Oleh: Fariq Alfaruqi*
Dua puluh sembilan tahun eksis dalam
dinamika seni pertunjukan, menobatkan Tetaer Langkah sebagai kelompok teater
kampus paling tua di Sumatra Barat, yang sampai saat ini masih bertahan, berkiprah, dan terus
berproduksi: Mementaskan pertunjukan, menyelenggarakan agenda teater, menerbitkan naskah drama, dan yang
terpenting, melahirkan orang-orang yang dikemudian
hari menjadi tokoh-tokoh teater Sumatra Barat. Prel T, Yusril, Sahrul N, S Metron M, maupun Pinto Anugrah,
merupakan orang-orang yang mengenal dunia tetater melalui Teater Langkah yang
kemudian memilih seni pertunjukan tersebut sebagai jalan hidup mereka, baik
sebagai sutradara, penulis naskah, maupun akademisi dan kritikus seni
pertunjukan.
Hari ulang tahun yang ke-29 yang jatuh pada kamis 26 Mei 2016
lalu, para anggota aktif Tetater Langkah menggelar dua pertunjukan untuk memeringatinya. Pementasan berjudul Bandara
dari Ranah PAC menjadi pertunjukan pembuka. Sebelumnya, pementasan tersebut
baru-baru ini ditampilkan dalam agenda Festival Teater Remaja se-Indonesia.
Sebagaimana judulnya, pementasan yang disutradarai oleh S Metron M itu mencoba merepresentasikan
bandara ke atas panggung sebagai latar dan problematika pertunjukan. Beberapa buah
troli dijadikan properti sekaligus sebagai penanda untuk merujuk pada realitas,
selebihnya panggung dibiarkan kosong tanpa setting,
meleluasakan belasan orang aktor yang berlaku sebagai penumpang dan petugas bandara
keluar-masuk panggung dengan tempo cepat, selayaknya intensitas kesibukan pada
sebuah bandara.
Dalam pementasan tersebut, tidak ada pengkategorian aktor
utama, aktor tambahan, atau aktor figuran, tidak ada konflik
protagonis-antagonis, juga tidak ada motif-motif teguh dan terpendam seorang tokoh
yang memengaruhi jalannya pertunjukan. Yang ada adalah aktor-aktor yang
berganti peran, menunjukkan kedatangan dan kepergian pada sebuah bandara; lelaku
aktor yang kondisional, dibentuk dan ditentukan oleh ruang sosial; karakter dan
sikap aktor yang cair, agar terus bermutasi sebagai respon terhadap konflik. Yang
ingin diperlihatkan oleh pementasan tersebut adalah, bandara sebagai etalase
perilaku manusia. Sebuah ruang publik yang memamerkan kebanalan dan kesementaraan
masyarakat.
Pementasan kedua
berjudul Matrilini naskah Wisran Hadi, disutradarai oleh Syanti Mustika.
Bercerita tentang datuk yang bebal dan kemenakan yang binal. Sang datuk,
bagaimana pun kondisinya berkeras ingin menikahkan kemenakannya, Matrilini,
dengan seorang pemuda kaya bernama Merahsilu. Berbagai cara ia gunakan agar
pernikahan tersebut terealisasi: mengatasnamakan adat, menggadaikan tanah,
serta menutup mata pada kondisi kemenakannya yang telah hamil dengan lelaki
lain. Sementara Matrilini mudah saja melepaskan keperawanannya setelah pesta
pantai dengan seorang sopir. Melalui dialog-dialog satir, naskah tersebut
menyentil para pemangku adat di Minangkabau, yang demi kehormatan, melakukan
segala cara.
Satu set pelaminan berwarna merah-emas lengkap dengan semeja
hidangan ala Minang dihadirkan di
atas panggung. Pertengahan adegan, set berganti menjadi bagian depan Rumah
Gadang yang dibuat sedemikian rupa. Setiap pergantian adegan, kostum para aktor
diganti menandakan pergantian waktu. Hal ini pada satu sisi tentu saja
bertujuan untuk semakin mendekatkan pementasan dengan realitas yang ingin
diungkapkannya. Namun, pada sisi lain, set panggung dengan ukuran besar dan
warna yang mencolok tersebut justru ‘menenggelamkan’ aktor yang hanya berjumlah
sedikit, selain itu sutradara luput untuk memerhatikan efisiensi dari
penggunaan set panggung tersebut. Pergantian set panggung pada pertengahan
babak memakan waktu yang terlalu lama, membiarkan penonton menatap panggung
yang gelap dan mendengar riuh kesibukan kru panggung sedang bekerja.
Hanya dua pementasan itu yang menjadi penanda, bahwa kelompok
teater kampus yang telah bertahan selama dua puluh sembilan tahun itu masih
berproduksi dan berkarya. Sangat disayangkan bahwa dalam agenda hari peringatan
tersebut tidak ada diskusi, orasi, maupun perenungan untuk melihat di mana
posisi dan peran Teater Langkah hari ini, atau, apa yang telah dilakukan oleh
Teater Langkah selama tahun-tahun keberadaannya itu.
Kilas Balik
Pada tanggal
26 Mei 1987, sekelompok mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas, yaitu, Prel T, Irmansyah, dan Yusriwal (alm), mendirikan sebuah wadah untuk menunjang gagasan-gagasan, ide-ide
kreatif, serta pemikiran-pemikiran kritis mereka mengenai dunia seni
pertunjukan, yang kemudian mereka beri nama Teater Langkah. Tujuan utama
didirikannya kelompok teater ini adalah “untuk menciptakan iklim berteater yang
kritis, tidak hanya dalam lingkungan kampus saja, tapi dalam dinamika teater Sumatra
Barat,” ucap Prel T, pendiri Teater Langkah, yang saat ini menjadi dosen di Fakkultas
Ilmu Budaya dan masih bertahan mengasuh semangat berteater di kampus.
Terhitung semenjak dua puluh sembilan tahun yang lalu itu
Teater Langkah terus berproduksi, tentu penonton, aktivis, maupun pemerhati
Teater di Sumatra Barat sudah layak mempertanyakan, apa yang telah diberikan
Teater Langkah kepada masyarakat, atau apa sumbangsih Teater Langkah terhadap
dinamika seni pertunjukan di Sumatra Barat? Jika pencarian-pencarian estetis
atau pementasan-pementasan monumental merupakan satu-satunya indikator untuk
melihat capaian sebuah kelompok teater, tentu akan sulit bagi Teater Langkah
untuk menjawabnya. “Selama masa kuliah, seorang anggota Teater Langkah hanya
mungkin mementaskan paling banyak tiga garapan. Dalam waktu yang singkat itu,
sulit rasanya bagi seorang pekerja teater untuk menemukan estetikanya sendiri dalam
menggarap sebuah pertunjukan,” papar Yusril, alumni Teater Langkah yang pada
bulan ini baru saja menyelesaikan program doktoralnya dalam bidang penciptaan
karya.
Sebagai teater kampus, persoalan utama yang dihadapi oleh
Teater Langkah memang berkisar pada keberadaan para personil atau anggota yang tidak tetap itu. Setiap periode,
anggota-anggota baru, aktivis-aktivis teater baru, atau aktor dan sutradara
baru muncul seiring dengan perginya anggota, aktivis teater, maupun aktor dan sutradara
yang lama. Menurut Pinto Anugrah, mantan ketua Teater Langkah periode
2006-2008, yang saat ini masih terus menghasilkan naskah dan menyutradarai
pertunjukan,“dalam waktu yang realtif singkat, yang mesti dikejar oleh seorang
anggota teater kampus, khususnya Teater Langkah adalah membangun militansi
dalam berkarya, semangat tersebut hanya bisa didapatkan apabila seorang pekerja
teater mengetahui apa itu teater dan kenapa ia mesti berteater.” Senada dengan
itu, Yusril juga menyatakan bahwa, “mempercayai bahwa teater merupakan sarana
perubahan, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, merupakan modal
penting bagi seorang pekerja teater untuk konsisten dalam berkarya.”
Meskipun untuk melahirkan pementasan-pementasan monumental
dan untuk mengejar capaian-capaian estetis dalam berkarya merupakan hal yang
sulit terwujud bagi sebuah teater kampus, setidaknya ada ruang-ruang lain yang
bisa diisi oleh Teater Langkah. Yaitu, menurut istilah Yusril, sebagai
“Laboratorium, bagi para anak muda untuk bereksperimen dalam
garapan-garapannya.” Senada dengan itu, S Metron M, yang juga merupakan alumni
Teater Langkah yang masih berkiprah dalam dunia Teater, menyatakan bahwa Teater
Langkah harus tetap pada posisi dan perannya “sebagai salah satu episentrum
dengan tetap mempertahankan tradisi yang telah dibangun bertahun-tahun:
berusaha memainkan naskah sendiri, atau, minimal naskah yang berasal dari
Minangkabau.”
Posisi dan peran tersebut pada masa lalu telah pernah diambil
oleh Teater Langkah. “Kami pernah bertindak gila dalam berteater, mementaskan
pertunjukan-pertunjukan eksperimental atau menggagas dan menyelenggarakan agenda
berskala besar dengan modal semangat, seperti Pertemuan Teater Mahasiswa (PTM)
se-Indonesia,” ungkap Prel T. Sementara itu, Yusril juga menceritakan bagaimana
“keberadaan dosen-dosen, ditambah kehadiran Wisran Hadi pada masa itu
menciptakan iklim yang dialektis bagi para mahasiswa.
*) Penonton Teater dan Mahasiswa Sastra Indonesia
-Tulisan ini sebelumnya dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres pada 5 Juni 2016