahnya dengan orang disekitarnya, seperti dengan keluarga dan sahabatnya. Sedangkan seorang yang memiliki kepribadian tertutup, sangat sulit untuk membagi masalahnya dengan orang-orang disekitarnya, dan orang ini lebih suka memendam masalahnya sendiri. Jika dilihat pada Nayla, dia termasuk orang yang memiliki kepribadian yang tertutup. Karena kebiasaannya yang memilih untuk menyendiri di warung kopi, dari pada berkumpul dengan sahabat-sahabatnya.
Seorang manusia yang hidup dan tinggal di antara manusia lainnya, suatu saat akan merasakan kehidupan yang kosong, hampa, dan sunyi. Manusia ini akan mengasingkan dirinya sendiri di suatu tempat. Walaupun di sekitarnya ada saudara dan temannya, tempat dia berbagi duka maupun suka di kehidupannya. Selama pengasingan dirinya ini, dia akan merasa, berfikir, dan merenungkan kehidupannya. Dia merasakan betul kesunyian-kesunyian yang mengisi hari-harinya. Dia berfikir tentang, bagaimana sesungguhnya potret kehidupan yang dia jalani. Dia juga merenungkan, mengapa dia merasa kekosongan dalam hidupnya. Walaupun begitu, dia tetap berusaha untuk mengisi kekosongan-kekosongan kehidupannya itu. Dia akan mengisi kesunyiannya dengan berbagai hal yang bisa membuatnya merasa lebih hidup. Kadang kala dia berfikir, tidak mungkin dia lakukan semua ini, karena itu tidak akan berhasil mengisi hari-harinya.
Cerpen yang berjudul Kosong ini, menceritakan tentang sorang pengarang, yang sulit untuk berbagi pikiran dengan orang lain. Dia sulit membagi apa yang dipikirkannya dengan orang lain, walaupun dia bisa membaginya, orang lain itu yang justru sulit untuk memahami apa yang dimaksudkannya. Oleh karena itu, dia lebih suka menuangkan apa yang dipikirkannya itu ke dalam sebuah kertas, yang berupa tulisan. Dengan begitu, dia merasa terbebas dari komentar-komentar orang lain terhadap apa yang dipikirkannya. Dengan tulisan itu pun, orang lain akan mudah memahami apa yang dipikirkannya. Begitulah gambaran singkat yang diceritakan Djenar dalam cerpen Kosong.
Djenar Maesa Ayu merupakan seorang pengarang perempuan Indonesia, yang lahir pada tanggal 14 Januari 1973 di Jakarta. Ia telah menerbitkan empat kumpulan cerpen yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendenk Tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, dan sebuah novel yang berjudul Nayla. Kumpulan cerpen T(w)itit! Adalah buku keenam Djenar. Selain menulis, Djenar juga menyutradarai film Mereka Bilang, Saya Monyet! (2008) dan SAIA (2009). Ia mendapat Piala Citra dari kategori Skenario Adaptasi Terbaik bersama Indra Herlambang, dan sebagai Sutradara Baru Terbaik pada Festival Film Indonesia 2009.
Dalam cerpen Kosong ini, Djenar menggambarkan bagaimana diri seorang pengarang melalui tokoh Nayla. Dia (Djenar) menempatkan pengarang dalam posisi yang memiliki kperibadian tertutup, seperti yang telah dibahas di awal tadi. Memang kebanyakan atau rata-rata dari pengarang, memiliki kepribadian tertutup. Mereka cendrung memilih kehidupan yang nyaman dan tenang. Karena mereka membutuhkan ketenangan itu, untuk menghasilkan sebuah karangan yang bisa diterima di dalam masyarakat. Namun, ada kalanya seorang pengarang membutuhkan tempat untuk berdiskusi. Agar wawasan yang didapatnya lebih banya, dan mudah menemukan ide-ide baru yang akan dituliskan.
Diskusi memang sangat membantu dalam kepegarangan. Tetapi dalam cerpen ini, Djenar lebih menekankan pada kesendirian. Kesendirian yang lambat laun akan memunculkan ide-ide untuk dituliskan, dan menjadi sebuah tulisan walaupun tanpa melakukan diskusi dengan orang-orang disekitar. Tetapi, walaupun begitu, kita perlu wawasan dan pengetahuan yang tinggi agar bisa menghasilkan sebuah tulisan. Kita perlu banyak membaca, agar ketika diri kita sendiri, kita dengan mudah menemukan ide, dan jarang menemukan masalah atau kendala dalam menuliskan tulisan.

Terbit di Singgalang Minggu, 21 Desember 2014
Penulis: Weni Gusnita, Mahasiswi Sastra Indonesia Unand
Anggota Tubuh Jendela

By HMJ Sasindo Unand with No comments