Monday, December 1, 2014

Film Sebagai Wadah Dokumentasi Peninggalan Sejarah



Foto: Muhaimin (depan), Findo (tengah), Zikhwan (belakang)

Perkembangan seni film di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya kian berkembang. Sumber daya manusia yang kian tersedia dan fasilitas yang cukup memadai menjadi faktor penunjang kreatifitas mahasiswa. Baru-baru ini, Findo Bramata Sandi (Sastra Indonnesia ‘013), Muhaimin Nurrizqy (Sastra Indonesia ‘013), dan Zikhwan Almahbubi (Sastra Daerah ‘013), berhasil meraih Harapan I Lomba Visualisasi Kesejarahan dan Nilai Budaya” yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di bawah Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya. Ini merupakan sebuah prestasi yang membanggakan bagi kita semua.
Secara ide, lomba ini bertujuan agar mahasiswa dan pelajar aktif dalam mencari sumber sejarah yang tersedia di sekitar lingkungannya, baik itu berupa peristiwa sejarah lokal, tempat-tempat bersejarah, bangunan bersejarah, tokoh daerah/pelaku dan saksi sejarah/veteran pejuang kemerdekaan. Sumber sejarah ini kemudian dikemas dalam bentuk dokumenter sejarah atau komik. Selain itu, juga untuk menggunggah mahasiswa agar lebih memahami nilai budaya yang dianut oleh masyarakat sekitarnya.
Maka, Findo dan kawan-kawan merasa mendapat kesempatan mendokumentasikan peninggalan sejarah yang ada di lingkungan mereka. Walau nantinya lolos atau tidaknya mereka dalam event ini, setidaknya, ide yang telah di rancang ini dapat diproduksi dan diperlihatkan kepada masyarakat banyak. Dipersiapkanlah sebuah film dokumenter berjudul “Rel Air”, dengan latar daerah Pesisir Selatan, tepatnya, Painan. “Rel airmerupakan visualisasi yang lebih difokuskan terhadap pandangan perspektif orang-orang yang dekat dengan data sejarah, tanpa mengabaikan bangunan peninggalan sejarah itu sendiri.
Mengenai proses produksi film, Findo, selaku sutradara menjelaskan bahwa hal pertama yang mesti dilakukan adalah pengiriman proposal ide cerita kepada pihak penyelenggara acara. Proposal yang dikirimkan oleh Findo dan kawan-kawan ini termasuk dalam 20 proposal yang lolos seleksi. Lantas kemudian, Findo dan kawan-kawan mengikuti rangkaian workshop atau pelatihan mengenai produksi selama satu pekan di Bogor. Sekembalinya dari Bogor, Findo dan kawan-kawan pun diberi biaya produksi senilai Rp. 6.000.000 untuk satu tim (3 orang).
“Kami hanya mendapatkan uang saku sebanyak 6 juta untuk satu tim,dan bagi kami itu bukanlah uang produksi. Akhirnya kami harus menggunakan uang saku yang di dapat tersebut dengan bantuan dari pihak-pihak lain untuk tetap melakukan produksi, seperti dekanat FIB, Rektorat Unand, Dinas Pariwisaata dan Dinas Pendidikan Pesisir Selatan, papar Findo.
Memasuki proses produksi Findo dan kawan-kawan begitu gigih menciptakan karya walau panita penyelenggara memberikan batasan-batasan untuk memproduksi. Namun apa yang akan mereka sumbangkan dan yang mereka harapkan dari panitia penyelenggara tidak sebanding dengan apa yang mereka peroleh. Setelah melakukan pengeditan, film yang telah selesai di produksi ini kembali di kirim kembali kepada pihak panitia untuk mengikuti seleksi tahap akhir.
Foto: Proses produksi "Rel Air" di pedalaman Salido Ketek, Painan

Enam karya finalis terpilih yang telah melewati proses seleksi proposal dan workshop, dipresentasikan di depan dewan juri. Findo dan kawan-kawan sempat merasa kaget, sebab di saat final panitia menghadirkan juri tambahan yang berasal dari Metro TV, Peneliti Sejarah dll. Apalagi saat finalisasi, peserta kembali mempresentasikan ide garapan di dewan juri.
Kami kembali mempresentasikan ide garapan kami yang sebelumnya telah di presentasikan. Namun yang menjadi sedikit kekecewaan bagi kami, hal apa yang menyebabkan ide yang telah selesai kami produksi kembali di presentasikan. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada kami harusnya adalah pertanyaan di awal bukan setelah ide ini selesai di garap. Dan kami kecewa dengan hal yang seperti ini, tutur Findo yang sempat di hubungi via telepon.
Findo dan kawan-kawannya sangat berharap bahwa event-event ini akan direspon baik oleh Film Maker Sumbar, sebab ini akan menjadi wadah yang akan menampung kreatifitas mereka di dunia perfilman. Dan terlepas dari itu, dengan adanya kerja pendokumentasian peninggalan sejarah seperti ini, akan semakin banyak jualah masyarakat yang tahu dan peduli terhadap peninggalan dan budaya yang ada di tanah pertiwi ini.


link lain:
http://sanasinee.wordpress.com/2014/11/27/dokumenter-rel-air-melihat-sejarah-tidak-dari-masa-lalu-tetapi-bertanya-kepada-apa-yang-masih-tersisa/


*Annisa Irfayuli – Infokom Sastra Indonesia

By HMJ Sasindo Unand with No comments

0 komentar:

Post a Comment