Thursday, April 2, 2015

Luka dan Kesedihan "Orang-orang Berpayung Hitam"




Judul         : Orang-orang Berpayung Hitam

Pengarang : Iyut Fitra
Penerbit     : Halaman Indonesia
Cetakan      : November 2014
Tebal          :102 halaman
Peresensi    : Rahmawati (Sasindo '14)


           




Buku kumpulan cerpen Orang-orang Berpayung Hitam (Halaman Indonesia, 2014) adalah buku keempat yang sukses ditulis Iyut Fitra, penyair asal Payukumbuh, Sumatera Barat. Buku ini adalah kumpulan karya-karya yang sebagian besar telah pernah terbit di beberapa media cetak dan beberapa diantaranya adalah karya yang belum pernah dipublikasikan. Iyut Fitra sesungguhnya lebih dikenal sebagai penyair, dengan beberapa buku kumpulan puisinya yang telah terbit, yakni: Musim Retak (2005), Dongeng-dongeng Tua (2009), dan Beri Aku Malam (Intan Cendikia Yogyakarta).
Orang-orang Berpayung Hitam bercerita tentang kesedihan, rasa sakit, luka dan permasalahan pelik yang dihadapi manusia pada umumnya. KataHitam  menjadi simbol kesedihan dalam kisah-kisah yang  menyayat hati pada setiap cerpen yang ada didalam kumpulan ini. Kesedihan yang muncul, beberapa diantaranya lahir dari titik problema yang sama.
Hanya Seekor Kupu-kupu  dan Orang-orang Berpayung Hitam, misalnya sama-sama menceritakan permasalahan si tokoh utama dengan memakai alur flasback. Dimulai dari ingatan tokoh utama tentang  masalalu yang penuh kebahagiaan dan cinta yang pernah ada, kemudian hancur oleh sebuah peristiwa. Dalam cerpen Hanya Seekor Kupu-kupu, konflik dimulai dari seekor kupu-kupu yang menimbulkan ingatan tokoh utama pada masalalu. Dalam cerpen ini, masalalu yang indah hancur oleh penggusuran kompleks tempat si tokoh utama tinggal.Kemudian pada cerpen Orang-orang Berpayung Hitam juga digambarkan oleh seorang pemuda yang kembali mengingat masalalu. Hanya saja, pada cerpen ini konflik tergambar saat si tokoh utama berada dalam sebuah peristiwa gempa bumi. Gempa bumi yang terjadi mengingatkan si  tokoh utama pada Suluh kekasih yang telah lama ia tinggalkan.
            Kesedihan beraroma lain tergambar dari cerpen Langit Malam dan Lewat Jam Sepuluh. Pada kedua cerpen ini, termuat kisah tentang cinta yang tidak direstui oleh orang tua. Kedua cerpen ini juga sama-sama menyorot dilema yang dialami oleh tokoh utama yaitu seorang pemuda. Dalam cerpen Langit Malam, konflik dimulai dari tokoh utama yang teringat dengan kata-kata sang ibunda terhadap wanita pilihannya. Hubungan yang tidak direstui karena wanita pilihan tokoh utama adalah seorang anak dendang (sebutan untuk orang-orang yang melagukan pantun-pantun dalam kesenian musik saluang). Pandangan ibu tokoh utama terhadap anak dendang yang tidak baik mengakibatkan akar perseteruan itu dimulai. Pada cerpen ini penulis menggambarkan dilema yang dialami oleh tokoh utama yang harus menetukan pilihan. Ibu atau kekasihnya. Kemudian dalam cerpen Lewat Jam Sepuluh dilema yang digambarkan adalah tentang keinginan kekasih tokoh utama yaitu kawin lari. Pada cerpen ini digambarkan hubungan yang tidak direstui oleh ayah dan ibu dari kekasih tokoh utama. Pengangguran adalah akar permasalahannya. Pada cerpen ini penulis membuka konflik dengan aktifitas yang akandilakukan tokoh utama yaitu merampok.
            Tamu Lebaran dan Kalau Saja Perempuan Itu Bukan Iya, hamper sama dengan cerpen Langit Malam dan Lewat Jam Sepuluh, yaitu sama-sama bertemakan percintaan , namun bedanya dalam cerpen Tamu Lebaran dan Kalau Saja Perempuan Itu Bukan Iya, percintaan yang hadir mengakibatkan perasaan yang tersakiti oleh cinta itu sendiri. Pengkhianatan yang berujung balas dendam. Bukan lagi tentang cinta yang tidak direstui seperti yang digambarkan cerpen Langit Malam dan Lewat Jam Sepuluh. Pada cerpen Tamu Lebaran, penulis memulai dengan Tamu yang datang di hari Lebaran ke rumah si tokoh utama. Tanpa memberitahu identitas, Si Tamu malah bercerita tentang kisah cintanya. Konflik dimulai dengan kebingungan yang dirasakan oleh tokoh utama. Di akhir ceritanya, Si Tamu baru memberitahu identitasnya. Tamu itu bernama Tongkang. Dalam kisahnya, tongkang menceritakan kepada tokoh utama tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh kekasih-kekasih masalalunya, ia juga menceritakan bagaimana rasa sakit dikhianati dan kepuasan yang dirasakannya usai melakukan balas dendam dengan cara membunuh. Kebingungan si tokoh utama masih berlanjut hingga akhir cerita, sampai ditemukannya istri si tokoh utama yang mati terbunuh.
Berbeda dengan Tamu Lebaran, di akhir kisah Kalau Saja Bukan Iya malah menceritakan bagaimana si tokoh utama yang tak berdaya karena cinta dan tidak jadi melakukan pembunuhan terhadap kekasihnya. Walau sebelumnya ia pernah membunuh seorang kekasih masalalunya usai dikhianati oleh sang kekasih. Namun untuk kali ini, ia tidak bias mengayunkan belati kepada kekasihnya, yang ada malah ia menyatakan cinta. Sungguh sebuah akhiran yang berada di luar perkiraan pembaca.
Cerpen Mayat Berseragam, Kota Yang Meledak, dan Dulu Segalanya Memang Indah mengangkat tema yang sama, yaitu tentang perseteruan yang terjadi antara dua belah pihak yang mengakibatkan traumatic bagi sebagian korbannya. Lalu pada cerpen Mayat Beseragam, perseteruan yang terjadi mulai tampak di akhir cerita. Dimulai dengan penemuan Mayat Berseragam oleh seorang lelaki tua. Kemudian berlanjut dengan suara-suara tembakan dan perkelahian yang terjadi hamper setiap malam di ladang milik lelaki tua itu. Perseteruan itu menimbulkan traumatic bagi si lelaki tua. Cerita berakhiri dengan pelarian yang dilakukan oleh si lelaki tua.
Pada cerpen Kota Yang Meledak, penulis mengemasnya dalam bentuk traumatik yang dialami oleh seorang ibu. Bermula dengan ledakan yang terjadi di sebuah tempat makan. Pada saat yang bersamaan si ibu dan keluarganya tengah menikmati hidangan yang disajikan, tanpa di duga, sebuah ledakan terjadi. Ibu itu kini terpaksa menjadi single parent sebab ledakan itu telah merenggut nyawa suaminya. Beruntung ia dan anaknya tidak menjadi korban ledakan itu. Namun sayang,  ledakan itu member pengaruh negative bagi psikis si ibu. Penulis melukiskan perasaan traumatik yang mendalam yang  mengakibatkan ia tidak mau menginjakkan kaki di kota tempat peristiwa itu terjadi.
Masih tentang perseteruan, cerpen Dulu Segalanya Memang Indah, juga menceritakan tentang kota yang porak-poranda karena perseteruan yang terjadi antara dua belah pihak. Hampir sama dengan cerpen Kota Yang Meledak, tokoh yang di sorot di sini juga seorang ibu. Bedanya, tokoh ini tidak mengalami trauma yang mendalam. Ia bahkan tidak takut sama sekali terhadap apa yang terjadi di kotanya.
            Berbeda dengan cerpen yang lain, Rumah Untuk Kemenakan dan Jendela Tuaa dalah cerpen yang menyorot budaya dan adat istiadat Minangkabau. Dalam cerpen Rumah Untuk Kemenakan penulis menggambarkan adat yang harus dipatuhi oleh seorang pemuda sebagai mamak yang baru menikah untuk meninggalkan rumah tanah pusaka. Rumah yang berdiri di tanah pusaka tidak sepantasnya ditempati oleh seorang mamak. Di Minangkabau, setiap anak laki-laki yang sudah punya istri akan pergi ke rumahnya yang baru atau tinggal di rumah istrinya. Jadi, tinggal di rumah tanah pusaka adalah kesalahan yang akan menimbulkan penggunjingan oleh kerabat dan tetangga. Sebab, kemenakan perempuan masih ada, dan rumah itu lebih pantas dihuni oleh kemenakan-kemenakan jika ia menikah nanti. Dalam cerpen ini, si tokoh utama mengalami dilema. Harus meninggalkan rumah sedangkan rumah pengganti belum ada. Dalam cerpen ini penulis sepertinya mengkritik adat istiadat Minangkabau yang tidak memandang keadaan. Berbeda dengan Rumah Untuk Kemenakan, cerpen Jendela Tua adalah cerpen yang menceritakan kesendirian ibu tua yang tinggal di rumah gadang. Cerpen ini juga berlatar belakang adat Minangkabau. Hanya saja pada cerpen ini, tidak terlalu membahas adat istiadat terlalu dalam. Cerpen ini lebih memfokuskan sorot pandang tentang kesendirian yang pada akhirnya akan kita rasakan ketika sudah tua. Anak-anak yang merantau mengakibatkan pengikisan budaya itu terjadi. Budaya asli Minangkabau tidak lagi dihiraukan, malah berganti dengan budaya rantau yang asing. Banyak yang berubah semenjak anak-anak merantau. Bahkan si ibu tua tidak mengenali anaknya lagi. Sebab, begitu banyak yang berubah pada anak-anaknya, cucu-cucunya, entah itu cara bicara, cara makan, dan banyak lagi lainnya. Dalam cerpen ini, penulis juga mengemukakan kritik yang tersirat. Amanat yang dapat kita tangkap dalam cerpen ini adalah budaya yang harusnya dijaga bukan malah terbawa budaya luar yang sama sekali asing.
Cerpen yang menggambarkan kebingungan oleh seorang pemuda ada dalam Wartel dan Perempuan-perempuan pengungsi. Dalam cerpen ini, penulis menggambarkan tentang pertentangan yang terjadi dalam diri tokoh utama dengan dirinya sendiri.
Yang menarik pada cerpen Iyut Fitra adalah latar dan penokohan yang banyak mengangkat Minangkabau. Terdapat juga simbol-simbol yang berkaitan dengan adat istiadat Minangkabau. Permasalahan-permasalahan yang digambarkan oleh penulis memberikan suatu suntikan kesadaran tentang apa yang tengah terjadi pada manusia zaman sekarang. Seperti putus cinta yang berakibat fatal, pergeseran budaya, dan berbagai masalah yang ada memberikan sebuah amanat yang tersirat untuk pembaca.
            Yang menarik pada buku ini adalah puisi-puisi yang ada didalam cerpennya. Beberapa cerpen dapat kita jumpai kutipan sajak-sajak  yang sengaja dikombinasikan dengan cerpen  yang menjadikan sebuah daya tarik tersendiri bagi pembaca. Terutama bagi penikmat puisi. Hanya dengan membaca buku ini pembaca bisa menikmati sajian puisi yang sengaja di sajikan untuk para pembaca. Latar belakangnya sebagai penyair, menguatkan pemilihan kata-kata yang digunakan dalam buku ini,  sangat puitik, indah, dan detail.



*Orang-orang Berpayung Hitam, adalah salah-satu buku yang akan dibahas dalam agenda Pekan Kritik Sastra 2 HMJ Sastra Indonesia Unand.



By HMJ Sasindo Unand with No comments

0 komentar:

Post a Comment