Saturday, June 11, 2016

Teater Langkah Hendak Melangkah Kemana? (Catatan Untuk Memperingati 29 Tahun Teater Langkah)



Oleh: Fariq Alfaruqi*

Dua puluh sembilan tahun eksis dalam dinamika seni pertunjukan, menobatkan Tetaer Langkah sebagai kelompok teater kampus paling tua di Sumatra Barat, yang sampai saat ini masih bertahan, berkiprah, dan terus berproduksi: Mementaskan pertunjukan, menyelenggarakan agenda teater, menerbitkan naskah drama, dan yang terpenting, melahirkan orang-orang yang dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh teater Sumatra Barat. Prel T, Yusril, Sahrul N, S Metron M, maupun Pinto Anugrah, merupakan orang-orang yang mengenal dunia tetater melalui Teater Langkah yang kemudian memilih seni pertunjukan tersebut sebagai jalan hidup mereka, baik sebagai sutradara, penulis naskah, maupun akademisi dan kritikus seni pertunjukan.
Hari ulang tahun yang ke-29 yang jatuh pada kamis 26 Mei 2016 lalu, para anggota aktif Tetater Langkah menggelar dua pertunjukan untuk memeringatinya. Pementasan berjudul Bandara dari Ranah PAC menjadi pertunjukan pembuka. Sebelumnya, pementasan tersebut baru-baru ini ditampilkan dalam agenda Festival Teater Remaja se-Indonesia. Sebagaimana judulnya, pementasan yang disutradarai oleh S Metron M itu mencoba merepresentasikan bandara ke atas panggung sebagai latar dan problematika pertunjukan. Beberapa buah troli dijadikan properti sekaligus sebagai penanda untuk merujuk pada realitas, selebihnya panggung dibiarkan kosong tanpa setting, meleluasakan belasan orang aktor yang berlaku sebagai penumpang dan petugas bandara keluar-masuk panggung dengan tempo cepat, selayaknya intensitas kesibukan pada sebuah bandara.
Dalam pementasan tersebut, tidak ada pengkategorian aktor utama, aktor tambahan, atau aktor figuran, tidak ada konflik protagonis-antagonis, juga tidak ada motif-motif teguh dan terpendam seorang tokoh yang memengaruhi jalannya pertunjukan. Yang ada adalah aktor-aktor yang berganti peran, menunjukkan kedatangan dan kepergian pada sebuah bandara; lelaku aktor yang kondisional, dibentuk dan ditentukan oleh ruang sosial; karakter dan sikap aktor yang cair, agar terus bermutasi sebagai respon terhadap konflik. Yang ingin diperlihatkan oleh pementasan tersebut adalah, bandara sebagai etalase perilaku manusia. Sebuah ruang publik yang memamerkan kebanalan dan kesementaraan masyarakat.
 Pementasan kedua berjudul Matrilini naskah Wisran Hadi, disutradarai oleh Syanti Mustika. Bercerita tentang datuk yang bebal dan kemenakan yang binal. Sang datuk, bagaimana pun kondisinya berkeras ingin menikahkan kemenakannya, Matrilini, dengan seorang pemuda kaya bernama Merahsilu. Berbagai cara ia gunakan agar pernikahan tersebut terealisasi: mengatasnamakan adat, menggadaikan tanah, serta menutup mata pada kondisi kemenakannya yang telah hamil dengan lelaki lain. Sementara Matrilini mudah saja melepaskan keperawanannya setelah pesta pantai dengan seorang sopir. Melalui dialog-dialog satir, naskah tersebut menyentil para pemangku adat di Minangkabau, yang demi kehormatan, melakukan segala cara.
Satu set pelaminan berwarna merah-emas lengkap dengan semeja hidangan ala Minang dihadirkan di atas panggung. Pertengahan adegan, set berganti menjadi bagian depan Rumah Gadang yang dibuat sedemikian rupa. Setiap pergantian adegan, kostum para aktor diganti menandakan pergantian waktu. Hal ini pada satu sisi tentu saja bertujuan untuk semakin mendekatkan pementasan dengan realitas yang ingin diungkapkannya. Namun, pada sisi lain, set panggung dengan ukuran besar dan warna yang mencolok tersebut justru ‘menenggelamkan’ aktor yang hanya berjumlah sedikit, selain itu sutradara luput untuk memerhatikan efisiensi dari penggunaan set panggung tersebut. Pergantian set panggung pada pertengahan babak memakan waktu yang terlalu lama, membiarkan penonton menatap panggung yang gelap dan mendengar riuh kesibukan kru panggung sedang bekerja.
Hanya dua pementasan itu yang menjadi penanda, bahwa kelompok teater kampus yang telah bertahan selama dua puluh sembilan tahun itu masih berproduksi dan berkarya. Sangat disayangkan bahwa dalam agenda hari peringatan tersebut tidak ada diskusi, orasi, maupun perenungan untuk melihat di mana posisi dan peran Teater Langkah hari ini, atau, apa yang telah dilakukan oleh Teater Langkah selama tahun-tahun keberadaannya itu.
Kilas Balik
Pada tanggal 26 Mei 1987, sekelompok mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas, yaitu, Prel T, Irmansyah, dan Yusriwal (alm), mendirikan sebuah wadah untuk menunjang gagasan-gagasan, ide-ide kreatif, serta pemikiran-pemikiran kritis mereka mengenai dunia seni pertunjukan, yang kemudian mereka beri nama Teater Langkah. Tujuan utama didirikannya kelompok teater ini adalah “untuk menciptakan iklim berteater yang kritis, tidak hanya dalam lingkungan kampus saja, tapi dalam dinamika teater Sumatra Barat,” ucap Prel T, pendiri Teater Langkah, yang saat ini menjadi dosen di Fakkultas Ilmu Budaya dan masih bertahan mengasuh semangat berteater di kampus.    
Terhitung semenjak dua puluh sembilan tahun yang lalu itu Teater Langkah terus berproduksi, tentu penonton, aktivis, maupun pemerhati Teater di Sumatra Barat sudah layak mempertanyakan, apa yang telah diberikan Teater Langkah kepada masyarakat, atau apa sumbangsih Teater Langkah terhadap dinamika seni pertunjukan di Sumatra Barat? Jika pencarian-pencarian estetis atau pementasan-pementasan monumental merupakan satu-satunya indikator untuk melihat capaian sebuah kelompok teater, tentu akan sulit bagi Teater Langkah untuk menjawabnya. “Selama masa kuliah, seorang anggota Teater Langkah hanya mungkin mementaskan paling banyak tiga garapan. Dalam waktu yang singkat itu, sulit rasanya bagi seorang pekerja teater untuk menemukan estetikanya sendiri dalam menggarap sebuah pertunjukan,” papar Yusril, alumni Teater Langkah yang pada bulan ini baru saja menyelesaikan program doktoralnya dalam bidang penciptaan karya.
Sebagai teater kampus, persoalan utama yang dihadapi oleh Teater Langkah memang berkisar pada keberadaan para personil atau anggota yang tidak tetap itu. Setiap periode, anggota-anggota baru, aktivis-aktivis teater baru, atau aktor dan sutradara baru muncul seiring dengan perginya anggota, aktivis teater, maupun aktor dan sutradara yang lama. Menurut Pinto Anugrah, mantan ketua Teater Langkah periode 2006-2008, yang saat ini masih terus menghasilkan naskah dan menyutradarai pertunjukan,“dalam waktu yang realtif singkat, yang mesti dikejar oleh seorang anggota teater kampus, khususnya Teater Langkah adalah membangun militansi dalam berkarya, semangat tersebut hanya bisa didapatkan apabila seorang pekerja teater mengetahui apa itu teater dan kenapa ia mesti berteater.” Senada dengan itu, Yusril juga menyatakan bahwa, “mempercayai bahwa teater merupakan sarana perubahan, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, merupakan modal penting bagi seorang pekerja teater untuk konsisten dalam berkarya.”
Meskipun untuk melahirkan pementasan-pementasan monumental dan untuk mengejar capaian-capaian estetis dalam berkarya merupakan hal yang sulit terwujud bagi sebuah teater kampus, setidaknya ada ruang-ruang lain yang bisa diisi oleh Teater Langkah. Yaitu, menurut istilah Yusril, sebagai “Laboratorium, bagi para anak muda untuk bereksperimen dalam garapan-garapannya.” Senada dengan itu, S Metron M, yang juga merupakan alumni Teater Langkah yang masih berkiprah dalam dunia Teater, menyatakan bahwa Teater Langkah harus tetap pada posisi dan perannya “sebagai salah satu episentrum dengan tetap mempertahankan tradisi yang telah dibangun bertahun-tahun: berusaha memainkan naskah sendiri, atau, minimal naskah yang berasal dari Minangkabau.”
Posisi dan peran tersebut pada masa lalu telah pernah diambil oleh Teater Langkah. “Kami pernah bertindak gila dalam berteater, mementaskan pertunjukan-pertunjukan eksperimental atau menggagas dan menyelenggarakan agenda berskala besar dengan modal semangat, seperti Pertemuan Teater Mahasiswa (PTM) se-Indonesia,” ungkap Prel T. Sementara itu, Yusril juga menceritakan bagaimana “keberadaan dosen-dosen, ditambah kehadiran Wisran Hadi pada masa itu menciptakan iklim yang dialektis bagi para mahasiswa.

*) Penonton Teater dan Mahasiswa Sastra Indonesia

-Tulisan ini sebelumnya dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres pada 5 Juni 2016

By HMJ Sasindo Unand with No comments

0 komentar:

Post a Comment