MENOLAK YANG SAKRAL

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas menyelenggarakan acara “Diskusi Kopi Sakarek” di lesehan Balairuang FIB Unand, (Kamis 06/11/2014)[...]

Refleksi Hari Pahlawan (Liputan Padang TV)

Perayaan Hari Pahlawan selama ini sebatas agenda tahunan berbagai instansi, baik pemerintah maupun pendidikan, tanpa menyentuh esensi dari nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri[...]

SLIDE-3-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

If you are going [...]

SLIDE-4-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

SLIDE-5-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

Saturday, December 6, 2014

Puisi-Puisi Roby Satria




Aku Adalah Kertas

Aku adalah kertas.
Jadikanlah perahu, seperti kekanakmu dulu.
Naikkan segala kata di atasnya
seperti nuh membawa segala yang bernyawa.
Layarkanlah pada tempat yang tak sependek kalimat.
Kemudian di paragraf sana biar aku yang merapungkannya.

Padang, 2014

  
Layangan

Layanganku biasa saja seperti layangan lainnya
terbang di langit yang tak sebesar rumpun bambu.
Dekat diulur jauh dijujut
Tapi semenjak angin berkepusu binal
Ia layangan pandai memintal
Dan meliuk liar sebelum akhirnya tersangkut
pada pucuk pinang.

Layanganku tak lagi biasa sekarang.
Sebab dijangkau tak sampai tangan
menjulukpun  penggalah sayup,
meski berjinjit kaki Marie Taglioni.
Namun, malang sungguh malang
ia layangan pandai bersantai dengan ekor melambai.
Seakan tak tahu kekanakku tersangkut bersamanya.

Padang, 2014


Mimpi

Mimpi tak pernah lelah datang dalam tidurmu.
Tak pernah kehabisan cerita.
Jika dilukiskan,
daratan dan apa saja yang luas habis jadi kanvas
dan segala yang cair jadi pewarna.
Kemudian, apapun yang berujung jadi kuas.
Tiada pernah bakal tahu dengan cukup
yang akan ia pajang di balik dengkurmu
yang serupa kucing makan tulang.

Setelah kau terjaga, akibat muka ditimpa cahaya
yang mengusir malam lewat fentilasi jendela,
bakal kau dapatkan ingatan tentang mimpi
 – mengapa kau tak jadikan aku nyata?

Padang,2014

  
Sajak Beruk
Atas semua kelapa yang telah jatuh
aku susun jari yang sepuluh.
“Terima kasih” batinku.

Pada tali yang mengekang sigapaimu.
Dan sesemak terdekat yang kurengkuh
sebagai penghalaumu.
Memang menampak taringku
sebab aku tak mau kau panjat kelapa orang.

Padang,2014


Ke Payakumbuh

Antara Lubuak Aluang dan Sicincin
Jalan berlubang berkundang-kundang debu
seakan kuda-kuda baru siap berpacu.
Menambah sesak akan rindu
yang dibentangkan jarak.

Sampai di Silaiang, aku mendaki mengurai kisah
yang berkelindan di muara pantai Padang.
Ingatkah disana, sayang? dibawah tenda
kita secangkang kura-kura
yang menganggap senja sebagai musuh.
Menggelikan sekali bukan?

Lalu di Koto Baru setelah Padang Panjang,
aku jalan setengah patah
yang muka hilang bertambah kebelakang.
Merah mata melulung
dengar cerita bawang merah, seledri, dan bumbu-bumbu saji
yang sunyi di tinggal petani.
Sebab tak ada lagi yang bakal marah-marah
saat rumput liar berziarah.


Sekarang baru sampai Baso.
Jangan takut, aku tak membeli kain seken di Bukitinggi.
Sebab benang yang kau sulam masih melingkar di tubuhku
hangat sekali.
Buat mataku seperti ayam gadis bertelur,
lekas aku tepekur.

Aku ke Payakumbuh, sayang.
Sepanjang jalan tak satu sumpah terlangkah
juga janji yang tercecer menuju kemari,
ke kampungku,
ke air jernih ini,
bakal aku sucikan cinta kita.

Padang,2014


Kopi

Aku ingin tidur lagi ketika kopi masih jalang
Sebab tubuhmu membayang di dalamnya

Aku ingin memelukmu saat kopi disesap
Sebab tak ada gelendang pada lidah

Aku ingin menumpahkannya
Kopi tak punya rasa
Ingatan yang tak mungkin di jumpa
Tapi bagaimana bisa sebab baru saja terhidang

Padang,2014

  
Sajak Tali Sepatu

Sebelum kita diperadukan
Sebagai sebuah tali sepatu
Yang memegang erat hukum pertalian – Ikat mengikat
Telah begitu banyak rahasia lubang yang kita lalui
Maka sebelum ikat yang membikin kita lekat
Aku memilih bunuh diri diinjak tapak
Sebab, bukankah ular perlu lapar untuk tidur
Atau rayap butuh sayap untuk terbang menjalang kematian

Padang,2014


Makan Malam
Malam seluas meja
Bulan menjelma piring
Seperti seorang kekasih
Kita saling manja
Makan malam bersama
Saling menyuap cahaya

Padang, 2014

*Puisi-puisi ini pernah dimuat di Koran Singgalang, 22 November 2014


 Roby Satria , lahir di Payakumbuh, 11 Februari 1995.
Mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas.
Berkegiatan di Labor Penulisan Kreatif (LPK), dan Filtograph.








By HMJ Sasindo Unand with No comments

Monday, December 1, 2014

Lawatan Kerja

Sesiung Catatan - Rakernas IMABSII IV Di Universitas Negeri Medan (UNIMED)
*M. Rizky Ramadhan - Infokom HMJ Sasindo Unand

IMABSII yang dikenal sebagai lembaga yang menjadi pemersatu Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se Indonesia, mengadakan Seminar, Pelantikan dan Rakernas ke IV di Unimed (Medan) pada tanggal 18-22 November 2014. Saya ditunjuk sebagai delegasi dari HMJ Sasindo Unand, untuk mengikuti agenda tersebut.
Saat pertama sampai di Medan (setelah melalui jalur udara dalam waktu singkat) Sampainya yang saya lakukan adalah menghubungi Rina,  sebagai panitia, dan dia kemudian mengintruksikan saya untuk menyusul ke Asrama Haji Medan, karena saya dan peserta lainnya harus menginap di sana. Saya pikir, saya akan di asrama Unimed, ternyata tidak. Dan hal pertama pula yang saya lakukan di asrama tersebut adalah menari kawan-kawan dari kampus-kampus yang lain untuk dapat berdiskusi tentang program-program HMJ dan peran IMABSII selama ini.
Saya bertemu dengan kawan dari UMSU dan UNSRI. Ketika itu saya masih mencari informasi berapa delegasi yang hadir. Ternyata kawan-kawan pun tidak mengetahui berapa pastinya, karena ada yang masih dalam perjalanan. Waktu itu saya tiba-tiba sadar akan satu hal, yakni, saya tidak tahu banyak mengenai hasil kongres IMABSII sebelumnya di Semarang pada bulan Mei 2014. Siapa Sekjendnya dan siapa saja yang menjadi pengurus pusatnya.

Foto sebelum Rakernas IV di Aula Asrama Haji Medan, Delegasi HMJ Sasindo Unand berada pada posisi kanan.

Setelah saya mencari tau, dan mulailah saya menggambar bagaimana proses pertamanya, yaitu pada program Seminar di UNIMED. Sampai saat ini saya sangat kecewa, bagaimana tidak? dalam lampiran TOR yang di kirim oleh Panitia penyelenggara kepada HMJ UNAND menyatakan bahwa pemateri seminar adalah seorang Novelis Muda yang terkenal di Indonesia. Tertulis di TOR yaitu  nama Andrea Hirata. Namun setelah beberapa lama saya menunggu, ternyata Andrea hirata tidak ada. Ini sangat mengecewakan. Acara yang berlabel NASIONAL. Dengan mengundang HMJ-HIMA dan sebagainya untuk bergabung ternyata membuahkan kecewa dengan pemateri yang tidak sesuai dalam TOR.
Sesudah itu, mengenai agenda yang seharusnya ada pelantikan pada hari pertama ternyata tidak berjalan baik. Karena Ibu Yeyen yang akan melantik berkendala dan tidak dapat hadir pada hari tersebut, sehingga di ganti pada hari Jumat. Sesudah Seminar kami peserta dan pengurus pusat berorasi sepanjang tepian jalan Unimed, dengan tema kebahasaan dan peran bahasa Indonesia saat era globalisasi. Selanjutnya sesudah itu kami seluruhnya kembali ke Asrama Haji Unimed untuk beristirahat.
Pada hari ke 2, yaitu pada agenda Rakernas IV untuk periode 2014-2016 saya mengikuti Rakernas yang di mulai pada pukul 09 : 11 WIB, acara ini awalnya berlangsung baik, namun sedikit hal, banyak dari bagian peserta atau pengurus mengkritik yang pada dasarnya tidak harus memakan waktu lama. Sehingga Rakernas IV ini awalnya seperti berolok-olok.
Sampai pada pengesahan tata tertib pada Rakernas IV, saya diajukan dan bersedia menjadi Presedium II tetap, menggantikan Presedium II sementara yang sebelumnya memimpin persidangan. Sesampainya pada hari ke 3 dalam agenda saya dan kawan-kawan dari UMSU dan STKIP PGRI SUMBAR, masih menjadi Presedium saat itu untuk Rakernas IV.
Pada pengesahan agenda kerja yang pada saat itu saya Presedium II menjadi pimpinan sidang, dikarenakan proses pembelajaran maka saya mengalami sedikit kesulitan untuk pengakiran pengesahan. Hal tersebut sangat menjengkelkan, namun buah baiknya adalah pengalaman. Seperti apa yang diajarkan oleh sahabat Febriandanu dan kawan-kawan lainnya. Sehingga acara pengesahan dan Rakernas IV berjalan hangat dan juga penuh Interupsi dari peserta sidang.
Saat Menjadi Presedium II di Persidangan Rakernas IV

Beberapa program kerja hasil Rakernas IV belum bisa saya tampilkan, namun saya akan menampilkan setelah dikirim datanya oleh sahabat saya di PGRI SUMBAR. Dikarenakan tugas kuliah yang banyak dan harus saya kerjakan juga, saya lebih cepat pulang dari peserta dan pengurus IMABSII. Acara formalnya sudah selesai, hanya saja… saya tidak dapat mengikuti acara wisatanya. Ah…

(Padang, November 2014)


By HMJ Sasindo Unand with No comments

Film Sebagai Wadah Dokumentasi Peninggalan Sejarah



Foto: Muhaimin (depan), Findo (tengah), Zikhwan (belakang)

Perkembangan seni film di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya kian berkembang. Sumber daya manusia yang kian tersedia dan fasilitas yang cukup memadai menjadi faktor penunjang kreatifitas mahasiswa. Baru-baru ini, Findo Bramata Sandi (Sastra Indonnesia ‘013), Muhaimin Nurrizqy (Sastra Indonesia ‘013), dan Zikhwan Almahbubi (Sastra Daerah ‘013), berhasil meraih Harapan I Lomba Visualisasi Kesejarahan dan Nilai Budaya” yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di bawah Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya. Ini merupakan sebuah prestasi yang membanggakan bagi kita semua.
Secara ide, lomba ini bertujuan agar mahasiswa dan pelajar aktif dalam mencari sumber sejarah yang tersedia di sekitar lingkungannya, baik itu berupa peristiwa sejarah lokal, tempat-tempat bersejarah, bangunan bersejarah, tokoh daerah/pelaku dan saksi sejarah/veteran pejuang kemerdekaan. Sumber sejarah ini kemudian dikemas dalam bentuk dokumenter sejarah atau komik. Selain itu, juga untuk menggunggah mahasiswa agar lebih memahami nilai budaya yang dianut oleh masyarakat sekitarnya.
Maka, Findo dan kawan-kawan merasa mendapat kesempatan mendokumentasikan peninggalan sejarah yang ada di lingkungan mereka. Walau nantinya lolos atau tidaknya mereka dalam event ini, setidaknya, ide yang telah di rancang ini dapat diproduksi dan diperlihatkan kepada masyarakat banyak. Dipersiapkanlah sebuah film dokumenter berjudul “Rel Air”, dengan latar daerah Pesisir Selatan, tepatnya, Painan. “Rel airmerupakan visualisasi yang lebih difokuskan terhadap pandangan perspektif orang-orang yang dekat dengan data sejarah, tanpa mengabaikan bangunan peninggalan sejarah itu sendiri.
Mengenai proses produksi film, Findo, selaku sutradara menjelaskan bahwa hal pertama yang mesti dilakukan adalah pengiriman proposal ide cerita kepada pihak penyelenggara acara. Proposal yang dikirimkan oleh Findo dan kawan-kawan ini termasuk dalam 20 proposal yang lolos seleksi. Lantas kemudian, Findo dan kawan-kawan mengikuti rangkaian workshop atau pelatihan mengenai produksi selama satu pekan di Bogor. Sekembalinya dari Bogor, Findo dan kawan-kawan pun diberi biaya produksi senilai Rp. 6.000.000 untuk satu tim (3 orang).
“Kami hanya mendapatkan uang saku sebanyak 6 juta untuk satu tim,dan bagi kami itu bukanlah uang produksi. Akhirnya kami harus menggunakan uang saku yang di dapat tersebut dengan bantuan dari pihak-pihak lain untuk tetap melakukan produksi, seperti dekanat FIB, Rektorat Unand, Dinas Pariwisaata dan Dinas Pendidikan Pesisir Selatan, papar Findo.
Memasuki proses produksi Findo dan kawan-kawan begitu gigih menciptakan karya walau panita penyelenggara memberikan batasan-batasan untuk memproduksi. Namun apa yang akan mereka sumbangkan dan yang mereka harapkan dari panitia penyelenggara tidak sebanding dengan apa yang mereka peroleh. Setelah melakukan pengeditan, film yang telah selesai di produksi ini kembali di kirim kembali kepada pihak panitia untuk mengikuti seleksi tahap akhir.
Foto: Proses produksi "Rel Air" di pedalaman Salido Ketek, Painan

Enam karya finalis terpilih yang telah melewati proses seleksi proposal dan workshop, dipresentasikan di depan dewan juri. Findo dan kawan-kawan sempat merasa kaget, sebab di saat final panitia menghadirkan juri tambahan yang berasal dari Metro TV, Peneliti Sejarah dll. Apalagi saat finalisasi, peserta kembali mempresentasikan ide garapan di dewan juri.
Kami kembali mempresentasikan ide garapan kami yang sebelumnya telah di presentasikan. Namun yang menjadi sedikit kekecewaan bagi kami, hal apa yang menyebabkan ide yang telah selesai kami produksi kembali di presentasikan. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada kami harusnya adalah pertanyaan di awal bukan setelah ide ini selesai di garap. Dan kami kecewa dengan hal yang seperti ini, tutur Findo yang sempat di hubungi via telepon.
Findo dan kawan-kawannya sangat berharap bahwa event-event ini akan direspon baik oleh Film Maker Sumbar, sebab ini akan menjadi wadah yang akan menampung kreatifitas mereka di dunia perfilman. Dan terlepas dari itu, dengan adanya kerja pendokumentasian peninggalan sejarah seperti ini, akan semakin banyak jualah masyarakat yang tahu dan peduli terhadap peninggalan dan budaya yang ada di tanah pertiwi ini.


link lain:
http://sanasinee.wordpress.com/2014/11/27/dokumenter-rel-air-melihat-sejarah-tidak-dari-masa-lalu-tetapi-bertanya-kepada-apa-yang-masih-tersisa/


*Annisa Irfayuli – Infokom Sastra Indonesia

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Thursday, November 27, 2014

Selamat!

            HMJ Sastra Indonesia FIB Unand mengucapkan selamat kepada Rizkan atas prestasinya dalam event lomba menulis puisi dan cerpen “Gema Muharam 1436 H” yang diselenggarakan oleh lembaga Nursing Islamic Centre Fakultas Keperawatan Universitas Andalas, sebagai

·         Pemenang I lomba cipta puisi
·         Pemenang II  lomba  menulis cerpen

Semoga menjadi sumber motivasi untuk terus berkarya!

Sekilas mengenai Rizkan



            Lahir di Tanah Rekah, 11 April 1995. Tinggal di Kampung Dalam, Padang. Semenjak menginjakkan kaki di kampus hijau dan menjalani pendidikan di bidang sastra dan bahasa Indonesia, ia semakin tertarik untuk memperbanyak bacaan dan mencipatakan karya sastra serta meneliti tentang hal yang berkaitan dengan sastra dan kebahasaan Indonesia.
Di kampus, laki-laki ini aktif di FKI Rabbani Unand serta mengikuti berbagai kegiatan tentang kepenulisan bersama HMJ Sastra Indonesia. Baginya, kegiatan di FKI Rabbani ia lakukan untuk mengoptimalkan ruhiah tentang Islam. Sedangkan, dengan HMJ Sastra Indonesia dan kawan-kawan di FIB menjadi moment untuk menambah kemampuan dalam hal kepenulisan. Bagi Rizkan, menulis adalah untuk menyebarkan kebaikan. Jadi, ia tidak akan menulis, bila tak ada kebaikan dan manfaat di dalamnya.
Rizkan mengakui, dalam hal kepenulisan ia sering sekali gagal, misalnya, meski sudah puluhan kali mengirimkan tulisan ke koran, tapi belum ada satu pun tang diterbitkan. Namun, ia tidak patah arang sampai di situ, melaikan terus tekun. Dan tidak sia-sia, kerja keras itu bisa terbayar ketika mampu memenangkan lomba menulis cerpen dan puisi, walau masih dalam lingkup Unand.
“Sekarang saya semakin semangat menulis, karena baru-baru ini, essay saya muncul di buku elektronik Dompet Dhuava, "Petisi Untuk Pemimpin Bangsa". Saya berharap prestasi yang akan saya ukir, akan lebih banyak lagi.”, tuturnya


Karya Terpilih
Puisi
IRINGAN SAJADAH HITAM
Puisi: Rizkan

Lena ku menyusuri gemerlapnya sajadah panjang
Menjejaki sebaris tapak kaki, hingga uban tak disangka jatuh
Hanya nikmat yang terasa
Kala memandangi padatnya jalanan di waktu senja
Bersama lampu yang tengah bercerita
Sejak ia menerangi kota
Kawanku mulai terlupa
Dia sempat singgah, menemaniku meloncati sepotong salju
Mungkin ia telah pergi
Meninggalkanku di dalam mimpi
Didampingi malam yang datang menjemput senja
Kukirim salam jauh dengan awan yang mengapung
Kuselip secebis nyanyian dengan suaraku yang lirih
Mungkin aku tinggal sendiri, menyusuri dimana ujungnya benang ini
Mengapa tak aku sadari, jalanan kosong yang membuatku terburu-buru
Kini usiaku habis dimakan waktu, aku lupa bersenggama pada-Nya
Ketika iringan sajadah hitam, datang mengetuk pintu rumahku
Memaksa musim berganti, namun bibirku tetap beku
Aku menyesal, dibalik kelopak mata yang terpejam,,,

(Syair ini didedikasikan untuk sahabat yang membuatku berlinang air mata, Midle Test 2012 @Mukomuko)


MAK LANDAU
Cerpen: Rizkan
Berhentilah menyanyi sebentar! Kata mak Lindau pada anaknya. Kau tak dengar suara adzan? Begitulah suasana setiap magrib di rumah mak Lindau yang terletak di sebelah jembatan penyeberangan darurat, di kampung Dungku. Anaknya yang bernama Tari ini memang suka bernyanyi. Dia sempat bercerita pada ibunya, kalau dia besar nanti, dia ingin menjadi penyanyi. Mak Landau hanya mengangguk saat anak perempuan satu-satunya ini, mengungkapkan gairahnya untuk jadi penyanyi, kata yang terucap dibibirnya hanya, terserah nak, yang penting halal, sambil mengecup kening anaknya yang polos.
Terik mentari takkan mampu menembus pertahanan rumah mak Landau, yang diselimuti labu yang menjalar. Sekali-kali kalau buah labunya sudah besar, mak Landau akan memboncengnya dengan sepeda, lalu menjualnya di pasar, yang berjarak  lima kilo meter dari rumahnya. Keseharian mak Landau memang beragam, kadang ia mendapat upah dari menyiangi gulma di sawah warga, sesekali menjadi kuli panen di kebun, bila beruntung, ia akan menjadi kuli panen pisang, karena selain mendapat upah uang, kadang majikannya juga memberikan beberapa tandan pisang untuk dibawanya pulang. Pisang yang didapatnya kemudian dijadikannya gorengan tuk dijual di pasar. Sukur-sukur bisa nalangin kebutuhan rumah satu minggu, ucap mak Landau dalam hatinya.
Awan mulai bergerak ke arah timur, mentari mulai merubah warnanya menjadi kemerahan, perlahan-lahan gelap datang menjemput senja, hingga mentari tak tampak lagi. Bila malam mulai menjelma, orang-orang akan banyak lalu-lalang di jembatan tua yang dibangun masa orde baru yang berada di sebelah rumah mak Landau. Asap bercampur aroma harum nasi yang baru mendidih ditanak, mengempul di udara, menambah hangat suanana malam di rumah mak Landau. Pekerjaannya yang serabutan memberi lelah yang teramat sangat, apalagi usianya kini menginjak lima puluh empat tahun, namun semua itu terbayarkan ketika pulang, makanan telah dihidangkan putrinya di atas meja tua yang dibuat mendiang suaminya dari anyaman rotan.
Kokok ayam menandakan subuh telah datang. Tapi mak Landau telah lebih dulu meninggalkan rumah sambil memikul kayu bakar yang diambilnya kemarin sore di hutan. Kali ini, ia memang tak berangkat menggunakan sepeda, ban sepedanya bocor oleh sesuatu yang tak dapat dilihatnya saat kemarin ia pulang di waktu senja. Menempuh jarak lima kilo dari rumahnya takkan terasa berat jika berangkat secepat ini, pikir mak Landau sambil mengangkat kayu di pundaknya.
Jalanan terasa licin dan ringan ditapaki mak Landau. Entah mengapa dalam gelap yang belum memudar itu, terbesit di pikirannya tentang dua anak laki-lakinya yang sekarang entah ada di mana. Ia ingat ketika terakhir kali memeluk kedua anak lelakinya, sambil mengantarkannya ke kapal di pelabuhan Batam. Waktu itu, kedua anaknya pamit untuk pergi merantau, entah mengapa setelah lima tahun, tak sekalipun anaknya pulang menyambangi ibunya yang kini telah berusia lebih dari setengah abad.
Kini pikiran mak Landau beralih pada anak gadisnya. Mak Landau menetestan air mata di pipinya, mengenang nasib anak gadisnya yang harus menjadi tukang cuci di rumah warg,a untuk membiayai sekolahnya. Ia kembali fokus bekerja setelah melihat keramaian pasar, dibayangnya kayu bakar yang ia bawa akan segera terjual ketika ia sampai di lapak para pedagang kayu. Benar saja, tak berapa lama mak Landau menurunkan kayu dari pundaknya, langsung seorang ibu muda dengan daster merah memborong semua kayu yang ia bawa.
Beberapa rupiah dari hasil jualannya ia gunakan untuk membeli beberapa gantang beras. Selebihnya ia simpan untuk diberikan pada anak gadisnya yang pasti lelah bersekolah, mengurusi rumah, dan menyuci pakaian di rumah tetangga. Hari ini mak Landau tak langsung pulang ke rumah, ia mampir dulu ke rumah Jupri, temannya sewaktu muda. Jupri pernah menawarkan pinjaman modal kepada mak Landau untuk berjualan di rumahnya, apalagi Jupri tak mengharapkan mak Landau untuk mengembalikan pinjamannya tersebut, bila tak mampu mengembalikannya. Mak Landau berencana membuka warung kelontong di depan rumahnya, dengan modal yang dipinjamkan Jupri, ia akan memulai usahanya dengan menjual lontong gulai dan sejenisnya pada orang-orang yang biasa berhenti di sekitar jembatan tua, yang menggantung menyeberangi sungai. Berkat bantuan Jupri, mak Landau berhasil mendirikan warung kelontong yang diimpikannya. Usahanya juga cukup menguntungkan, sekarang Ia tak perlu lagi menjadi kuli di ladang orang, meski kadang-kadang ia masih mencari kayu bakar di hutan untuk ia gunakan sendiri.
Rembulan bersinar terang jauh di atas awan yang mengapung dilangit, menerangi rumah mak Landau, dan memantulkan cahanya yang anggun ke atas sungai. Suara jangkrik yang berderik menambah hikmat suasana alam yang masih asri di kampung Dungku. Mak Landau mengajak putrinya berbincang, Ia menceritakan bahwa penyakitnya sudah semakin parah, dan mungkin akan segera menyusul suaminya yang telah lebih dulu pergi tiga tahun yang lalu. Mak Landau mengelus lembut pipi si anak dan menyeka air mata yang mengalir di pipi putrinya. Ia tahu, putrinya pasti akan sedih sekali jika mendengar ceritanya. Tapi, ia tetap harus menceritakan kebenarannya pada sang putri. Anemia yang telah lama dideritanya dan terus ditahan selama ini, mungkin menjadi tepat untuk diceritakan, karena kini mereka sudah cukup berkecukupan dalam hidup.
Tari, kini kita telah punya warung kelontong. Tapi, Ibu sudah tak sanggup lagi bekerja, mungkin inilah pengorbanan terakhir yang bisa ibu berikan padamu. Kamu sekolahlah yang rajin, ibu ingin masa depan kamu lebih baik dari yang ibu dapatkan selama ini, curah mak Landau pada putrinya yang mulai terlelap.
            Hari demi hari banyak mak Landau habiskan di surau. Ia sering mengikuti pengajian ibu-ibu yang ada di kampungnya. Warung kelontongnya kini diambil alih oleh putrinya. Ia lebih banyak meluangkan waktu untuk belajar ilmu agama di surau. Suatu sore, mak Landau sengaja menemui ustad yang sebelumnya telah memberi pengajian, ia bertanya perihal tanggung jawab orang tua pada anaknya yang disampaikan ustad pada ibu-ibu yang hadir di sore itu.
Pak ustad, kalau anak kita tidak sembahyang, ibuknya berdosa juga ya ustad? Ucap mak Landau sambil gugup.
            Bulan terasa pecah di kepala mak Landau, langit yang cerah tiba-tiba terasa mendung, ditemani badai dan petir. Tak dikira, ternyata tanggung jawabnya kepada si anak belum selesai juga. Padahal, separuh hidupnya telah ia habiskan untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan anaknya. Menjadi kuli, tukang kayu, menggarap ladang, memamen pisang, jagung, dan cabe di ladang orang telah dilakukannya. Akhirnya,saat ia sudah menginjak usia renta, ia berhasil mendirikan warung kelontong untuk mencukupi kebutuhan hidup anaknya. Tapi, ternyata ia memiliki kewajiban lain, yaitu mengajarkan ilmu agama pada anaknya. Memang sejak Tari kecil, mak Landau tak pernah mengajari satu hal pun tentang ilmu agama padanya. Ia hanya sibuk dengan pekerjaan serabutan yang dilakoninya, hingga tak sadar usianya sudah hampir kepala enam, namun akhirat belum juga dipikirkannya.
            Mak Landau sangat bersukur, di akhir hidupnya ia bisa memberikan kebahagiaan pada anaknya. Telah lama ia menantikan saat seperti ini, yang mana ia bisa menghabiskan waktu tuanya untuk lebih taat beribadah, pergi ke surau, dan ikut pengajian bersama ibu-ibu seusianya. Ia merencanakan di masa tuanya, ia bisa fokus untuk beribadah saja, soalnya dulu ketika muda ia tak terlalu ambil pusing tentang dosa, ia bertekad akan menjadi ahli ibadah dan memohon ampun atas semua dosanya di masa muda, ketika ia telah tua. Mak Calau mulai meminta Tari untuk belajar sembahyang pada tetua yang ada di surau. Namun, Tari menolak, ia ingin belajar, mencari uang dan mengejar cita-citanya. Ia tak mau memikirkan soal agama di masa mudanya.
Buk, sembahyang itu sampai kapan pun akan tetap ada, masa muda ini, kita harus bekerja untuk mengejar cita-cita. Nantilah kalau saya sudah tua baru saya sembahyang, dan minta ampun pada gusti Allah, ucap Tari pada mak Landau yang termenung mengingat masa mudanya.

*Infokom HMJ Sastra Indonesia FIB Unand



By HMJ Sasindo Unand with No comments