MENOLAK YANG SAKRAL

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas menyelenggarakan acara “Diskusi Kopi Sakarek” di lesehan Balairuang FIB Unand, (Kamis 06/11/2014)[...]

Refleksi Hari Pahlawan (Liputan Padang TV)

Perayaan Hari Pahlawan selama ini sebatas agenda tahunan berbagai instansi, baik pemerintah maupun pendidikan, tanpa menyentuh esensi dari nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri[...]

SLIDE-3-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

If you are going [...]

SLIDE-4-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

SLIDE-5-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

Sunday, April 12, 2015

Sehimpun Kisah Tentang Perempuan - Resensi oleh Khairy Raif Thaib

DATA BUKU

Judul                  : Satu Hari yang Ingin Kuingat
Penulis               : Yetti. AKA
Penerbit             : UNSA PRES
Cetakan             : Pertama, Agustus, 2014
Tebal Halaman  : 110 halaman
Peresensi           : Khairy Ra’if Thaib




Yetti A.KA merupakan salah seorang penulis cerita pendek produktif yang dimiliki Indonesia saat ini. Yetti A.KA telah banyak menghasilkan cerpen yang dipublikasikan di media masa lokal, maupun nasional. Ia juga telah menerbitkan lima kumpulan cerpen sejak tahun 2004. Kumpulan cerpennya yang berjudul Kinoli masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2013. Kumpulan cerpen Satu Hari yang Ingin Kuingat (UNSA PRES, Agustus 2014) ini tak jauh beda dari kumpulan cerpen yang pernah ditulis Yetti sebelumnya, yakninya cerita yang menjadikan perempuan sebagai objek yang dieksplorasi. Membaca buku yang setebal 101 halaman ini kita dihadapkan dengan persoalan hidup perempuan. Perempuan-perempuan yang hidupnya tidak bahagia, perempuan yang selalu tertipu oleh senyum manis laki-laki, perempuan yang selalu ditinggalkan, dan perempuan yang teraniaya.

Dalam cerpen Kupu-kupu Tanalia, Yetti menggambarkan bagaimana keinginan Tanalia, seorang anak kelas lima SD untuk memelihara kupu-kupu dalam kamarnya. Tapi Masya, ibunya malah melarang. Padahal ia sangat suka kupu-kupu dan baginya kupu-kupu adalah teman yang baik. Cerpen ini bukan hanya berbicara masalah kupu-kupu. Tapi bagaimana cara Yetti mengekspos keluguan seorang anak kecil sebagai konflik cerita. Masya sebenarnya tidaklah melarang Tanalia memelihara kupu-kupu hanya karena ia tak suka kupu-kupu. Melainkan lebih karena masa lalunya. Seorang lelaki penyuka kupu-kupu yang mengaku datang dari hutan menitipkan benih kupu-kupu di rahim Masya. Dan kupu-kupu itu terlahir sebagai Tanalia. Perempuan di sini ialah perempuan yang ditinggalkan, sekaligus disakiti. Eksploitasi tentang kesakitan perempuan juga terdapat dalam cerpen Ia yang Menyimpan Api di Dadanya. Ketika berumur lima belas tahun, tubuh Maura sering digerayangi oleh ayah dan kakak laki-lakinya. Ketika itu Maura tidak dapat melawan. Ia takut. Waktu itu pula ia sering dipukul oleh ibunya dengan tangkai sapu karena ia sering memecahkan gelas. Setelah ia menikah ia malah diperlakukan tidak baik oleh suaminya: diperkosa, dipukul, dan dituduh yang tidak-tidak. 

Berbeda lagi dengan cerpen Satu Hari yang Ingin Kuingat, seorang perempuan ditinggalkan kekasihnya hanya karena perempuan itu meminum jus melon. Cerita ini disampaikan Yetti dengan penuh teka-teki sehingga membuat pembaca selalu menanti kalimat selanjutnya. Sedangkan pada cerpen Hati Milia, Yetti bercerita tentang bagaimana ketidakbahagiaan Milia, seorang istri yang suaminya terseret kasus korupsi negeri ini. Wajah suami Milia sering muncul di televisi dan ini membuat Milia harus memutus kabel televisinya supaya tidak bisa ditonton oleh anak-anaknya. Ia juga tidak bisa keluar rumah dan anak-anaknya tidak bisa ke sekolah. Dan perempuan di sini tidak hanya berkutat dengan masalah ketidakbahagiaan dirinya, tapi juga masalah malu. (*) *Ditulis oleh : 

Tulisan ini pernah terbit di Koran Singgalang Minggu, Desember 2014.

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Membaca-Mencerna Mitos, Nilai, Adat, dan Hari Kini --- Resensi oleh Andesta Herli

DATA BUKU
Judul                           : Hikayat Bujang Jilatang
Penulis                         : Afri Meldam
Penerbit                       : AG Litera
Cetakan                       : Pertama, 2014
Tebal Halaman            : 163 hlm
Peresensi                     : Andesta Herli



Buku “Hikayat Bujang Jilatang” adalah sehimpun cerita yang ditulis Afri Meldam pada kurun beberapa tahun silam, yang beberapa judul telah pernah dipublikasikan di beberapa media massa. Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini semuanya bercerita tentang mitos, nilai, dan kebiasaan lokal masyarakat Sumatera Barat secara umum. Akan tetapi, jika mau melihat lebih tepat lagi, lokal di sini mengacu pada daerah Sumpur Kudus, Sijunjung, daerah asal Afri Meldam sendiri. Dari tujuh belas cerita yang dihimpun dalam buku, kesemuanya bernafas dengan semangat tradisi lisan itu, yang dewasa ini menjadi begitu artistik. Hal ini adalah sebuah kecendrungan yang tidak baru lagi, sebab dalam perkembangan seni hari ini, semua orang berpacu menguras sari madu dari sesuatu bernama etnik, daerah. Sesuatu yang kemudian menjadikan kumpulan ini penting untuk disimak ialah tawaran kebaruan dari pengarang dalam menafsirkan kembali mitos, nilai atau kode sosial atau sekadar kebiasaan tertentu. Kedaerahan di sini dihadirkan tidak sekadar hadir dan menjadi pakaian belaka, melainkan dengan paradigma baru atau kemungkinan penafsiran baru.

Dalam “Anjing Pemburu”, misalnya, kita melihat sesuatu yang akrab dalam sebuah masyarakat di Sumatera Barat, yakni berburu. Dalam perjalanan berburu tokoh Sutan, diselipkanlah mitos-mitos, semisal larangan “meludah di pertemuan dua sungai, atau terkencing di dekat mata air”. Yang menarik di sini bukanlah mitosnya, namun usaha pengarang untuk mempertanyakan kebenaran, logis, masuk akal atau tidaknya mitos itu, dengan membangun peristiwa yang melaju secara alamiah, ada sebab yang bukan gaib. Begitu pula dalam cerpen “Cindaku”, di mana mitos yang telah lama beredar di sekitar masyarakat diberi perspektif baru yang sangat logis. Cindaku, sebagaimana kita tahu, adalah makluk yang mirip manusia, yang suka mencuri manusia dan membawanya ke alam gaib. Namun oleh Afri Meldam, lewat tokoh bernama Bujang Imbang, Cindaku tampak sebagai tipu-tipuan orang di masa lalu. Cerita Cindaku disebarkan hanya agar orang takut tidur larut, dan dengan begitu para penjahat bebas mencuri dan menjarah.

Dalam cerpen “Hikayat Bujang Jilatang”, pengarang dengan begitu meyakinkan menyebut daerah Sumpur Kudus.  Sedikit berbeda dari cerpen lain, Hikayar Bujang Jilatang adalah sebuah parodi, di mana tokoh yang sebenarnya bernama Zulfirman, ketika meninggal dunia – saking banyaknya dosa – ditendang oleh malaikat penjaga neraka sehingga secara tidak sengaja sampai ke surga. Dan sebuah keterkejutan akhir yang didapatkan dalam cerpen ini adalah ketika mengetahui bahwa kita sedang mendengar cerita dari ayah si Bujang Jilatang sendiri, yang telah bersembunyi dari identitasnya sebagai orangtua. Namun lagi-lagi, meskipun secara tema cerpen ini tidak mengangkat mitos-mitos, tetap saja kita disuguhkan selipan-selipan mitos, alur pikir terhadap mitos, dan ketidakmungkinan sebuah mitos, yang sedikit-banyak memacu kita untuk mempertanyakan kembali mitos-mitos di sekeliling kita.

Selain mitos, ada nilai-norma tak dan tatanan adat dalam masyarakat di daerah Sumpur Kudus yang coba diangkat-dibentang-regangkan oleh Afri Meldam. Seperti dalam cerpen “Angku Rajo Mudo”. Cerpen ini coba mengangkat pergeseran yang terjadi antara modern dan adat. Lewat tokoh Akmal, tampil modernitas yang tidak bisa hidup dalam tradisi. Lewat tokoh Mandeh, tampil adat yang ingin selalu dijunjung dan dinomorsatukan, serta betapa urgennya sebuah suku memiliki seorang datuk. Di sini tampak usah penulis untuk meletakan keduanya secara ideal. Adat memang perlu, tapi mesti disesuaikan dalam banyak hal. Dan modern adalah mesti, namun bukan berarti itu melupakan kaum yang telah terbangun. Selanjutnya dalam cerpen “Ke Lisun Datuk Kembali”, yang menjadi tema besar adalah nilai, sikap, dan tabiat masyarakat. Lewat tokoh seorang kaya, Datuk Rajo Ameh, penulis memaparkan kepada kita bagaimana manusia selalu memiliki sesuatu yang tersembunyi dan licik di balik senyum dan kebaikan kata. Hal yang ditemukan semua orang dalam kehidupan sehari-hari ini dialirkan dan didramatisir penulis, dengan mengatur Datuk Rajo Ameh kembali ke Lisun –  tempat awal ia memulai keberhasilan hidup – untuk hidup secara tenang dan miskin harta.


Secara keseluruhan, cerpen-cerpen dalam Hikayat Bujang Jilatang berpusat pada latar Sumpur Kudus. Hanya saja objek yang diaceritakan berbeda: kadang mitos, kadang tatanan adat, perbenturan antara semangat tradisi dan modern, sekadar tabiat atau perilaku masyarakat yang semua orang paham, tapi jarang dibicarakan apalagi dituliskan. Afri Meldam tampaknya memang secara penuh mempersembahkan menggantungkan energi karyanya pada segala yang berputar di lingkungan masyarakat asalnya. Namun meskipun yang tersebut selalu Sumpur Kudus, tapi saya percaya, siapapun yang ada di Sumatera Barat dan pernah merasakan lingkungan sosial yang tradisional atau semi tradisional sekalipun, tentu tidak asing dengan segala mitos, nilai, adat, atau perbenturan adat yang disuguhkan Afri Meldam, sebab secara tema, permasalahan yang dipaparkan Afri Meldam ini universal adanya, terlebih dengan mitos atau sastra lisannya.

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Kumpulan Puisi Ziarah Kemerdekaan; Sebuah Makam Sejarah - Resensi oleh Putra Metri Zwazo


Judul         : Ziarah Kemerdekaan
Pengarang : Muhammad Ibrahim Ilyas
Penerbit     : ARIFHA
Cetakan      : Februari 2015        
Tebal          :115 halaman
Peresensi    :Putra Metri Swazo




Ziarah Kemerdekaan adalah buku kumpulan puisi dari Muhammad Ibrahim Ilyas.Buku puisi Ziarah Kemerdekaan terbit bersamaan dengan dua buku lainya yaitu ,Enam Kuntum Imaji, dan Dalam Tubuh Waktu. Buku yang berisi 52 puisi- puisi Ibrahim Ilyas dari tahun 1979-2014 ini kalau dari judul, sepertinya kita akan diajak untuk “berziarah” atau mendatangi hal-hal yang berada di sekitar kita dan berkaitan dengan “kemerdekaan”.
Dalam Ziarah Kemerdekaan kita akan menemukan hal yang bersifat berlawan atau yang bersifat “paradoks”. Kita lihat pada puisi Dari Sekitar Kita,dikatakan pada bait pertama:

Seorang tetangga berkata:
“Saya kenyang!”
Padahal ia belum makan
Seorang lain berkata:
“Saya Lapar!”
Setelah menghabiskan sisa piring ketiga

Pada bait pertama tersebut, jelas disana dijelaskan bahwa ada sesuatu hal yang tidak seharusnya atau berlawan.Yaitu pada kalimat “Saya kenyang!”, Padahal ia belum makan.Mana mungkin seorang yang belum makan sekalipun bisa mengatakan bahwa ia sudah kenyang. Sama halnya dengan kalimat sesudahnya yaitu: “Saya lapar!”,Setelah menghabiskan sisa piring ketiga.
            Dan mungkin hal inilah yang sedang terjadi di negeri kita saat ini. Dimana, disaat negara kita sudah merdeka, sudah bebas dari zaman-zaman kegelapan yang telah lama membelenggu kita masih banyak juga kalangan yang masih belum merasakan bagaimana sebetulnya kemerdekaan itu, bagaimana sebuah kebebasan itu. Mereka mungkin bebas dari penjajahan secara fisik tapi sebetulnya mereka kembali terjajah oleh ketamakan orang-orang serakah yang tidak peduli dengan apa yang telah terjadi kepada orang-orang sekitarnya.
Dalam kumpulan ini, Ibrahim Ilyas ingin menyampaikan pesan, agar kita lebih peduli terhadap sesuatu yang tejadi di sekitar kita.Walaupun kita sekarang sudah hidup dalam keadaan tenang, tidak seharusnya kita lupa dengan sejarah bangsa kita serta dengan apa kemerdekaan itu dulunya direbut. Dan mungkin pesan inilah yang disampaikan pada puisi Dari Sekitar Kita pada bait kedua yang berbunyi:

Dari sekitar kita
Terkumpul catatan-catatan
Tersirat peringatan-peringatan
Seharusnya kita tak tertawa
Barangkali ada yang salah pada mata
Mungkin ada yang tak beres dalam hati
Kita memerlukan kaca mata,
Seperti kita perlu sinar matahari

            Pada puisi-puisi karya Ibrahim Ilyas dalam buku Ziarah Kemerdekaan ini juga menggunakan kata atau diksi-diksi yang apik. Bukan hanya indah tapi diksinya juga kuat. Contohnya saja pada puisi Catatan 6 Juni 2010 pada bait pertama:

Selagi mengajar muridmu tulis baca
Adakah di aortamu mengalir nyeri Palestina?
Satu rachel corie pergi,
Beribu cinta digilas tank Yahudi

            Kata nyeri dan digilas menurut saya adalah pemilihan diksi yang cukup kuat. Penulis ingin menuntut rasa kemanusiaan kita terhadap yang sedang dirasakan saudara kita dengan bertanya apakah rasa sakit mereka juga terasa oleh diri kita sendiri dan bagaimana rasanya cinta dan harapan mereka hancur remuk dilindas oleh kekejaman. Dan pada puisi ini kita juga menyadari bahwa,Ibrahim Ilyas tidak hanya menceritakan konflik dan permasalahan di negri sendiri tapi juga hingga keluar negri sana.Ibrahim Ilyas mengungkapkan bahwa tidak hanya di negri kita “Kemerdekaan” itu hilang atau bahkan tidak ada lagi tapi masih banyak lagi mereka diluar sana yang kemerdekaan mereka direnggut secara paksa.
Selain penggunaan diksi yang tepat,puis-puisi Ibrahil Ilyas juga banyak bermain dengan “rima”.Seperti puisi Catatan 6 Juni 2010,Gabak di Hulu,Karmina Anakku Anakmu dan masih banyak lagi.Tidak hanya indah untuk dibaca,puisi-puisi Ibrahim Ilyas juga tidak terlalu sulit untuk dipahami.

Yang menarik dari buku ini adalah, selain dari kata-katanya yang indah dan mudah dimengerti kita juga diajak pada kejadian-kejadian pada masa lampau yang mungkin sekarang sudah diacuhkan banyak orang. Sangat kreatif,dan pandai bermain kata-kata. Ada ajakan di sini, bahwa sejarah adalah bagian dari identitas negara kita, jangan sampai kita tidak tau atau kehilangan siapa kita sebenarnya.

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Antara Perjuangan, Perjalanan, dan Cinta - Resensi Oleh Siti Maulida


Judul buku                  : One By One Line By Line
Pengarang                   : Rusli Marzuki Saria
Penerbit                       : Kabarita
Tahun terbit                 : Mei 2014
Tebal buku                  : 328 hlm
Peresensi                     : Siti Maulida





Buku yang berjudul “One By One Line By Line” ini berisikan kumpulan puisi yang dibuat oleh Papa Rusli Marzuki Saria dari tahun 1960-an sampai tahun 2000. Buku ini disajikan dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris. Dalam menguraikan ide-idenya, Papa Rusli sanggup menguraikan kata-kata indah dan lembut dalam menyapa kaum perempuan yang membuat puisi di dalam buku ini semakin menarik untuk dibaca terutama oleh kaum perempuan. Dalam buku ini, Papa Rusli menyuguhkan puisi-puisi yang bertemakan percintaan. Seperti halnya di dalam kutipan puisi yang berjudul Kau dengarkah kiranya, Adikku manis.

Kau dengarkah kiranya, Adikku manis
Aku ragu. Apakah ini bayang-bayangku?
Di jalanan menggamit dan menunggu
Kau dengarkah kiranya adikku, manis
Wangian sedap malam angin mendesis
. . .
Dari kutipan puisi di atas terlihat bagaimana Papa Rusli merangkai kata-kata walau sederhana namun begitu terkesan romantis. Selain puisi yang bertemakan percintaan, puisi yang menceritakan tentang zaman perang pun disuguhkan dalam buku ini. Seperti yang terlihat dalam kutipan puisi yang berjudul Pantai Padang.

Pantai Padang
Pantai Padang. Bekas lubang
Pertahanan perang
Laut kaca diriku
Laut membisu – engkau tersedu
Di musim kemarau dulu. Kita
Anak-anak dengan senjata dan peluru
. . .
Di dalam puisi ini Papa Rusli menguraikan bagaimana situasi, perjuangan dan perasaan ketika melawan peperangan sampai perang berakhir. Selanjutnya Papa Rusli pun sanggup menghadirkan puisi perjalanan yang dikemas secara singkat namun mengandung banyak makna. Seperti yang kita lihat di dalam puisi yang berjudul Kuala Lumpur.
Kuala Lumpur
Aku belajar menaklukkan hutan-hutanmu
Ahai, kuala lumpur
Di puncak bukit paling tinggi
Memandang ke bawah
Bukit-bukit semen dan baja

Dalam puisi ini Papa Rusli menguraikan bagaimana kita berjuang dalam memperoleh sesuatu yang kita inginkan ketika di negeri orang yang dijelaskan dengan penggambaran yang mempunyai makna tak mudah dalam memperoleh sesuatu, perlu adanya perngorbanan yang begitu besar.

Buku ini bisa kita jadikan sebagai bahan bacaan yang layak untuk dibaca karena melalui buku ini kita dapat mengambil inspirasi untuk menciptakan sebuah karya yang kita inginkan. Buku ini juga berisikan tentang pengalaman yang mungkin saja memang benar-benar dialami oleh si penyairnya sendiri. Bahasa di dalam buku ini pun ringan yang dikemas dalam segudang makna yang tersimpan di dalamnya. Tak hanya mambaca, kita juga dapat mengambil pelajaran melalui makna yang terkandung dalam kumpulan puisi tersebut.

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Rumpun Diksi dan Masa Lalu Dalam Lipatan Kain - Resensi oleh Mahareta Iqbal Jamal



Judul Buku                  : Dalam Lipatan Kain
Nama Pengarang         : Esha Tegar Putra
Penerbit                       : Motion Publishing
Jumlah Halaman          : xiv + 132 halaman
Tebal Buku                  : 13,5 cm x 21 cm
Peresensi                     : Mahareta Iqbal Jamal





Kita terus belajar menjahit
untuk sesuatu yang kelak akan terus sobek.

            Begitulah bunyi sepenggal bait dari puisi Berkelakar Sendiri, Terbenam Sendiri karya Esha Tegar Putra, Alumni Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, yang beberapa hari lalu baru saja meluncurkan buku kumpulan puisi keduanya yang berjudul Dalam Lipatan Kain di salah satu kafe di Kota Padang. Penantian para penggemar Esha akan puisi-puisinya nan memagut hati hingga memaksa rindu untuk segera pulang ke rumah bertemu dengan orang tercinta, akhirnya tertuntaskan sudah berkat lahirnya buku ini. Puisi-puisi yang pernah terbit di berbagai media massa, baik media massa lokal maupun media massa nasional, semua sudah terangkum menjadi satu di Dalam Lipatan Kain.
            Puisi-puisi di dalam buku Dalam Lipatan Kain terasa begitu kental unsur lokalitas dan kedaerahannya. Pemilihan diksi yang cukup intens menggunakan bahasa Minang, memasukkan beberapa nama-nama daerah di Sumatera Barat sebagai latar cerita, menceritakan tentang kehidupan orang-orang di zaman dahulu, peristiwa sehari-hari, hingga kisah percintaan dua anak manusia yang tak mampu dilerai oleh jarak yang memisahkan, membuat puisi-puisi karya Esha Tegar Putra ini semakin membuat pembaca terhanyut akan kisah nyata seperti apa yang pernah terjadi di balik terciptanya puisi itu sendiri.
Puisi-puisi yang terdapat di dalam buku Dalam Lipatan Kain, seperti membelai tangan pembaca ketika membacanya, menggenggamnya tanpa sedikitpun terlihat digenggam, lalu membawanya ke portal masa-masa lalu di mana daerah-daerah di Sumatera Barat masih menjadi tempat yang teramat percuma untuk ditinggalkan. Beberapa tempat seperti Pandaisikek, Pilubang, Kalumbuk, Solok, Singkarak, Pantai Padang, dan daerah lainnya menjadi pilihan diksi yang sering disematkan Esha Tegar Putra di dalam beberapa puisi melankolisnya. Pemilihan diksi itu diimbangi dan semakin diperkuat juga dengan diksi yang bermain dengan anggota tubuh seperti tembusu, jantung, rahang, perut, dada, ujung kuku, rambut, hingga bulu mata.

Buku Dalam Lipatan Kain memiliki ketidakterbatasan ruang gerak untuk bercerita. Sayangnya, Esha Tegar Putra sering melakukan pengulangan diksi yang sama beberapa kali pada puisi-puisinya yang berbeda. Namun, itu bukanlah sebuah permasalahan pada karyanya. Hal yang seperti itu malah menjadi ciri khas tersendiri bagi seorang Esha Tegar Putra. Dengan begitu, orang akan dengan mudah mengenali puisi-puisinya.   

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Pramakalah Pekan Kritik Sastra 2 - Deddy Arsya

Rusli dan Imajinasi Seksual
Oleh Deddy Arsya

*Tulisan utuh akan disampaikan dalam seminar kritik sastra 16 April 2015 di Ruang Seminar FIB UNAND, dalam agenda Pekan Kritik Sastra 2 HMJ Sasindo UNAND | 14 s.d. 16 April  2015.





Saya akan membicarakan puisi-puisi Rusli Marzuki Saria dari sudut pandang bagaimana ia memetaforkan bagian-bagian tubuh-seksuil; bagaimana ia menggambarkan hasrat (desire) manusia [laki-laki] akanbagian-bagian tubuh [perempuan]. Tulisan ini baru sebatasmemperkenalkan satu sudut sempit yang tampak diabaikan dari luasnya bangunan kepengarangan Rusli; suatu pembicaraan di permukaan yang belum menyentuhkajian-kajian yang lebih analitik.


Banal dalam sajak-sajak Rusli tidak meluas atau menjadi semacam epidemi. Dapat dikatakan terma-terma seksualitas tersebut bukanlah kecendrungan sajak-sajaknya. Sajak-sajak Rusli sebelum tahun 1998, misalnya, tidak satupun menampilkan deskripsi seksual. Sepanjang pembacaan saya atas buku puisi Rusli, Sembilu Darah (1995), Parewa (1998), Mangkutak di Negeri Prosa Liris (2010) danLine by Line, One by One ini, ada banyak sajak yang romantik dan melankolik bertemakan kisah cinta insan manusia laki-laki dan perempuan. Termasukkisah cintamitologis dalam sajak panjang “Putri Bunga Karang”.Tetapi di antara sajak-sajak itu, nyaris tak sebaitpun membahasakan hasrat seksuil akan tubuh dalam umpana yang bergelora; nyaris tidak ada penggambaran tubuh-seksuilperempuan.

By HMJ Sasindo Unand with 1 comment

Saturday, April 11, 2015

Pramakalah Pekan Kritik Sastra - Ria Febrina

Artifisialitas Tokoh dan Bahasa Artifisial Afri Meldam [i]

Ria Febrina[ii]

*Makalah utuh akan disampaikan dalam seminar Kritik Sastra, 15 April 2015 di Ruang Seminar FIB, dalam agenda Pekan Kritik Sastra 2 - HMJ Sasindo UNAND, 14 S.D. 15 April 2015. 

Abstrak




Afri Meldam adalah generasi yang tumbuh dan kembang pada budaya postmodernisme dan menulis sastra untuk menunjukkan identitas budayanya. Ciri khas tersebut, salah satunya munculdalam artifisialitas tokoh berupa pemihan namaSutan yang kemudian dimaksudkan sebagai nama salah satu mamak. Pemilihan nama tersebut kemudian menjadi tumpang tindih dalam adat Minangkabau. Meskipun pemilihan nama tokoh adalah kebebasan pengarang, namun juga menjadi pertimbangan penting dalam sebuah karya karena tokoh juga membawa kultur yang melekat di dalam dirinya.

Tak hanya pemilihan nama, Afri Meldam juga cenderung menggunakan bahasa artifisial dalam menarasikan tokohnya. Padahal, mempertimbangkan makna yang melekat pada kata adalah pertimbangan penting sebelum karya beredar di tengah masyarakat. Apalagi, Afri Meldam mencoba merekonstruksi mitos dalam Sehimpun Cerita Pendek (SCP)Hikayat Bujang Jilatangyang merupakan kumpulan dari 17 cerita pendek ini.

Mitos bagi Afri Meldam adalah kode sosial yang disampaikan secara lisan sebagai aturan yang semestinya dipatuhi oleh masyarakat Sumpur Kudus. Kode yang tidak selamanya dipercaya sebagai hal gaib, tetapi kode yang menunjukkan bahwa harus ada keseimbangan hidup antara masyarakat dengan alam. Beberapa kisah yang memuat mitos ini mampu menyentil rasa berbudaya kita: akankah memilih untuk mempercayai mitos dengan ketakutan atau mempercayai dengan kebenaran alam. Beberapa kisah juga menunjukkan bahwa Afri Meldam mencoba mengangkat polemik kebudayaan—yang pada dasarnya—ikut dihimpit oleh kepentingan kaum dan kebutuhan individu.







[i]Artifisialitas Tokoh dan Bahasa Artifisial Afri Meldamadalah makalah yang disampaikan dalam Pekan Kritik Sastra 2 yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas pada Rabu, 15 April 2015 di Ruang Seminar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
[ii] Ria Febrina, penyuka sastra yang juga suka menulis, terutama puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Haluan, Jurnal Bogor, Genta Andalas,sertaMedia Online inioke Dotcom dan Siperubahan Dotcom. Sebuah sajak telah dibukukan dalam Antologi Puisi Dua Episode Pacar Merah oleh Dewan Kesenian Sumatera Barat; tiga buah cerpen juga telah dibukukan dalam Antologi Cerpen Jemari Laurin dan Hutan Pinus oleh Balai Bahasa Padang, serta Rumah Ibu oleh Ruang Kerja Budaya (RKB). 

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Pramakalah Pekan Kritik Sastra 2 - Mulyadi Esem



ONE BY ONE, LINE BY LINE PAPA RUSLI MARZUKI SARIA
Sebuah “Biografi” Kepenyairan dalam Napas Panjang Kesederhanaan

*Makalah utuh akan disampaikan dalam seminar kritik sastra, 16 April 2015, di Ruang Seminar FIB-UA, dalam agenda Pekan Kritik Sastra 2 - HMJ Sasindo, 14 s.d. 16 April 2015.

Mulyadi

Abstrak


Buku One by One, Line by Line seperti sebuah kiasan dan ringkasan biografi kepenyairan Rusli Marzuki Saria (Papa) yang memuat sepilihan puisi dari awal kemunculannya hingga masa kini. Puisi yang ditulis dari masa ke masa dalam napas panjang itu merupakan jejak yang membentuk biografi kepenyairannya. Buku ini berisi wakil-wakil puisi dari beberapa buku puisinya dan juga cuplikan dari porsa putik berjudul Monolog dalam renungan (2000). Buku Monolog sendiri berisikan semacam “ensiklopedia” tentang dunia puisi, kepenyairan, dan pandangan dunia Papa dalam berpuisi. Buku itu merupakan sumber berharga dalam memahami puisi Papa. Puisi-pusi Papa ditandai dengan kesederahaan pengucapan yang turut dibangun pula dengan simbolisme, metafor, dan kiasan yang tidak rumit dalam menuliskan hal hal kecil sederhana untuk memaknai manusia dan kehidupan dari pengamatan pengalaman penyair. Dari pembacaan atas puisinya dan konfIrmasi terahadap pandangan dunia Papa, dapat disimpulkan, penyair ini tetap menghargai tradisi sambil membuka diri dengan tradisi luar. Puisinya lebih terkesan impresionistis, dengan bahasa sederhana, dan dangan hawa yang tenang dan bersahaja.       


By HMJ Sasindo Unand with No comments

Pramakalah Pekan Kritik Sastra 2 - Pinto Anugrah

 TRAGEDI YANG HANYA ADA DI DALAM KEPALA PENGARANG
DAN TOKOH YANG TAK MENGENAL DIRINYA SENDIRI
(Pembacaan Kritis terhadap Kumpulan Cerpen Orang-orang Berpayung Hitam
Karya Iyut Fitra)

*Makalah lengkap akan disampaikan dalam seminar kritik sastra 14 April 2015 di Ruang Seminar FIB UNAND, dalam agenda Pekan Kritik Sastra 2 - HMJ Sasindo Unand, 14 s.d. April 2015.



            Kesan pertama yang saya tangkap setelah membaca ke tigabelas cerpen di dalam buku kumpulan cerpen Orang-orang Berpayung Hitam karya Iyut Fitra ini adalah pengarang sadar betul bahwa setiap kisah harus mengandung unsur tragedi supaya kisah tersebut menjadi besar. Pengarang berusaha meraih hal tersebut pada hampir setiap cerpen-cerpennya. Terdapat delapan cerpen yang berangkat dari sebuah tragedi. Tragedi dalam arti kisah yang memilukan yang benar-benar terjadi.

            Masa penulisan cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini punya rentan waktu yang panjang, dari tahun 1997 – 2008. Rentan waktu sebelas tahun tersebut, jika melihat ke negeri ini (Indonesia), berbagai peristiwa telah terjadi, berbagai tragedi berlangsung di negeri ini. Sebut saja Reformasi 1998, Referendum Timor Timur, Daerah Operasi Militer (DOM) pada Gerakan Aceh Mardeka (GAM). Ditambah dengan musibah Tsunami Aceh 2004 yang menelan korban ratusan ribu jiwa. Begitu juga dengan berbagai kerusuhan yang membawa isu sara seperti kerusahan Sampang, Ambon, atau pun Poso. Berbagai tragedi tersebut terekam dengan baik dalam kepala pengarang kumpulan cerpen ini. Dan tentu saja rekaman yang tinggal di dalam kepala pengarang tersebut membuatnya gelisah, sehingga si pengarang perlu menyampaikan kegelisahannya pada pembaca lewat sudut pandangnya melalui cerpen-cerpennya.

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Friday, April 10, 2015

Pra - Makalah Pekan Kritik Sastra 2 - Heru Joni Putra

*Makalah utuh terhadap karya akan disampaikan dalam seminar kritik sastra tanggal 15 April 2015 di Ruang Seminar FIB.



Penulisan ulang sastra lisan dalam cerita pendek bukanlah sesuatu yang baru dalam sastra Indonesia. Penulisan ulang tersebut tentu saja dengan berbagai bentuk dan fungsi, namun paling tidak untuk memberikan nilai alternatif dari nilai yang pernah dimapankan oleh sastra lisan itu sendiri. Afri Meldam dalam kumpulan cerita pendek Hikayat Bujang Jilatang, turut meneruskan praktik penulisan ulang sastra lisan dalam karya sastra hari ini.

Pada beberapa cerita pendeknya, tak terdapat nilai yang berbeda dari nilai semula pada sastra lisan yang digunakannya itu, ia seakan meneruskan nilai yang sudah ada. Namun pada cerita pendek yang lain, tampak usaha Afri Meldam untuk memberikan nilai lain dari sastra lisan yang ditulis-ulang olehnya itu.

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Thursday, April 9, 2015

Pra-Makalah Pekan Kritik Sastra 2 - Fariq Alfaruqi

KOTA YANG PARADOKS DALAM KUMPULAN PUISI
“DALAM LIPATAN KAIN” KARYA ESHA TEGAR PUTRA

*Makalah utuh akan disampaikan dalam seminar Pekan Kritik Sastra, Rabu, 15 April Pkl. 09.00 WIB di Ruang Seminar FIB UNAND.



Lebih dari separuh puisi Esha Tegar Putra, yang terhimpun dalam buku kumpulan puisi Dalam Lipatan Kain, memiliki diksi ‘kota’ di dalamnya. Kota dalam puisi-puisi tersebut diasosiasikan kepada kota-kota di Sumatera Barat, ranah kultural di mana Esha tumbuh dan berproses sebagai penyair. Hal ini menunjukkan bagaimana penyair terpaut, baik secara fisik maupun emosional kepada tempat-tempat tersebut. Melalui pembacaan heuristik, ada dua hal yang menjadi cirri utama penggambaran kota dalam puisi-puisi Esha, pertama, kota digambarkan penyair dengan paradoks, ironis, bahkan lebih sering sentimentil. kedua, selalu terjadi tarik-menarik antara kota hari ini dengan kota masalalu.

Apabila kita lihat sejarah tumbuhnya kota-kota di Sumatera Barat, Padang contohnya, sebagai salah satu pusat perdagangan, yang kemudian menjadikannya sebagai ibukota provinsi Sumatera Barat dalam pemerintahan negara Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari praktik kolonialisasi Belanda selama kurang lebih 350 tahun di Nusantara. Berdirinya loji pertama, dan terbesar di sepanjang pantai barat Sumatera, pada akhir abad 17 di muara Batang Arau, tepatnya di kaki bagian utara Gunung Padang, yang diberi nama Loji Padang, merupakan simbol dari dimulainya kekuasaan Belanda di daerah rantau Minangkabau tersebut. Atau kota Bukittinggi, di mana simbol-simbol kejayaan Hindia Belanda dimanifestasikan dalam bentuk bangunan-bangunan kolonial.

Sebagaimana kolonialisasi yang terjadi di seluruh dunia, setiap daerah koloni yang diduduki oleh negara imperial dikonstruksi, baik itu dalam pengertian pembangunan secara fisik, maupun tatanan sosial,  dengan menggunakan mitos keunggulan ras kuli putih (Eropa) dan ditujukan sebagai sarana untuk mempermudah dan memperlancar kepentingan-kepentingan penjajah di daerah jajahannya, namun berwajah balas jasa, rasa terimakasih, atau kemajuan peradaban.

Makalah ini akan berusaha melihat hubungan antara posisi kota dalam puisi-puisi Esha Tegar Putra dan keterkaitannya dengan kota masalalu.


By HMJ Sasindo Unand with No comments

Wednesday, April 8, 2015

Pra-Makalah Pekan Kritik Sastra 2 - Alizar Tanjung

KEMERDEKAAN AMBIGUITAS DAN SIMBOL CINTA KAORU
 ALIZAR TANJUNG


 *Makalah utuh akan disampaikan dalam Seminar Kritik Sastra tanggal 14 April di Ruang Seminar FIB, dalam agenda Pekan Kritik Sastra HMJ Sastra Indonesia Unand.




Membaca puisi, seperti membaca tubuh sendiri. Kita menguliti satu persatu tubuh kita. Tubuh yang terdiri dari darah, daging, tulang. Puisi yang sudah menjadi darah, daging, tulang kembali diungkai satu persatu. Di sisi lain membaca puisi seperti membuka isi kepala yang berisi tentang filosofi, perenungan, persepsi, pemikiran, pengalaman hidup. Berdasarkan pengalaman hidup, ada yang terperangkap dalam masa lalu, ada yang terperangkap dalam masa depan yang ambigiutas, ada yang terperangkap dalam ideologi dan modernisme.

Berbeda halnya dengan membaca kumpulan puisi Ziarah Kemerdekaan karya Muhammad Ibrahim Ilyas, Ziarah Kemerdekaan lepas dari keterkurungan pesimistis, dengan adanya puisi terakhir Surat Lain Tahun. Puisi-puisi yang terhimpun dalam buku puisi disusun secara runut berdasarkan tahun. Puisi yang dihimpun berdasarkan urutan tahun penulisan, seiringan jalan dengan asam garam kehidupan yang dialami oleh sang penyair. Selagi penyair itu hidup, jalan pikiran selalu berkembang.

Puisi-puisi yang ditampilkan dari awal, puisi-puisi yang sarat dengan ziarah: ziarah pribadi, ziarah keluarga, ziara sebagai makhluk negara, ziarah kemerdekaan. Sedangkan ziarah itu sendiri mengandung makna mengunjungi segala sesuatu yang dianggap sudah pergi dan tidak akan kembali. Ada makna kiasan bahwa yang tinggal hanyalah kenangan dan angan-angan masa lalu. Di sisi lain ziarah berarti belajar mengambil manfaat. Ketiadaan menjadi pelajaran berharga. Ketiadaan menjadi titik nol menuju ada.

Urutan tahun menjadi perangkap bagi pembaca puisi. Sebab itu sebagai pembaca, saya membaca puisi ini secara terbalik, membaca mulai dari puisi yang terakhir. Pada puisi Surat Lain Tahun, puisi terakhir dalam buku ini, ziarah menjadi titik nol menuju keberadaan kehidupan privasi. Puisi dalam puisi ini tidak lagi menjadi tubuh kasar dan tubuh halus yang harus diziarahi (dalam arti kata sesuatu yang tidak mungkin diperbaiki).

By HMJ Sasindo Unand with No comments