Sunday, April 12, 2015

Membaca-Mencerna Mitos, Nilai, Adat, dan Hari Kini --- Resensi oleh Andesta Herli

DATA BUKU
Judul                           : Hikayat Bujang Jilatang
Penulis                         : Afri Meldam
Penerbit                       : AG Litera
Cetakan                       : Pertama, 2014
Tebal Halaman            : 163 hlm
Peresensi                     : Andesta Herli



Buku “Hikayat Bujang Jilatang” adalah sehimpun cerita yang ditulis Afri Meldam pada kurun beberapa tahun silam, yang beberapa judul telah pernah dipublikasikan di beberapa media massa. Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini semuanya bercerita tentang mitos, nilai, dan kebiasaan lokal masyarakat Sumatera Barat secara umum. Akan tetapi, jika mau melihat lebih tepat lagi, lokal di sini mengacu pada daerah Sumpur Kudus, Sijunjung, daerah asal Afri Meldam sendiri. Dari tujuh belas cerita yang dihimpun dalam buku, kesemuanya bernafas dengan semangat tradisi lisan itu, yang dewasa ini menjadi begitu artistik. Hal ini adalah sebuah kecendrungan yang tidak baru lagi, sebab dalam perkembangan seni hari ini, semua orang berpacu menguras sari madu dari sesuatu bernama etnik, daerah. Sesuatu yang kemudian menjadikan kumpulan ini penting untuk disimak ialah tawaran kebaruan dari pengarang dalam menafsirkan kembali mitos, nilai atau kode sosial atau sekadar kebiasaan tertentu. Kedaerahan di sini dihadirkan tidak sekadar hadir dan menjadi pakaian belaka, melainkan dengan paradigma baru atau kemungkinan penafsiran baru.

Dalam “Anjing Pemburu”, misalnya, kita melihat sesuatu yang akrab dalam sebuah masyarakat di Sumatera Barat, yakni berburu. Dalam perjalanan berburu tokoh Sutan, diselipkanlah mitos-mitos, semisal larangan “meludah di pertemuan dua sungai, atau terkencing di dekat mata air”. Yang menarik di sini bukanlah mitosnya, namun usaha pengarang untuk mempertanyakan kebenaran, logis, masuk akal atau tidaknya mitos itu, dengan membangun peristiwa yang melaju secara alamiah, ada sebab yang bukan gaib. Begitu pula dalam cerpen “Cindaku”, di mana mitos yang telah lama beredar di sekitar masyarakat diberi perspektif baru yang sangat logis. Cindaku, sebagaimana kita tahu, adalah makluk yang mirip manusia, yang suka mencuri manusia dan membawanya ke alam gaib. Namun oleh Afri Meldam, lewat tokoh bernama Bujang Imbang, Cindaku tampak sebagai tipu-tipuan orang di masa lalu. Cerita Cindaku disebarkan hanya agar orang takut tidur larut, dan dengan begitu para penjahat bebas mencuri dan menjarah.

Dalam cerpen “Hikayat Bujang Jilatang”, pengarang dengan begitu meyakinkan menyebut daerah Sumpur Kudus.  Sedikit berbeda dari cerpen lain, Hikayar Bujang Jilatang adalah sebuah parodi, di mana tokoh yang sebenarnya bernama Zulfirman, ketika meninggal dunia – saking banyaknya dosa – ditendang oleh malaikat penjaga neraka sehingga secara tidak sengaja sampai ke surga. Dan sebuah keterkejutan akhir yang didapatkan dalam cerpen ini adalah ketika mengetahui bahwa kita sedang mendengar cerita dari ayah si Bujang Jilatang sendiri, yang telah bersembunyi dari identitasnya sebagai orangtua. Namun lagi-lagi, meskipun secara tema cerpen ini tidak mengangkat mitos-mitos, tetap saja kita disuguhkan selipan-selipan mitos, alur pikir terhadap mitos, dan ketidakmungkinan sebuah mitos, yang sedikit-banyak memacu kita untuk mempertanyakan kembali mitos-mitos di sekeliling kita.

Selain mitos, ada nilai-norma tak dan tatanan adat dalam masyarakat di daerah Sumpur Kudus yang coba diangkat-dibentang-regangkan oleh Afri Meldam. Seperti dalam cerpen “Angku Rajo Mudo”. Cerpen ini coba mengangkat pergeseran yang terjadi antara modern dan adat. Lewat tokoh Akmal, tampil modernitas yang tidak bisa hidup dalam tradisi. Lewat tokoh Mandeh, tampil adat yang ingin selalu dijunjung dan dinomorsatukan, serta betapa urgennya sebuah suku memiliki seorang datuk. Di sini tampak usah penulis untuk meletakan keduanya secara ideal. Adat memang perlu, tapi mesti disesuaikan dalam banyak hal. Dan modern adalah mesti, namun bukan berarti itu melupakan kaum yang telah terbangun. Selanjutnya dalam cerpen “Ke Lisun Datuk Kembali”, yang menjadi tema besar adalah nilai, sikap, dan tabiat masyarakat. Lewat tokoh seorang kaya, Datuk Rajo Ameh, penulis memaparkan kepada kita bagaimana manusia selalu memiliki sesuatu yang tersembunyi dan licik di balik senyum dan kebaikan kata. Hal yang ditemukan semua orang dalam kehidupan sehari-hari ini dialirkan dan didramatisir penulis, dengan mengatur Datuk Rajo Ameh kembali ke Lisun –  tempat awal ia memulai keberhasilan hidup – untuk hidup secara tenang dan miskin harta.


Secara keseluruhan, cerpen-cerpen dalam Hikayat Bujang Jilatang berpusat pada latar Sumpur Kudus. Hanya saja objek yang diaceritakan berbeda: kadang mitos, kadang tatanan adat, perbenturan antara semangat tradisi dan modern, sekadar tabiat atau perilaku masyarakat yang semua orang paham, tapi jarang dibicarakan apalagi dituliskan. Afri Meldam tampaknya memang secara penuh mempersembahkan menggantungkan energi karyanya pada segala yang berputar di lingkungan masyarakat asalnya. Namun meskipun yang tersebut selalu Sumpur Kudus, tapi saya percaya, siapapun yang ada di Sumatera Barat dan pernah merasakan lingkungan sosial yang tradisional atau semi tradisional sekalipun, tentu tidak asing dengan segala mitos, nilai, adat, atau perbenturan adat yang disuguhkan Afri Meldam, sebab secara tema, permasalahan yang dipaparkan Afri Meldam ini universal adanya, terlebih dengan mitos atau sastra lisannya.

By HMJ Sasindo Unand with No comments

0 komentar:

Post a Comment