Sunday, April 12, 2015

Rumpun Diksi dan Masa Lalu Dalam Lipatan Kain - Resensi oleh Mahareta Iqbal Jamal



Judul Buku                  : Dalam Lipatan Kain
Nama Pengarang         : Esha Tegar Putra
Penerbit                       : Motion Publishing
Jumlah Halaman          : xiv + 132 halaman
Tebal Buku                  : 13,5 cm x 21 cm
Peresensi                     : Mahareta Iqbal Jamal





Kita terus belajar menjahit
untuk sesuatu yang kelak akan terus sobek.

            Begitulah bunyi sepenggal bait dari puisi Berkelakar Sendiri, Terbenam Sendiri karya Esha Tegar Putra, Alumni Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, yang beberapa hari lalu baru saja meluncurkan buku kumpulan puisi keduanya yang berjudul Dalam Lipatan Kain di salah satu kafe di Kota Padang. Penantian para penggemar Esha akan puisi-puisinya nan memagut hati hingga memaksa rindu untuk segera pulang ke rumah bertemu dengan orang tercinta, akhirnya tertuntaskan sudah berkat lahirnya buku ini. Puisi-puisi yang pernah terbit di berbagai media massa, baik media massa lokal maupun media massa nasional, semua sudah terangkum menjadi satu di Dalam Lipatan Kain.
            Puisi-puisi di dalam buku Dalam Lipatan Kain terasa begitu kental unsur lokalitas dan kedaerahannya. Pemilihan diksi yang cukup intens menggunakan bahasa Minang, memasukkan beberapa nama-nama daerah di Sumatera Barat sebagai latar cerita, menceritakan tentang kehidupan orang-orang di zaman dahulu, peristiwa sehari-hari, hingga kisah percintaan dua anak manusia yang tak mampu dilerai oleh jarak yang memisahkan, membuat puisi-puisi karya Esha Tegar Putra ini semakin membuat pembaca terhanyut akan kisah nyata seperti apa yang pernah terjadi di balik terciptanya puisi itu sendiri.
Puisi-puisi yang terdapat di dalam buku Dalam Lipatan Kain, seperti membelai tangan pembaca ketika membacanya, menggenggamnya tanpa sedikitpun terlihat digenggam, lalu membawanya ke portal masa-masa lalu di mana daerah-daerah di Sumatera Barat masih menjadi tempat yang teramat percuma untuk ditinggalkan. Beberapa tempat seperti Pandaisikek, Pilubang, Kalumbuk, Solok, Singkarak, Pantai Padang, dan daerah lainnya menjadi pilihan diksi yang sering disematkan Esha Tegar Putra di dalam beberapa puisi melankolisnya. Pemilihan diksi itu diimbangi dan semakin diperkuat juga dengan diksi yang bermain dengan anggota tubuh seperti tembusu, jantung, rahang, perut, dada, ujung kuku, rambut, hingga bulu mata.

Buku Dalam Lipatan Kain memiliki ketidakterbatasan ruang gerak untuk bercerita. Sayangnya, Esha Tegar Putra sering melakukan pengulangan diksi yang sama beberapa kali pada puisi-puisinya yang berbeda. Namun, itu bukanlah sebuah permasalahan pada karyanya. Hal yang seperti itu malah menjadi ciri khas tersendiri bagi seorang Esha Tegar Putra. Dengan begitu, orang akan dengan mudah mengenali puisi-puisinya.   

By HMJ Sasindo Unand with No comments

0 komentar:

Post a Comment