MENOLAK YANG SAKRAL

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas menyelenggarakan acara “Diskusi Kopi Sakarek” di lesehan Balairuang FIB Unand, (Kamis 06/11/2014)[...]

Refleksi Hari Pahlawan (Liputan Padang TV)

Perayaan Hari Pahlawan selama ini sebatas agenda tahunan berbagai instansi, baik pemerintah maupun pendidikan, tanpa menyentuh esensi dari nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri[...]

SLIDE-3-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

If you are going [...]

SLIDE-4-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

SLIDE-5-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com[...]

Saturday, June 11, 2016

Cerpen: Munak



*Muhaimin Nurrizky

            “Apa dosa besar itu, bu?” tanya Munak kepada ibunya. Ibunya diam sejenak, namun lebih dari sepuluh menit. 
Munak mengerutkan keningnya. “Apa dosa besar itu, bu?” tanyanya sekali lagi, dengan nada ingin tahu. Ibunya menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dengan berat. “Melawan orangtuamu!” jawab ibunya cepat.
“Kenapa bisa begitu, bu?” tanyanya sekali lagi. “Kamu ini banyak tanya ya! Kan sudah ibu jawab, jangan melawan orangtuamu. Jadi jangan tanya ibu lagi. Itu sama saja melawan orangtuamu!”
Munak terdiam kaku mendengar bentakan ibunya. Kepalanya menunduk ke bawah. Matanya menjadi sayu, seperti menahan air mata. Ia takut sekali ketika ibunya marah. Ibunya sedang menunggu telepon dari nenek. Setiap sebentar melirik layar hape. Jika tidak ada yang dapat menarik perhatian dari layar itu, ibunya langsung mendecak kesal.
Malam itu sebenarnya Munak mendapat pekerjaan rumah dari sekolah untuk menjawab pertanyaan guru PAI (Pelajaran Agama Islam). Ia mendapat pekerjaan rumah menuliskan salah satu dosa besar. Memang tidak ditanyakan alasan mengapa dosa itu adalah dosa besar. Namun Munak ingin saja bertanya kepada ibunya. Ia akhir-akhir ini jarang berbicara kepada ibunya, semenjak ayahnya jarang pulang atau tepatnya sudah tidak pulang-pulang.
Di depan meja belajar, tangan Munak serasa berat digerakkan. Ia takut sekali. Wajahnya menunduk ke bawah. Bukan menatap buku tugasnya, namun menatap kakinya. Kakinya yang juga terdiam kaku. Memang seluruh badan Munak terasa kaku sekali. Kaku karena takut bergerak atau memang kaku karena tidak bisa digerakkan. Bulir-bulir keringatnya mulai keluar satu persatu. Matanya mengedip teratur. Setiap detiknya sama, setiap tiga detik berkedip.
Tatapannya lurus menembus kakinya. Menembus lantai keramik rumahnya. Menembus pondasi rumahnya. Menembus tanah. Hingga ia menatap sebuah gelap yang begitu gelap. Lalu gelap itu berangsur-angsur hilang digantikan sebuah adegan seorang lelaki yang sedang tersenyum. Lelaki yang begitu Munak kenal. Lelaki yang sangat dekat dengannya. 
Lelaki itu keluar dari mobil yang sudah diparkirkannya di garase depan rumah. Lelaki itu turun dari mobil dan melangkah menuju pintu rumah. Dengan senyum yang begitu sangat ramah, lelaki itu membuka pintu dan membiarkan senyumnya disambut segala sesuatu yang ada di dalamnya. Ternyata ada seorang anak kecil yang berlari semangat menghampiri lelaki tersebut.
Umur anak itu kira-kira tujuh tahun. Anak kecil itu adalah Munak. Anak kecil yang sebenarnya adalah Munak itu berteriak kepada lelaki itu, “Ayah pulang!” Kemudian lelaki itu menggendong Munak. Mereka tertawa bersama. 
Dari dalam rumah terdengar suara perempuan, “Ayah cepat masuk, ini sudah ibu buatkan sup untuk makan kita,” teriak perempuan itu. Munak dan ayahnya masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam, mereka langsung menuju meja makan. Ternyata perempuan itu adalah ibu Munak.
Ibu Munak yang selalu tersenyum. Ibu Munak yang selalu tampak ceria dengan wajah tirusnya yang terlihat bercahaya. Bukan ibu munak yang seperti sekarang. Bukan ibu munak yang wajahnya tampak kelam jika sedang marah seperti awan sebelum hujan.
“Hey! Ngapain menung-menung, buat PR-mu!” 
Munak terkejut. Suasana yang menggembirakan tadi berubah senyap menikam. Lamunannya berakhir oleh suara bentakan ibunya. Ia langsung mengubah pandangannya untuk menulis pekerjaan rumahnya itu. Jantungnya terkejut, sehingga memacu darah keseluruh tubuhnya dengan kencang. Bulir-bulir keringatnya bertambah banyak keluar dari pori-porinya. Kulitnya seperti tisu yang terjatuh di genangan air. Basah oleh keringat. Tangannya bergetar. Jari-jarinya lunglai memegang pensil. Dengan tangan menggigil, Munak mulai untuk menulis.
Munak tidak mengerti, mengapa ayahnya pergi begitu saja meninggalkan ia dan ibunya berdua. Semenjak malam itu. Malam yang menjadikan ibunya seperti seseorang yang tidak biasa baginya. Malam yang mengubah segala hal bagi Munak. Munak tidak pernah melihat ayah dan ibunya betengkar seperti itu.
Seluruh barang di rumahnya berantakan. Mulai dari meja yang terbalik. Gelas dan piring yang pecah. Kursi yang berantakan. Dan barang yang sangat ditakuti Munak, pisau. Pisau yang terlegetak di bawah kaki ibunya. 
Ketika itu, Munak melihat ayahnya memukul tangan ibunya yang sedang menggenggam pisau dapur. Pisau yang biasa digunakan ibu untuk memasak. Munak hanya berdiri diam di sudut ruangan melihat itu. Air mata Munak seperti banjir di kisah Nabi Nuh, deras dan tidak berhenti-henti.  
Di malam pertengkaran itu, Munak hanya ingat beberapa kata yang asing baginya. Ia mendengar kata itu ketika ibunya berteriak histeris kepada ayahnya.
“Dasar suami tidak tahu diri! Nikahi saja selingkuhanmu!” Munak tidak mengerti apa itu perselingkuhan dan apa itu suami yang tidak tahu diri. Kata yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaan di benak Munak. Ketika itu munak hanya menangis. Ia merasakan ketakutan yang sangat takut. Kedua orangtuanya melakukan adegan yang membuat bathin Munak terguncang hebat.
Ketika pertengkaran itu selesai atau memang tidak akan pernah selesai, Munak melihat ayahnya pergi keluar dari rumah. Ketika sampai di depan pintu, ayahnya melihat Munak. Ayahnya menatap Munak dengan ekspresi menghiba. Entahlah. Bagi Munak ekpresi wajah ayahnya saat itu adalah ekspresi untuk pergi selamanya. Lalu ayahnya berkata, “Ayah pergi sebentar, ya.”
Ayahnya tersenyum sekilas, lalu berlalu meninggalkan Munak, ibunya dan rumah yang lebih mirip gudang pecah. Itulah senyum terakhir yang Munak lihat. Ah, setiap hari Munak selalu mengulang-ngulang adegan itu di benaknya. Ia tidak paham. Ia tidak mengerti. Hanya ada tanda tanya di benaknya. Apakah dunia orang dewasa itu begitu mengerikan?
Semenjak itulah, ibu Munak jarang berbicara, tidur sering larut, dan sering marah-marah jika Munak menanyakan tentang ayahnya. Tidak hanya itu, Munak dan ibunya tidak tidur sekamar lagi. Kata ibunya Munak harus kuat, tidak boleh menjadi orang yang penakut seperti ayahnya. Padahal Munak selalu takut jika tidur sendiri.
Namun, Munak akan lebih takut lagi jika ia mengatakan tentang ketakutannya kepada ibunya. Bagi Munak tidak ada ketakutan yang lebih takut selain melihat ibunya marah.
Telepon berdering. Ibu Munak menyambar hape.
“Sudah dikirim?” jawab ibunya langsung.
Terdengar suara lirih dari seberang telepon, “Sudah, nak. Gimana kabar kamu dan Munak? Sehat?”
“Kami aman! Sudah, saya mau ambil uangnya,” jawab ibunya dan langsung mematikan telepon.
“Dasar orangtua lamban, ngirim uang saja lama!” gumam ibunya sambil berjalan ke kamar.
Munak tahu ibunya baru saja ditelepon nenek untuk mengabarkan bahwa uang sudah nenek kirim. Sekali seminggu nenek selalu mengirimkan uang. Munak tidak tahu, apakah ibunya tidak bisa mencari uang. Semenjak ditinggal ayah, ibunya selalu pergi pagi dan pulang sore, seperti ayah, namun pakaian ibu tidak serapi ayah. Ibu selalu pergi dengan pakaian yang menampakkan kulit-kulit di tubuhnya dan warna pakaiannya selalu mencolok. Munak tidak mengerti, ibunya pergi pagi pulang sore, seperti ayah, tapi mengapa ibunya selalu minta uang kepada nenek?
Ibunya tiba-tiba sudah berganti baju dengan baju seperti yang biasa ia kenakan ketika pergi pagi. 
“Ibu pergi dulu, kamu di sini saja. Kalau lapar ada ayam di meja makan.”
“Ke mana, bu?” tanya Munak dengan nada takut.
“Sudah kerjakan saja PRmu itu! Ibu pergi sebentar.” Ibunya langsung berlalu menuju pintu rumah. 
Baru kali ini ibunya pergi malam. Munak takut tentang kepergian malam. Malam adalah kepahitan yang teramat baginya. Ia terbayang malam ketika ayahnya meninggalkannnya. Munak takut jika ibunya juga pergi untuk tidak kembali lagi. 
Ketika ibunya baru saja membuka pintu rumah untuk keluar, adzan isya berkumandang. Di dalam rumah, di ruang tengah, di dalam hati, Munak ingin sekali mengajak ibunya untuk sholat isya bersama sebelum ibunya pergi. Tapi Munak takut jika ibunya akan marah lagi kepadanya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk mengajak ibunya.
Benak Munak terisi visual adegan ayahnya, ibunya dan ia sedang sholat berjamaah bersama. Seperti dulu, ketika ayahnya masih di rumah dan belum pergi untuk selamanya. Mata Munak mulai berkaca-kaca.
Di atas meja belajar, kertas pekerjaan rumah Munak berisi coretan. Coretan itu seperti tulisan, yang jika dibaca baik-baik akan menyusun sebuah kalimat seperti ini: DOSA BESAR YAITU MELAWAN KEPADA ORANG TUA. Dan tulisan itu mulai dijatuhi bulir air mata Munak. (*)
Padang, Februari 2016
—Bersama Latifa Ibrya
            Penulis merupakan mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2013. Cerpen ini sebelumnya dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres dan koran.padek.co

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Cerpen: Empu Terakhir


*Andesta Herli W

Waktu itu tahun 1967, aku masih remaja dan tidak banyak tahu.” Mamak Leman memejamkan mata, seolah sedang berusaha keras mengembalikan pecahan-pecahan ingatannya ke dalam sebuah kronologis yang utuh. Sesekali mata tertutup itu tampak mengerjap, membiaskan garis-garis keriput yang mengalur dari bawah bola mata ke bilah pipi cekungnya. Suasana di gubuk hening. Hanya bunyi kibasan atap di atas kepala kami sesekali mendesau diterpa angin.
Angin malam bulan November, selalu datang ke desa ini dengan gelagat yang lebih ramah. Setumpak sawah baru saja ditanami, tampak seperti bentangan kain besar bermotif garis-garis, yang terputus di kaki bukit yang terletak di sebelah utara desa. Sejak beberapa hari ini, bukit tak berhenti membumbungkan asap pekat. Semuanya sepi.
“Aku baru saja pulang dari sungai, melewati jalan setapak di desa. Ketika itu kusaksikan banyak orang berkerumun di halaman rumah kepala desa. Akupun segera bergabung di sana. Segera saja kusaksikan sesosok tubuh tergolek dengan mata membelalak berwarna merah. Sesosok tubuh gemuk tanpa baju itu terbujur kaku di lantai, sekujur tubuhnya menonjolkan bintik-bintik merah, sementara sebelah kakinya membesar melebihi ukuran normal.”
Mamak Leman mengakhiri kalimatnya, lantas meraih gulungan daun nipah dan tembakau di saku bajunya. Dengan mata memandang ke kejauhan, ia membiarkan jari-jari tangannya bekerja sendiri. Sesekali keluar desahan sayup dari mulutnya, entah hidungnya.
“Kata orang kampung kami, lelaki itu terkena bala hantu rimba,” sambung Mamak Leman, lalu menyalakan rokoknya. Asap mengepul, semakin kentara ketika tertangkap cahaya temaram yang dibiaskan lampu bola lima watt yang tergantung di pagu.
“Ia terkena bala karena berani menebang pohon keramat di hutan lereng bukit, begitu kata orang-orang.” Mulut Mamak Leman ringan bergerak-gerak, mengeluarkan gumpalan ingatannya.
Aku tidak tahu apakah aku harus percaya itu atau tidak. Tapi aku percaya kepada lelaki tua ini. Bagaimanapun ia adalah lelaki yang hidup pada masa dulu dan masa kini, yang telah melihat banyak hal-hal tidak masuk akal bagi orang umum. Sedikit banyak aku telah mendengar dan paham, sebagai orang lama, tidak mustahil ia memiliki semacam ilmu gaib yang biasa dipakainya untuk memberi pelajaran kepada siapa pun yang dibencinya.
“Tapi sebenarnya bukan itu pokok masalahnya,” Mamak Leman tiba-tiba berujar, suaranya serak. Aku terbuyar, sontak menjadi antusias. “Lelaki gemuk itu mati karena terkena guna-guna seorang dukun...,” mata Mamak Leman kini tajam menerawang, ke arah bukit yang berkelip-kelip.
“Seorang dukun, warga biasa menyebutnya Empu, lelaki tua yang tinggal sendirian di gubuknya di puncak bukit. Ia adalah tetua desa, sekaligus tempat meminta bagi warga. Sebab banyak hal-hal gaib dikuasai olehnya. Dan tentu saja, aku tahu, seluruh warga mengutuk lelaki gemuk itu, makanya meminta pertolongan pada dukun. Bagaimana pun, mereka ingin mempertahankan hutan penghabisan di desa ini, agar tidak sampai dibuka menjadi lahan tambang.”
Ah, aku mulai mengerti sekarang ke mana arah cerita ini. Jadi mitos hantu rimba itu tidak benar adanya, melainkan hanya siasat untuk mengelabui sekaligus menutupi sebuah tindakan mistis seorang dukun terhadap pengganggu desa, dalam hal ini leleki gemuk yang mati itu?
Aku membayangkan, bagaimana bencinya orang-orang desa waktu itu karena  semakin ramai saja orang dari kota datang dan membuka lahan-lahan hutan di desa mereka. Lelaki gemuk itu adalah utusan dari kota yang akan mengurus pembukaan lahan baru di kaki bukit, lahan hutan terakhir yang ada di desa.
“Aku waktu itu begitu kagum dengan si dukun. Bagiku, ia adalah orang bijak, pahlawan desa. Makanya setelah agak besar, setelah tanda-tanda kematian si dukun semakin nyata, aku memutuskan untuk berguru padanya.” Mamak Leman kini menggulung rokok yang kedua.
“Kau tahu, Len, selama lima tahun penuh aku tinggal bersamanya, hingga akhirnya aku disuruh pergi dan ia memastikan bahwa seluruh ilmunya telah sampai padaku. Sebelum pergi, ia berpesan padaku, agar setiap ilmu dipergunakan hendaklah untuk kebaikan orang banyak. Tidak berapa bulan setelah itu, si dukun, Empu itu, meninggal dunia.”
“Sejak itu, aku menjadi dukun yang sangat dipercaya warga di desa. Posisiku hampir tidak berbeda dengan guruku, menjadi Empu, tempat bertanya dan meminta bagi warga. Kadang, orang-orang mengeluhkan padinya yang berulat, ladang yang selalu dimasuki babi, bahkan janda yang menggerutu tentang kesepian hidupnya.”
Mamak Leman terkekeh, memperlihatkan deretan giginya yang tidak utuh dan berwarna hitam. Berhenti sejenak, ia membakar lagi rokoknya, lantas menghamburkan ke udara. Asap mengepul, semakin kentara disinari cahaya lampu lima watt.
“Apakah Mamak juga menjadi Empu penjaga hutan, sebagaimana guru Mamak itu?” Kutanyakan itu untuk sekadar memastikan pikiranku. Bagaimana pun, aku telah mendengar banyak cerita dari warga desa tentang kedatangan orang-orang kota ke desa, untuk membuka lahan terakhir di kaki bukit itu. Dan setiap mereka yang datang, selalu menemukan nasib seperti lelaki gemuk yang diceritakan Mamak Leman tadi.
Dari masa ke masa, setiap pihak silih-berganti datang, dan mengalami nasib yang sama: terkena bala hantu penunggu rimba! Aneh memang, kalau kurenung-renung. Meskipun yang didapat adalah kematian, mereka itu, orang-orang kota itu , tak juga mau jera.
“Sejak kematian lelaki gemuk itu, memang cukup lama desa tidak didatangi utusan pengusaha dari kota. Barulah 15 tahun kemudian datang lagi satu utusan. Dan saat itulah aku melaksanakan tugas utamaku untuk pertama kalinya, sebagai Empu. Sama seperti yang dilakukan guruku, begitulah yang terjadi persis seperti lima belas tahun lalu. Si utusan itu mati di semak-semak dengan mata membelalak merah dan tubuh penuh bintik-bintik merah. Sebelah kakinya membesar. Waktu itu, tentu saja, aku merasa begitu puas dengan diriku sendiri, dan kesadaran tentang kepemilikan hutan semakin kuat kurasakan. Hingga aku paham, betapa hutan ini adalah roh bagi desa. Betapa terhormatnya bila seseorang memiliki tugas menjaga roh itu.”
Terasa angin bersemilir di ubun-ubunku. Mamak Leman terus memandang ke kejauhan, ke bukit yang landai dan membumbungkan asap. Kuperhatikan tubuh orang tua ini sedikit bergetar, entah menahan dingin, entah karena ada sesuatu yang sedang menganggu hati dan pikirannya, sesuatu yang menyesakkan dadanya. Aku menunggu. Tentu saja, cerita ini belum berakhir.
“Tapi apa yang terjadi setelah itu, sungguh sedikit demi sedikit mengikis rasa puas dalam hatiku, dan menutupnya dengan perasaan lain. Dua tahun berselang sejak kematian lelaki itu, utusan dari kota datang lagi, dengan tujuan yang sama, hutan kami! Aku mantrai lagi dia, hingga menemukan nasib yang sama dengan temannya yang sebelumnya. Lantas, tidak genap setahun sesudah itu, datang lagi utusan baru. Kulaksanakan lagi pekerjaanku. Setahun berlalu, datang lagi... ah!”
Mamak Laman kali ini meringis. Getar di tubuhnya semakin jelas. Benar, sesuatu telah terlalu menyesakkan dadanya. “Kau tahu, sudah tujuh orang mati di tanganku selama aku menjadi Empu. Aku mulai letih dan membenci diriku sendiri.”
Aku tahu, aku pun harus berhati-hati dalam menanggapi cerita orang tua ini. Dia, benarlah, sedang dilanda kalut yang berat, dan salah sedikit kata, aku mungkin tidak akan duduk lagi bersamanya. Kuambil rokok kretek yang sedari tadi belum kujamah. Kuselipkan ke bibirku yang semakin dingin, lantas membakarnya. Asap membumbung ke udara, hening menerpa ruang-ruang dingin malam.
“Besok rombongan perusahaan itu akan datang dan melaksanakan peresmian pembukaan lahan tambang bersama para warga dan pemimpin setempat. Apa yang akan Mamak lakukan?” aku bertanya, nadaku jelas terasa berhati-hati.
“Tidak ada yang ingin kulakukan, Len. Aku sudah begitu tua dan sendiri. Sementara mereka begitu kuat dan banyak. Apa yang bisa kulakukan?” Mamak Leman membakar rokok yang ketiga.
“Kemarin kawan-kawanku telah mencoba berbicara dengan pemerintah kecamatan, sampai kabupaten. Namun tidak ada hasil. Bagaimanapun, izin pembukaan lahan ini telah begitu mapan.”
“Kau telah melakukan apa yang kau bisa, Len. Sebagaimana kau, aku pun telah melakukan semuanya. Tapi kau lihat, apa yang kita berdua lakukan hanya sia-sia dan tidak mengubah keadaan. Aku hanya mampu menunda pembukaan lahan itu, tapi tidak punya kekuatan mencegahnya. Mereka begitu banyak dan kuat!”
“Ya, mereka begitu banyak dan kuat.” Kalimat ini kurasakan bermakna lebih dari yang terdengar.
“Aku sadar betul kini, rimba itu memang tidak akan pernah bisa diselamatkan. Mereka tak akan berhenti, kapan pun. Apa yang kusaksikan selama berpuluh tahun, menunjukan kebenaran itu. Kita tidak pernah bisa menghambat air mengalir ke lekuk-lekuk rendah. Bisa saja kubuat rombongan perusahaan itu serentak mengalami hal tragis sebagaimana yang sudah-sudah, hanya saja, aku tidak tahu apakah itu masih berguna. Mereka tidak akan berhenti, kau tahu?”
Aku tentu saja mengerti. Ya. Waktu berpuluh tahun adalah masa yang cukup panjang bagi Mamak Leman untuk memahami permasalahan desanya. Lelaki ini kini menyerah. Sungguh, ia memang telah menyerah sejak utusan terakhir ini datang dan berhasil melakukan lobi-lobi licin dengan para pimpinan dan warga desa.
Tak ada yang bisa disesalkan, memang. Apa yang beberapa bulan ini aku lakukan di desa ini pun, ternyata tak berarti apa-apa. Tuntutan demi tuntutan, audiensi yang terus aku dan kawan-kawanku lakukan, publikasi wacana di berbagai media massa, tak lebih hanya upaya-upaya utopis kami, yang kini patah dan menemu jalan buntu. Aku pun sama. Menyerah, adalah kata yang bisa kusebutkan atas semuanya.
“Kita sebenarnya tidak menyerah, Len, tapi hanya sedang jemu dan bosan.” Mamak Leman bangkit dari duduknya, menggapai kain sarung yang tersangkut di dinding. Ia tertawa kecil, sambil mendudukkan tubuhnya kembali, lantas bersandar ke dinding yang dingin. 
***
Udara di halaman kantor kepala desa kali ini menyengat, seiring dimulainya upacara peresmian pembukaan lahan bukit untuk kawasan tambang. Semua orang tampak hadir, kecuali Mamak Leman. Ah, lelaki itu! Para tamu dari kabupaten dan kecamatan turut serta, berjajar di kursi barisan depan, lengkap bersama kehadiran beberapa orang pemilik modal yang tergabung dalam perserikatan usaha tambang yang segera dibuka ini.
Para warga, mulai dari para tetua, ibu-ibu rumah tangga, para anak muda, semuanya hadir, berkumpul. Tentu saja, ini acara yang penting bagi setiap warga. Bagaimanapun, meski masih merasakan ketidak-relaan melepas lahan di perbukitan, setiap warga tahu dan paham, ada sedikit angin segar bagi desa, bagi kemajuan mereka di kemudian hari. Tambang yang akan dibuka itu, tampak semacam harapan baru bagi alur perekonomian desa di masa mendatang.
Acara dibuka dengan sambutan kepala desa. Kemudian dilanjutkan oleh pemerintah kecamatan, kemudian perwakilan dari kabupaten. Apa yang disampaikan para pemimpin itu kurang lebih isinya sama: orasi mengenai pembangunan. Mengenai nilai dan etika nasionalisme. Mengenai peran masyarakat sebagai unsur penting dalam mendorong pembangunan.Salah seorang perwakilan investor juga ikut memberi sambutan di hadapan warga.
Dalam pidatonya, sang investor secara beruntun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak. Ia berjanji akan memprioritaskan warga desa dalam proses operasional tambang nantinya. Pidato sang investor disempurnakan dengan penyampaian hasil riset tim mereka terhadap tanah perbukitan.
Ya, batu bara, itulah yang mereka dan kami tahu tersimpan di bawah tanahnya. Namun jika digali terus-menerus, setelah melewati pengerjaan berpuluh-puluh tahun tentunya, ada kemungkinan, akan sampai pada material sejenis logam mulia!
Para tamu bersorak, riuh. Suasana tampak bahagia. Para ibu-ibu berteriak sambil menggendong anaknya. Seorang lelaki tua berteriak di sela sorak-sorai warga, “Aku dari dulu yakin tanah di bukit itu menyimpan emas!”. Teriakan ini disambut dengan tepuk tangan dan sorak yang lebih meriah. “Para lelaki di desa inilah yang kelak akan menggali dan menemukannya!” suara kepala desa menyelip di antara lautan suara warga. 
Oh, batubara, berlapis logam mulia! Aku kian paham. Selama hampir setengah abad, para pemilik modal itu tangguh bertahan. Sungguh menggiurkan untuk dilewatkan, memang. Kematian tujuh orang pekerja kasar, pesuruh lapangan itu, tentulah sebanding dengan apa yang bakal mereka dapatkan di bukit itu. Aku tiba-tiba merasakan kekalutan yang tak dapat terurai dengan kata-kata.
Membayang di kepalaku wajah Mamak Leman, lelaki renta itu, tokoh yang berhasil menjaga desa selama berpuluh tahun itu, meski pada akhirnya tetap saja menyerah.
Dengan langkah kaku, aku meninggalkan kerumunan. Tanpa sadar aku kini sedang mengarahkan langkahku ke arah gubuk tua Mamak Leman. Aku sepertinya ingin bercerita dengannya, cerita antar-sesama lelaki yang tidak menemukan jalan lain dalam hidupnya selain menyerah. (*)
Padang, 2015


*Andesta Herli W - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas. Menulis cerpen, puisi dan esai serta dipublikasikan di berbagai media cetak. Saat sedang serius menekuni perkuliahan tahap akhir. Cerpen ini dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres dan koran.padek.co

By HMJ Sasindo Unand with No comments

Teater Langkah Hendak Melangkah Kemana? (Catatan Untuk Memperingati 29 Tahun Teater Langkah)



Oleh: Fariq Alfaruqi*

Dua puluh sembilan tahun eksis dalam dinamika seni pertunjukan, menobatkan Tetaer Langkah sebagai kelompok teater kampus paling tua di Sumatra Barat, yang sampai saat ini masih bertahan, berkiprah, dan terus berproduksi: Mementaskan pertunjukan, menyelenggarakan agenda teater, menerbitkan naskah drama, dan yang terpenting, melahirkan orang-orang yang dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh teater Sumatra Barat. Prel T, Yusril, Sahrul N, S Metron M, maupun Pinto Anugrah, merupakan orang-orang yang mengenal dunia tetater melalui Teater Langkah yang kemudian memilih seni pertunjukan tersebut sebagai jalan hidup mereka, baik sebagai sutradara, penulis naskah, maupun akademisi dan kritikus seni pertunjukan.
Hari ulang tahun yang ke-29 yang jatuh pada kamis 26 Mei 2016 lalu, para anggota aktif Tetater Langkah menggelar dua pertunjukan untuk memeringatinya. Pementasan berjudul Bandara dari Ranah PAC menjadi pertunjukan pembuka. Sebelumnya, pementasan tersebut baru-baru ini ditampilkan dalam agenda Festival Teater Remaja se-Indonesia. Sebagaimana judulnya, pementasan yang disutradarai oleh S Metron M itu mencoba merepresentasikan bandara ke atas panggung sebagai latar dan problematika pertunjukan. Beberapa buah troli dijadikan properti sekaligus sebagai penanda untuk merujuk pada realitas, selebihnya panggung dibiarkan kosong tanpa setting, meleluasakan belasan orang aktor yang berlaku sebagai penumpang dan petugas bandara keluar-masuk panggung dengan tempo cepat, selayaknya intensitas kesibukan pada sebuah bandara.
Dalam pementasan tersebut, tidak ada pengkategorian aktor utama, aktor tambahan, atau aktor figuran, tidak ada konflik protagonis-antagonis, juga tidak ada motif-motif teguh dan terpendam seorang tokoh yang memengaruhi jalannya pertunjukan. Yang ada adalah aktor-aktor yang berganti peran, menunjukkan kedatangan dan kepergian pada sebuah bandara; lelaku aktor yang kondisional, dibentuk dan ditentukan oleh ruang sosial; karakter dan sikap aktor yang cair, agar terus bermutasi sebagai respon terhadap konflik. Yang ingin diperlihatkan oleh pementasan tersebut adalah, bandara sebagai etalase perilaku manusia. Sebuah ruang publik yang memamerkan kebanalan dan kesementaraan masyarakat.
 Pementasan kedua berjudul Matrilini naskah Wisran Hadi, disutradarai oleh Syanti Mustika. Bercerita tentang datuk yang bebal dan kemenakan yang binal. Sang datuk, bagaimana pun kondisinya berkeras ingin menikahkan kemenakannya, Matrilini, dengan seorang pemuda kaya bernama Merahsilu. Berbagai cara ia gunakan agar pernikahan tersebut terealisasi: mengatasnamakan adat, menggadaikan tanah, serta menutup mata pada kondisi kemenakannya yang telah hamil dengan lelaki lain. Sementara Matrilini mudah saja melepaskan keperawanannya setelah pesta pantai dengan seorang sopir. Melalui dialog-dialog satir, naskah tersebut menyentil para pemangku adat di Minangkabau, yang demi kehormatan, melakukan segala cara.
Satu set pelaminan berwarna merah-emas lengkap dengan semeja hidangan ala Minang dihadirkan di atas panggung. Pertengahan adegan, set berganti menjadi bagian depan Rumah Gadang yang dibuat sedemikian rupa. Setiap pergantian adegan, kostum para aktor diganti menandakan pergantian waktu. Hal ini pada satu sisi tentu saja bertujuan untuk semakin mendekatkan pementasan dengan realitas yang ingin diungkapkannya. Namun, pada sisi lain, set panggung dengan ukuran besar dan warna yang mencolok tersebut justru ‘menenggelamkan’ aktor yang hanya berjumlah sedikit, selain itu sutradara luput untuk memerhatikan efisiensi dari penggunaan set panggung tersebut. Pergantian set panggung pada pertengahan babak memakan waktu yang terlalu lama, membiarkan penonton menatap panggung yang gelap dan mendengar riuh kesibukan kru panggung sedang bekerja.
Hanya dua pementasan itu yang menjadi penanda, bahwa kelompok teater kampus yang telah bertahan selama dua puluh sembilan tahun itu masih berproduksi dan berkarya. Sangat disayangkan bahwa dalam agenda hari peringatan tersebut tidak ada diskusi, orasi, maupun perenungan untuk melihat di mana posisi dan peran Teater Langkah hari ini, atau, apa yang telah dilakukan oleh Teater Langkah selama tahun-tahun keberadaannya itu.
Kilas Balik
Pada tanggal 26 Mei 1987, sekelompok mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas, yaitu, Prel T, Irmansyah, dan Yusriwal (alm), mendirikan sebuah wadah untuk menunjang gagasan-gagasan, ide-ide kreatif, serta pemikiran-pemikiran kritis mereka mengenai dunia seni pertunjukan, yang kemudian mereka beri nama Teater Langkah. Tujuan utama didirikannya kelompok teater ini adalah “untuk menciptakan iklim berteater yang kritis, tidak hanya dalam lingkungan kampus saja, tapi dalam dinamika teater Sumatra Barat,” ucap Prel T, pendiri Teater Langkah, yang saat ini menjadi dosen di Fakkultas Ilmu Budaya dan masih bertahan mengasuh semangat berteater di kampus.    
Terhitung semenjak dua puluh sembilan tahun yang lalu itu Teater Langkah terus berproduksi, tentu penonton, aktivis, maupun pemerhati Teater di Sumatra Barat sudah layak mempertanyakan, apa yang telah diberikan Teater Langkah kepada masyarakat, atau apa sumbangsih Teater Langkah terhadap dinamika seni pertunjukan di Sumatra Barat? Jika pencarian-pencarian estetis atau pementasan-pementasan monumental merupakan satu-satunya indikator untuk melihat capaian sebuah kelompok teater, tentu akan sulit bagi Teater Langkah untuk menjawabnya. “Selama masa kuliah, seorang anggota Teater Langkah hanya mungkin mementaskan paling banyak tiga garapan. Dalam waktu yang singkat itu, sulit rasanya bagi seorang pekerja teater untuk menemukan estetikanya sendiri dalam menggarap sebuah pertunjukan,” papar Yusril, alumni Teater Langkah yang pada bulan ini baru saja menyelesaikan program doktoralnya dalam bidang penciptaan karya.
Sebagai teater kampus, persoalan utama yang dihadapi oleh Teater Langkah memang berkisar pada keberadaan para personil atau anggota yang tidak tetap itu. Setiap periode, anggota-anggota baru, aktivis-aktivis teater baru, atau aktor dan sutradara baru muncul seiring dengan perginya anggota, aktivis teater, maupun aktor dan sutradara yang lama. Menurut Pinto Anugrah, mantan ketua Teater Langkah periode 2006-2008, yang saat ini masih terus menghasilkan naskah dan menyutradarai pertunjukan,“dalam waktu yang realtif singkat, yang mesti dikejar oleh seorang anggota teater kampus, khususnya Teater Langkah adalah membangun militansi dalam berkarya, semangat tersebut hanya bisa didapatkan apabila seorang pekerja teater mengetahui apa itu teater dan kenapa ia mesti berteater.” Senada dengan itu, Yusril juga menyatakan bahwa, “mempercayai bahwa teater merupakan sarana perubahan, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, merupakan modal penting bagi seorang pekerja teater untuk konsisten dalam berkarya.”
Meskipun untuk melahirkan pementasan-pementasan monumental dan untuk mengejar capaian-capaian estetis dalam berkarya merupakan hal yang sulit terwujud bagi sebuah teater kampus, setidaknya ada ruang-ruang lain yang bisa diisi oleh Teater Langkah. Yaitu, menurut istilah Yusril, sebagai “Laboratorium, bagi para anak muda untuk bereksperimen dalam garapan-garapannya.” Senada dengan itu, S Metron M, yang juga merupakan alumni Teater Langkah yang masih berkiprah dalam dunia Teater, menyatakan bahwa Teater Langkah harus tetap pada posisi dan perannya “sebagai salah satu episentrum dengan tetap mempertahankan tradisi yang telah dibangun bertahun-tahun: berusaha memainkan naskah sendiri, atau, minimal naskah yang berasal dari Minangkabau.”
Posisi dan peran tersebut pada masa lalu telah pernah diambil oleh Teater Langkah. “Kami pernah bertindak gila dalam berteater, mementaskan pertunjukan-pertunjukan eksperimental atau menggagas dan menyelenggarakan agenda berskala besar dengan modal semangat, seperti Pertemuan Teater Mahasiswa (PTM) se-Indonesia,” ungkap Prel T. Sementara itu, Yusril juga menceritakan bagaimana “keberadaan dosen-dosen, ditambah kehadiran Wisran Hadi pada masa itu menciptakan iklim yang dialektis bagi para mahasiswa.

*) Penonton Teater dan Mahasiswa Sastra Indonesia

-Tulisan ini sebelumnya dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres pada 5 Juni 2016

By HMJ Sasindo Unand with No comments